وَاِذَا غَشِيَهُمْ مَّوْجٌ كَالظُّلَلِ دَعَوُا اللّٰهَ مُخْلِصِيْنَ لَهُ الدِّيْنَ ەۚ فَلَمَّا نَجّٰىهُمْ اِلَى الْبَرِّ فَمِنْهُمْ مُّقْتَصِدٌۗ وَمَا يَجْحَدُ بِاٰيٰتِنَآ اِلَّا كُلُّ خَتَّارٍ كَفُوْرٍ
Wa iżā gasyiyahum maujun kaẓ-ẓulali da‘awullāha mukhliṣīna lahud-dīn(a), falammā najjāhum ilal-barri faminhum muqtaṣid(un), wa mā yajḥadu bi'āyātinā illā kullu khattārin kafūr(in).
Apabila mereka digulung ombak besar seperti awan tebal, mereka menyeru kepada Allah dengan memurnikan ketaatan hanya bagi-Nya. Kemudian, ketika Allah menyelamatkan mereka sampai di daratan, sebagian kecil (saja) di antara mereka yang tetap menempuh jalan yang lurus.602) Tidak ada yang mengingkari ayat-ayat Kami selain pengkhianat yang tidak berterima kasih.
Ayat ini menjelaskan sifat dasar manusia, terutama mereka yang kufur atas nikmat-Nya. Apabila mereka digulung ombak yang besar seperti gunung dan hampir menenggelamkan kapal yang mereka tumpangi, mereka kembali ke fitrahnya, yakni menyeru Allah seraya memohon keselamatan dari-Nya dengan tulus ikhlas serta beragama, yakni pernyataan sikap tunduk dan patuh kepada-Nya, bahkan berjanji tidak menyekutukan-Nya. Tetapi, ketika Allah menyelamatkan mereka dari ombak besar itu sehingga mereka selamat sampai di daratan, maka sebagian mereka ada yang tetap menempuh jalan yang lurus dengan mengakui keesaan-Nya. Adapun yang mengingkari ayat-ayat Kami, padahal dia memohon pertolongan Kami saat tertimpa cobaan, sungguh mereka itu hanyalah pengkhianat yang tidak berterima kasih. Dari ayat ini dapat disimpulkan bahwa pengakuan tentang keesaan Allah merupakan fitrah manusia yang bisa disimpangkan dalam waktu tertentu, namun di saat kritis kesadaran tersebut akan muncul kembali.
Ayat ini menerangkan sifat-sifat orang-orang musyrik dengan melukiskan mereka, “Apabila orang-orang musyrik penyembah patung dan pemuja dewa itu berlayar ke tengah lautan, tiba-tiba datang gelombang besar dan menghempaskan bahtera mereka ke kiri dan ke kanan, dan merasa bahwa mereka tidak akan selamat, bahkan akan mati ditelan gelombang, maka di saat itulah mereka kembali kepada fitrahnya, dengan berdoa kepada Tuhan Yang Maha Esa dengan setulus-tulusnya. Pada saat serupa itu mereka berkeyakinan bahwa tidak ada sesuatupun yang dapat menyelamatkan mereka kecuali Allah semata, seperti yang pernah dilakukan Fir‘aun di saat-saat ia akan tenggelam di laut.
Setelah Allah menerima doa dan menyelamatkan mereka dari amukan gelombang itu, maka di antara mereka hanya sebagian saja yang tetap mengakui keesaan Allah, adapun yang lainnya kembali menyekutukan Tuhan.
Pada akhir ayat ini, Allah menegaskan bahwa yang mengingkari ayat-ayat-Nya itu dan kembali mempersekutukan Tuhan ialah orang-orang yang dalam hidupnya penuh dengan tipu daya dan kebusukan, serta mengingkari nikmat Allah.
Khattārin Kafūr خَتَّارٍ كَفُوْرٍ (Luqmān/31: 32)
Kata khattār adalah isim mubalagah yang berasal dari kata khatara-yakhturu yang berarti berkhianat dan menipu, atau sangat tidak setia. Ada yang berpendapat khatara adalah bentuk pengkhianatan yang paling keji. Dalam sebuah hadis disebutkan mā khatara qaum bi al-’ahdi illā sulliṭa ‘alaihim al-’aduw. Kata khatr juga mengandung arti kerusakan. Kata ini juga berarti sesuatu yang diambil tatkala meminum obat atau racun.
Sedangkan kata kafūr terambil dari akar kata kafara-yakfuru yang merupakan antonim dari kata iman. Kata ini terulang dalam Al-Qur’an sebanyak empat kali. Secara bahasa kata kafara berarti menutupi sesuatu secara keseluruhan. Malam (al-lail) disebut kafir karena dengan gelapnya bisa menutupi semua yang awalnya bisa dilihat. Awan disebut juga kafir karena menutupi cahaya matahari. Orang Arab menyebut petani dengan kafir karena petani menutup biji-bijian dengan tanah. Salah satu bentuk hukuman dalam Islam disebut dengan kafarat, seakan-akan pekerjaan itu menutupi dosa yang dilakukannya. Lebih lanjut, kata kafara dipergunakan untuk mereka yang tidak mempercayai keesaan Allah. Hal ini dikarenakan mereka telah menutupi pintu hatinya untuk memahami ayat-ayat Allah.
Kata kafara mengandung dua pengertian: pertama, kafir dalam arti tidak beriman, tidak mengakui syariat Allah dan tidak mengakui kenabian para nabi. Kelompok inilah yang disebut dengan kafir yang menyebabkannya keluar dari agama Islam (murtad).
Kedua, penggunaan kata kafir untuk hal-hal lain yang tidak menyebab-kannya masuk dalam kelompok orang-orang tidak beriman. Makna kedua ini mengandung pengertian pembangkangan dan tidak melaksanakan suatu perintah. Penggunaan kata terakhir ini seperti dalam istilah kufur nikmat, tidak diartikan dengan kafir dalam makna keluar dari agama Islam. Kufur nikmat ini diartikan dengan menutup nikmat yang diberikan oleh Allah dengan tidak melaksanakan tata cara bersyukur. Kalimat kafūr diartikan dengan mereka yang sudah melewati batas dalam kufur nikmat (al-Ḥajj/22: 66).
Ayat ini menjelaskan tentang sikap orang-orang kafir yang kembali ingkar dan tidak setia dengan perjanjian awal mereka. Dalam ayat ini diterangkan bahwa jika orang-orang kafir berlayar di lautan dan dihempaskan oleh ombak laut yang besar, pada saat itu mereka mengakui akan keesaan Allah dan meminta untuk diselamatkan. Akan tetapi, setelah Allah menyelamatkan mereka, sebagian tetap mengakui keesaan-Nya, namun sebagian lagi ingkar dan melanggar kesetiaan (khattār kafūr) yang pernah mereka ikrarkan ketika berada dalam musibah (di atas perahu).

