وَيٰقَوْمِ لَا يَجْرِمَنَّكُمْ شِقَاقِيْٓ اَنْ يُّصِيْبَكُمْ مِّثْلُ مَآ اَصَابَ قَوْمَ نُوْحٍ اَوْ قَوْمَ هُوْدٍ اَوْ قَوْمَ صٰلِحٍ ۗوَمَا قَوْمُ لُوْطٍ مِّنْكُمْ بِبَعِيْدٍ
Wa yā qaumi lā yajrimannakum syiqāqī ay yuṣībakum miṡlu mā aṣāba qauma nūḥin au qauma hūdin au qauma ṣāliḥ(in), wa mā qaumu lūṭim minkum biba‘īd(in).
Wahai kaumku, janganlah sekali-kali pertentanganku (denganmu) menyebabkan apa yang menimpa kaum Nuh, kaum Hud, atau kaum Saleh juga menimpamu, sedangkan (tempat dan masa kebinasaan) kaum Lut tidak jauh dari kamu.
Setelah Nabi Syuaib menjelaskan maksud dan tujuannya, sehingga tidak ada alasan untuk mengecam apa yang disampaikan beliau, kemudian Nabi Syuaib memperingatkan mereka dengan pernyataan, “Dan wahai kaumku! Janganlah pertentangan antara aku dengan kamu menyebabkan kamu berbuat dosa terhadap perintah Allah, sehingga kamu akan ditimpa siksaan seperti yang menimpa kaum Nabi Nuh yang ditenggelamkan, kaum Nabi Hud yang dimusnahkan dengan angin kencang yang dingin, atau kaum Nabi Saleh yang disiksa dengan suara yang mengguntur, sedang kaum Nabi Lut tidak jauh masa maupun jarak wilayahnya dari kamu, juga telah diazab dengan dihujani batu. Jika kamu mengingkari risalahku, tidak mustahil azab tersebut akan menimpa kamu juga.
Pada ayat ini diterangkan bahwa Nabi Syu’aib a.s. menjelaskan kepada kaumnya nasihat dan peringatan dengan mengatakan, “Hai kaumku, janganlah pertentangan antara aku dengan kamu, karena kamu masih tetap mempertahankan menyembah berhala dan patung-patung, dan menganiaya hak orang lain dengan mengurangi takaran, timbangan dan lain-lain, mendorong dan menyebabkan kamu menjadi orang-orang yang jahat sehingga kamu ditimpa oleh azab yang membinasakan di dunia ini sebagai-mana azab topan yang menenggelamkan kaum Nuh atau azab angin keras yang memusnahkan kaum Hud atau azab suara keras mengguntur yang mematikan kaum Saleh.”
Kalau azab yang menimpa kaum-kaum itu yang disebabkan pembangkangan mereka terhadap Allah dan rasul-rasul-Nya, tidak dapat menjadi contoh dan pengajaran bagimu, karena sudah jauh masanya atau tempatnya dari kamu, maka perhatikanlah tentang azab hujan batu yang membakar dan memusnahkan kaum Luṭ. Peristiwa ini tidaklah jauh masa dan tempatnya dari kamu.
Iṣlāḥ اِصْلاَح (Hūd/11: 88)
Iṣlāḥ adalah bentuk mashdar dari kata aṣlaḥa - yuṣliḥu yang berarti memperbaiki atau membuat bagus. Kata ṣalaḥ lawan dari kata fasd (rusak). Dalam pemakaiannya kedua kata tersebut dipakai dalam konteks verbal. Sementara kata aṣ-ṣulḥ biasanya dipakai untuk menghilangkan persengketaan di kalangan manusia. Tetapi jika dipakai oleh Allah, maka kadang-kadang dilakukan dengan melalui proses penciptaan yang sempurna. Kadang-kadang dengan menghilangkan suatu kejelekan atau kerusakan setelah keberadaannya, dan kadang-kadang dengan melalui penegakan hukum (aturan) terhadapnya.
Kata iṣlāḥ yang berasal dari kata ṣalaḥa dengan segala bentuk derivasinya di dalam Al-Qur’an terulang sebanyak 146 kali, berbentuk fiil sebanyak 30 kali, berbentuk ṣulḥ sebanyak 2 kali, berbentuk iṣlāḥ sebanyak 7 kali dan berbentuk muṣliḥ sebanyak 5 kali dan selebihnya berbentuk ṣāliḥ dan ṣāliḥat. Dari data tersebut, bentuk retoriknya dapat dikelompokan menjadi empat yaitu bentuk affirmative (khabari), imperativ (insyā’i) dan bentuk adjective (maṣdar) serta isim fa’il.
Ibrahim Madkour dalam al-Mu’jam al-Wajīz mengatakan bahwa kata iṣlāḥ mengandung dua makna; manfaat dan keserasian serta terhindar dari kerusakan. Jika kata tersebut berbentuk imbuhan maka berarti menghilang-kan segala sifat permusuhan dan pertikaian antara kedua belah pihak dan “aṣlaḥa bainahuma” berarti menghilangkan dan menghentikan segala bentuk permusuhan. Sementara itu, Ibnu Manżūr dalam Lisānul ‘Arab-nya berpendapat bahwa kata iṣlāḥ biasanya mengindikasikan rehabilitasi setelah terjadi kerusakan, sehingga dimaknai dengan iqāmah .
Lafadz iṣlāḥ juga memiliki beberapa sinonim, di antaranya adalah tajdīd (pembaharuan), tagyīr (perubahan) yang keduanya mengarah kepada kemajuan dan perbaikan kondisi. Maka dalam hal ini, iṣlāḥ bertalian erat dengan tugas para rasul seperti apa yang diungkapkan dalam ayat ini, bahwa apa yang diinginkan Nabi Syu’aib a.s. terhadap kaumnya hanyalah mendatangkan kebaikan (iṣlāḥ) sesuai dengan kesanggupannya.
Di samping itu, iṣlāḥ juga merupakan bentuk kesepakatan antara kedua belah pihak yang mengadakan perbaikan dengan jalan damai, baik dalam keluarga, sosial, maupun dalam peperangan dan lain-lain.

