فَلَمَّا دَخَلُوْا عَلٰى يُوْسُفَ اٰوٰٓى اِلَيْهِ اَبَوَيْهِ وَقَالَ ادْخُلُوْا مِصْرَ اِنْ شَاۤءَ اللّٰهُ اٰمِنِيْنَ ۗ
Falammā dakhalū ‘alā yūsufa āwā ilaihi abawaihi wa qāladkhulū miṣra in syā'allāhu āminīn(a).
Maka ketika mereka masuk ke (tempat) Yusuf, dia merangkul ibu bapaknya seraya berkata, “Masuklah ke negeri Mesir. Insyaallah dalam keadaan aman.”
Sekian lama berlalu setelah kejadian itu, berangkatlah Nabi Yakub bersama keluarga besarnya ke Mesir menuruti pesan Nabi Yusuf. Maka ketika mereka sudah sampai di Mesir dan masuk ke tempat yang telah disediakan oleh Nabi Yusuf, dia merangkul kedua orang tuanya seraya berkata kepada semua anggota rombongan, “Masuklah kamu ke negeri Mesir, insya Allah kalian masuk dalam keadaan aman.”
Pada ayat ini, dijelaskan bahwa saudara-saudara Yusuf pulang ke negerinya untuk memboyong semua keluarganya ke Mesir sesuai dengan anjuran Yusuf. Setelah sampai, mereka memberitahukan kepada kedua orang tuanya tentang kedudukan Yusuf di Mesir, dimana dia adalah penguasa yang berkuasa penuh di sana. Disampaikan pula bahwa Yusuf mengundang semua keluarganya untuk menetap di Mesir bersama-sama dengannya, menikmati kemajuan dan keindahan kota Mesir. Mendengar berita itu, berangkatlah mereka bersama-sama ke Mesir. Setelah sampai di Mesir mereka bertemu dengan Yusuf dan rombongan yang pergi menjemput mereka di tengah jalan. Yusuf merangkul kedua orang tuanya dan berkata, “Silakan memasuki negeri Mesir dengan selamat dan aman, insya Allah kamu sekalian tidak akan mengalami kesulitan dan kelaparan, sekalipun musim kemarau masih saja mencekam.” Ucapan “Insya Allah” yang dikatakan Yusuf ini menjadi pelajaran bagi kita kaum Muslimin bahwa apabila hendak melakukan sesuatu, supaya disandarkan kepada kehendak Allah. Hal ini telah menjadi kebiasaan bagi para nabi dan ṣiddīqīn. Hal tersebut sesuai pula dengan maksud firman Allah swt:
وَلَا تَقُوْلَنَّ لِشَا۟يْءٍ اِنِّيْ فَاعِلٌ ذٰلِكَ غَدًاۙ ٢٣ اِلَّآ اَنْ يَّشَاۤءَ اللّٰهُ
Dan jangan sekali-kali engkau mengatakan terhadap sesuatu, ”Aku pasti melakukan itu besok pagi,” kecuali (dengan mengatakan), “Insya Allah.” (al-Kahf/18: 23 dan 24)
Kharrū خَرُّوْا (Yūsuf/12: 100)
Kata tersebut merupakan fi’il māḍī (kata kerja lampau), dalam bentuk jama’ (orang banyak), dari kharra – yakhirru – kharr(an). Dalam beberapa tempat, kata kharra (mufrad), berarti jatuh. Misalnya, dalam Surah al-A’raf/7: 143, difirmankan wa kharra Mūsa ṣa’iq(an) artinya: dan Nabi Musa jatuh pingsan. Demikian pula dalam Surah al-Ḥajj/22: 31, faka’annamā kharra minas-samā’, artinya: maka seakan-akan dia jatuh dari langit. Kata kharrā dalam Surah Yusuf/12: 100 ini tentu bukan berarti mereka jatuh, tetapi berarti mereka (saudara-saudara Nabi Yusuf) membungkukkan diri kepada Yusuf. Menurut komentar Abā Ṣālih yang merujuk Ibnu ‘Abbās, sujud saudara-saudara Nabi Yusuf kepada Yusuf adalah dalam bentuk membungkuk seperti yang dilakukan orang-orang ajam, dan tidak dalam bentuk sujud yang biasa dilakukan ketika menunaikan salat.

