وَلَوْ تَرٰىٓ اِذِ الْمُجْرِمُوْنَ نَاكِسُوْا رُءُوْسِهِمْ عِنْدَ رَبِّهِمْۗ رَبَّنَآ اَبْصَرْنَا وَسَمِعْنَا فَارْجِعْنَا نَعْمَلْ صَالِحًا اِنَّا مُوْقِنُوْنَ
Wa lau tarā iżil-mujrimūna nākisū ru'ūsihim ‘inda rabbihim, rabbanā abṣarnā wa sami‘nā farji‘nā na‘mal ṣāliḥan innā mūqinūn(a).
Sekiranya kamu melihat orang-orang yang berdosa itu menundukkan kepalanya di hadapan Tuhannya, (kamu akan melihat sesuatu yang sangat luar biasa dan mereka berkata,) “Ya Tuhan kami, kami telah melihat (hari Kiamat yang kami ingkari) dan mendengar (dari-Mu kebenaran ucapan rasul-rasul-Mu). Maka, kembalikanlah kami (ke dunia), niscaya kami akan beramal saleh. Sesungguhnya kami (sekarang) adalah orang-orang yang yakin (akan adanya hari Kiamat).”
Saat hari hisab itu tiba, kamu akan melihat orang kafir tampak seperti pesakitan yang menunggu putusan. Dan alangkah ngerinya jika sekiranya engkau melihat orang-orang yang berdosa itu menundukkan kepalanya di hadapan pengadilan Tuhannya di hari kiamat kelak, padahal dulunya mereka begitu angkuh kepada Tuhan. Di sana mereka merengek, “Ya Tuhan kami, kami sekarang benar-benar taat dan patuh kepada-Mu. Kami telah melihat dengan mata kepala kami hari kebangkitan dan mendengar betapa ajaran para rasul-Mu adalah benar, maka dengan kuasa dan rahmat-Mu kembalikanlah kami ke dunia sekali saja, niscaya kami akan mengerjakan kebajikan yang Engkau ridai, tidak seperti yang kami lakukan dulu. Sungguh, saat ini kami adalah orang-orang yang yakin dengan sepenuhnya.” Allah tidak akan mengabulkan permintaan itu karena Dia tahu benar karakter mereka. Mereka tidak akan menjadi orang baik walaupun sekiranya diberi kesempatan kembali ke dunia (Lihat Surah al-Ana’m/6: 27-28).
Allah memberitahukan kepada Rasul-Nya bahwa ia akan merasa ngeri jika melihat keadaan orang-orang yang mengingkari hari Kiamat ketika mereka menundukkan kepala di hadapan Allah karena malu dan takut atas segala tindakan dan perbuatan mereka dalam hidup di dunia. Mereka menyatakan kepada Allah bahwa mereka telah melihat kenyataan hari Kiamat itu benar-benar terjadi, dan telah merasakan pula malapetaka yang menimpa mereka pada hari itu. Mereka kemudian memohon agar diberi kesempatan untuk kembali ke dunia sehingga dapat mengikuti semua petunjuk rasul. Ketika itu, mereka mengaku benar-benar telah meyakini apa yang dahulu mereka dustakan. Mereka juga mengakui bahwa hanya Allah yang berhak disembah, yang menghidupkan dan mematikan, serta yang membangkitkan kembali, seperti saat itu.
Dalam ayat lain, Allah berfirman:
وَلَوْ تَرٰٓى اِذْ وُقِفُوْا عَلَى النَّارِ فَقَالُوْا يٰلَيْتَنَا نُرَدُّ وَلَا نُكَذِّبَ بِاٰيٰتِ رَبِّنَا وَنَكُوْنَ مِنَ الْمُؤْمِنِيْن َ ٢٧ (الانعام)
Dan seandainya engkau (Muhammad) melihat ketika mereka dihadapkan ke neraka, mereka berkata, “Seandainya kami dikembalikan (ke dunia), tentu kami tidak akan mendustakan ayat-ayat Tuhan kami, serta menjadi orang-orang yang beriman.” (al-An‘ām/6: 27)
1. Malak al-Maut مَلَكُ الْمَوْت (as-Sajdah/32: 11)
Istilah ini terdiri dari dua kata, yaitu malak dan maut. Yang pertama (malak) artinya satu malaikat, merupakan tunggal dari malā’ikah yang diartikan sebagai para malaikat. Sedang yang kedua (maut) artinya kematian. Dengan demikian malak al-maut diartikan sebagai malaikat kematian atau malaikat pencabut nyawa. Tema ini menunjuk bahwa yang mencabut nyawa atau yang mematikan itu adalah satu malaikat. Namun demikian, pada al-An‘ām/6: 61 dijelaskan bahwa malaikat yang mematikan manusia itu banyak, pengertian ini tercakup pada kata rusulunā (utusan-utusan Kami) yang terdapat pada ayat tersebut. Dengan keterangan ayat yang terakhir ini dapat dipahami bahwa yang mencabut nyawa itu tidak hanya satu, tetapi banyak jumlahnya, seperti yang dimaksud pada al-An‘ām/6: 61.
Ibnu ‘Abbās mengungkapkan bahwa malaikat pencabut nyawa itu satu, tetapi mempunyai pembantu yang banyak. Secara kebahasaan, keterangan ini dapat diterima, karena bahasa membenarkan penggunaan bentuk jamak, bila yang dimaksud adalah sesuatu yang disebut dalam kelompok. Karena konteks Surah as-Sajdah ayat 11 ini tentang manusia secara keseluruhan, maka dari segi makna jumlah mereka banyak. Selanjutnya, karena setiap manusia dicabut rohnya oleh satu malaikat, sedang manusia itu banyak, maka penggunaan bentuk tunggal bagi malaikat menunjukkan bahwa masing-masing manusia dicabut nyawanya oleh satu malaikat.
Selanjutnya perlu pula dijelaskan tentang siapa yang mewafatkan manusia. Pada Surah az-Zumar/39: 42 dijelaskan bahwa yang mematikan manusia itu adalah Allah sendiri. Kesimpulan dari ayat-ayat yang diuraikan adalah bahwa yang mewafatkan manusia itu adalah Allah, yang memerintahkan kepada malaikat pencabut nyawa untuk pelaksanaannya. Selanjutnya, malaikat maut menugaskan pembantu-pembantunya untuk mencabut nyawa manusia-manusia yang dimaksud, dan merekalah yang dimaksud dengan rusulunā (utusan-utusan Kami) yang terdapat pada surat al-An’am/6: 61.
2. Ḥaqq al-Qaul حَقَّ الْقَوْلِ (as-Sajdah/32: 13)
Istilah ini terdiri dari dua kata, yaitu ḥaqq dan al-qaul. Yang pertama (ḥaqq) merupakan kata kerja yang artinya menang karena benar, tetap, menetapkan, mewajibkan. Sedang yang kedua (al-qaul) berasal dari kata kerja qāla yang artinya berbicara, menetapkan hukum, menang, menyukai, meminang, meriwayatkan. Dengan demikian, al-qaul dapat diartikan sebagai pembicaraan, penetapan hukum, kemenangan, pinangan, dan periwayatan. Dalam ayat ini, yang dimaksud dengan kata tersebut adalah penetapan hukum, sehingga ḥaqq al-qaul dapat diartikan sebagai penetapan hukum, yaitu hukum atau ketetapan Allah yang telah diputuskan. Frasa ini mengisyaratkan bahwa ketetapan Allah untuk menguji manusia, apakah ia taat dan akan diberi balasan baik atau durhaka yang akan diberi hukuman, merupakan sesuatu yang telah diputuskan.

