اِنَّ رَبَّكَ هُوَ يَفْصِلُ بَيْنَهُمْ يَوْمَ الْقِيٰمَةِ فِيْمَا كَانُوْا فِيْهِ يَخْتَلِفُوْنَ
Inna rabbaka huwa yafṣilu bainahum yaumal-qiyāmati fīmā kānū fīhi yakhtalifūn(a).
Sesungguhnya Tuhanmu, Dialah yang memutuskan di antara mereka pada hari Kiamat apa yang dahulu selalu mereka perselisihkan.
Karena itu, wahai Nabi Muhammad, jangan ragu menyampaikan kebenaran Al-Qur’an, meski mereka menentangmu. Sungguh Tuhanmu, Dia-lah yang akan memberikan keputusan dengan benar dan adil di antara mereka, yakni para hamba-Nya, pada hari Kiamat tentang apa yang dahulu mereka perselisihkan padanya, seperti hari kebangkitan, hari perhitungan, dan balasan di surga dan neraka.
Ayat ini menjelaskan bahwa sesungguhnya hanya Allah yang menyelesaikan dan memberi keputusan segala perselisihan dan pertentangan soal agama antara mereka di hari Kiamat. Allah akan memberikan balasan yang setimpal kepada orang-orang yang mengingkari seruan Nabi dan memberi pahala kepada orang-orang yang mengikutinya.
Sebagian ahli tafsir berpendapat bahwa yang menyelesaikan pertentangan soal agama adalah Nabi Muhammad. Ia memberikan keputusan dengan adil terhadap perselisihan para rasul dengan umatnya di hari Kiamat nanti.
Miryah مِرْيَةٍ (as-Sajdah/32:21)
Kata miryah terbentuk dari kata marā-yamrī-maryan yang berakar makna mengeluarkan. Kata marā al-ibila berarti memerah ambing unta dan mengeluarkan air susunya. Kata al-ibil al-mariyyu berarti unta yang banyak air susunya. Darinya diambil kata mārā ar-rajula yang berarti mendebat seorang laki-laki dan membuatnya mengeluarkan argumen-argumen mengenai pandangan dan pendapatnya, seperti layaknya mengeluarkan air susu dari ambing unta. Darinya terambil kata tatamārā yang berarti mendebat sesuatu lantaran meragukan, sebagaimana yang terdapat dalam firman Allah, “Karena itu janganlah kamu (Muhammad) bertengkar tentang hal mereka, kecuali pertengkaran lahir saja..” (al-Kahf/18: 22). Dan yang dimaksud dengan kata miryah di sini adalah keraguan.

