وَاسْتَغْفِرُوْا رَبَّكُمْ ثُمَّ تُوْبُوْٓا اِلَيْهِ ۗاِنَّ رَبِّيْ رَحِيْمٌ وَّدُوْدٌ
Wastagfirū rabbakum ṡumma tūbū ilaih(i), inna rabbī raḥīmuw wadūd(un).
Mohonlah ampunan kepada Tuhanmu kemudian bertobatlah kepada-Nya. Sesungguhnya Tuhanku Maha Penyayang lagi Maha Mencintai.”
Dan oleh karena itu, mohonlah ampunan atas dosa-dosa yang telah kamu lakukan kepada Tuhanmu Allah yang Maha Pengampun, kemudian bertobatlah dengan sungguh-sungguh kepada-Nya dan bertekad tidak mengulangi kesalahan lagi, serta memperbanyak amal saleh. Sungguh, Tuhanku Maha Penyayang terhadap hamba-hamba-Nya yang mau bertobat, mereka akan dihindarkan dari azab-Nya; lagi Maha Pengasih yang menganugerahkan kenikmatan kepada hamba-Nya yang berbuat kebajikan.”
Pada ayat ini diterangkan bahwa Nabi Syu’aib a.s. menyuruh kaumnya untuk memohon ampun kepada Allah Yang Maha Esa dengan beriman kepada-Nya dan tidak mempersekutukan-Nya dengan menyembah berhala-berhala dan patung-patung, dan tidak mengurangi takaran, timbangan dan mengambil harta orang lain dengan jalan yang tidak halal. Kemudian ia menyuruh mereka supaya tobat yakni kembali kepada jalan yang benar dengan menaati Allah dan menjauhi larangan-Nya, karena sesungguhnya Allah Maha Penyayang dan Pengasih terhadap hamba-Nya yang sudah bertobat dan kembali kepada jalan yang benar dengan memberikan ampunan dan membebaskan dari azab dunia dan akhirat.
Perintah minta ampun dan tobat disebut secara bergandengan sebagaimana terdapat dalam ayat-ayat lain yang maksudnya hampir sama. Akan tetapi, kalau perintah istigfar itu ditujukan kepada orang-orang yang masih kafir, maka maksudnya bukan sekedar minta ampun tetapi supaya beriman kepada Allah. Adapun tobat ialah menyesali kesalahan yang diperbuat dan kembali kepada jalan yang benar. Kesalahan yang dimaksud ialah kesalahan-kesalahan yang dilakukan sesudah beriman, sebab kesalahan-kesalahan yang diperbuat di dalam kekafiran bisa hapus sendiri dengan beriman, dan masuk Islam.
Iṣlāḥ اِصْلاَح (Hūd/11: 88)
Iṣlāḥ adalah bentuk mashdar dari kata aṣlaḥa - yuṣliḥu yang berarti memperbaiki atau membuat bagus. Kata ṣalaḥ lawan dari kata fasd (rusak). Dalam pemakaiannya kedua kata tersebut dipakai dalam konteks verbal. Sementara kata aṣ-ṣulḥ biasanya dipakai untuk menghilangkan persengketaan di kalangan manusia. Tetapi jika dipakai oleh Allah, maka kadang-kadang dilakukan dengan melalui proses penciptaan yang sempurna. Kadang-kadang dengan menghilangkan suatu kejelekan atau kerusakan setelah keberadaannya, dan kadang-kadang dengan melalui penegakan hukum (aturan) terhadapnya.
Kata iṣlāḥ yang berasal dari kata ṣalaḥa dengan segala bentuk derivasinya di dalam Al-Qur’an terulang sebanyak 146 kali, berbentuk fiil sebanyak 30 kali, berbentuk ṣulḥ sebanyak 2 kali, berbentuk iṣlāḥ sebanyak 7 kali dan berbentuk muṣliḥ sebanyak 5 kali dan selebihnya berbentuk ṣāliḥ dan ṣāliḥat. Dari data tersebut, bentuk retoriknya dapat dikelompokan menjadi empat yaitu bentuk affirmative (khabari), imperativ (insyā’i) dan bentuk adjective (maṣdar) serta isim fa’il.
Ibrahim Madkour dalam al-Mu’jam al-Wajīz mengatakan bahwa kata iṣlāḥ mengandung dua makna; manfaat dan keserasian serta terhindar dari kerusakan. Jika kata tersebut berbentuk imbuhan maka berarti menghilang-kan segala sifat permusuhan dan pertikaian antara kedua belah pihak dan “aṣlaḥa bainahuma” berarti menghilangkan dan menghentikan segala bentuk permusuhan. Sementara itu, Ibnu Manżūr dalam Lisānul ‘Arab-nya berpendapat bahwa kata iṣlāḥ biasanya mengindikasikan rehabilitasi setelah terjadi kerusakan, sehingga dimaknai dengan iqāmah .
Lafadz iṣlāḥ juga memiliki beberapa sinonim, di antaranya adalah tajdīd (pembaharuan), tagyīr (perubahan) yang keduanya mengarah kepada kemajuan dan perbaikan kondisi. Maka dalam hal ini, iṣlāḥ bertalian erat dengan tugas para rasul seperti apa yang diungkapkan dalam ayat ini, bahwa apa yang diinginkan Nabi Syu’aib a.s. terhadap kaumnya hanyalah mendatangkan kebaikan (iṣlāḥ) sesuai dengan kesanggupannya.
Di samping itu, iṣlāḥ juga merupakan bentuk kesepakatan antara kedua belah pihak yang mengadakan perbaikan dengan jalan damai, baik dalam keluarga, sosial, maupun dalam peperangan dan lain-lain.

