يَعْلَمُوْنَ ظَاهِرًا مِّنَ الْحَيٰوةِ الدُّنْيَاۖ وَهُمْ عَنِ الْاٰخِرَةِ هُمْ غٰفِلُوْنَ
Ya‘lamūna ẓāhiram minal-ḥayātid-dun-yā, wa hum ‘anil-ākhirati hum gāfilūn(a).
Mereka mengetahui yang lahir (tampak) dari kehidupan dunia, sedangkan terhadap (kehidupan) akhirat mereka lalai.
Mereka tidak memiliki pengetahuan tentang hakikat keagamaan. Mereka hanya mengetahui yang lahir atau tampak dari kehidupan dunia, sedangkan terhadap kehidupan akhirat mereka benar-benar lalai.
Ayat ini merupakan penegasan sifat-sifat orang kafir di atas, yaitu mereka yang tidak mengetahui hukum-hukum alam dan hubungan yang kuat antara satu hukum dengan hukum yang lain. Mereka hanya memandang persoalan hidup ini secara pragmatis, yakni menurut kegunaan dan manfaat yang lahir saja. Mereka mengetahui tentang hidup ini hanya pada yang tampak saja, seperti bercocok tanam, berdagang, bekerja, dan yang berhubungan dengan urusan dunia. Ilmu mereka itu pun tidak sampai kepada inti persoalan, sehingga mereka tertipu dengan ilmunya itu.
Karena tidak menghayati dan mengetahui ilmu yang hakiki, maka orang yang musyrik, orang-orang sesat, dan pendusta itu lalai akan kehidupan akhirat dan kehidupan yang sebenarnya. Kelalaian mereka mempersiapkan diri untuk menghadapi hari akhirat menyebabkan mereka tidak dapat lagi menilai sesuatu dengan benar, baik terhadap keinginan mereka, maupun terhadap kejadian dan peristiwa yang mereka alami.
Adanya perhatian terhadap hari perhitungan di akhirat dalam hati manusia, akan mengubah pandangan dan penilaiannya terhadap segala sesuatu yang terjadi di dunia ini. Mereka yakin bahwa hidup di dunia ini merupakan sebuah perjalanan singkat dari perjalanan hidup yang panjang. Akan tetapi, perjalanan yang pendek ini sangat menentukan kehidupan yang panjang nanti di akhirat. Apakah manusia mau merusak kehidupan yang panjang di akhirat dengan merusak kehidupan yang pendek di dunia ini?
Sehubungan dengan hal itu, manusia yang percaya kepada adanya kehidupan akhirat dengan perhitungan yang tepat dan kritis, sukar mencari titik temu dengan orang yang hanya hidup untuk dunia ini saja. Antara satu dengan yang lain akan terdapat perbedaan dalam menilai suatu persoalan. Masing-masing mempunyai pertimbangan dan kacamata sendiri dalam melihat benda-benda alam, situasi dan peristiwa yang sedang dihadapi, persoalan mati dan hidup, masa lampau dan masa sekarang, alam manusia dan alam binatang, hal yang gaib dan yang nyata, lahir dan batin, dan sebagainya.
Ar-Rūm اَلرُّوْم (ar-Rūm/30: 2)
Peristiwa ini pada ayat 1-7 diwahyukan sekitar 6 atau 7 tahun sebelum Hijrah Nabi (615-616 M) dari Mekah ke Medinah. Sebelum itu, pihak Persia telah menyerang dan menaklukkan Syiria dan Yerusalem. Kalangan sejara-wan Muslim dan Ahli Kitab sependapat mengenai hal ini. Dengan begitu, pihak Kristen di Roma kehilangan kekuasaannya di kedua wilayah itu.
Ketika itu arus penaklukan Persia atas Romawi sangat gencar. Berita ini sampai juga ke Mekah dan pihak musyrik merasa senang sekali. Mereka mengejek kaum Muslimin dan orang-orang Nasrani yang sama-sama Ahli Kitab. Mereka juga merasa mendapat kemenangan karena mereka dan orang Persia sama-sama pagan (musyrik).
“Negeri yang dekat” dalam ayat itu adalah Syiria dan Palestina. Kerajaan Kristen di Roma telah kehilangan Yerusalem dan Damsyik (Damaskus) yang jatuh ke tangan Persia, dan pihak Kristen dihancurkan. Kalangan musyrik Quraisy yang pro Persia ketika itu gembira sekali. Mereka makin kuat mengejek dan menekan Nabi Muhammad. Akan tetapi, ayat-ayat itu juga sudah membayangkan bahwa pada gilirannya nanti Romawi akan dapat mengalahkan Persia, dan sejarah pun memang membuktikan kenyataan yang demikian. Sebelum itu, kaum musyrik Mekah yang merasa kegirangan melihat kemenangan Persia mengajak Abu Bakar aṣ-Ṣiddiq bertaruh dalam jumlah besar, demikian sejarah mencatat, yang kemudian berakhir dengan kemenangan Abu Bakr.
Biḍ’ sinīn berasal dari kata biḍ’ dan sinīn dalam ayat 4 di atas, yang berarti “beberapa tahun” dalam arti antara 3 dan 9 tahun. Kemenangan Romawi itu memang terjadi 7 tahun kemudian.
Pada tahun 610, Heraklius (575-642 M) berhasil menurunkan Phocas dari takhta di Konstantinopel. Ia menggantikannya dengan mengumumkan dirinya sebagai Kaisar Romawi. Dalam perang dengan Persia, ia sangat terpukul karena mendapat serangan sekaligus dari Persia dan Avars (mungkin termasuk ras Turki). Akan tetapi kemudian, ia berhasil membuat perjanjian dengan pihak Avars. Setelah itu, ia mengerahkan segala kemampuan dan kekuatannya dengan rencana hendak mengadakan serangan balik terhadap Persia. Sekitar tahun 621, yakni satu tahun sebelum hijrah Nabi, Heraklius menyerang Persia, dan memorak-porandakan negeri itu setelah terjadi pemberontakan di sana. Putra mahkota menduduki takhta kerajaan, rajanya pun melarikan diri, dan pada tahun 628 perang berakhir. Heraklius kembali dengan kemenangan berarti dan membawa rampasan perang yang tidak sedikit.
Hikmah apa yang didapat dari perjalanan sejarah itu? Tepat sekali kata-kata Zubair al-Kala’i, seperti dikutip oleh al-Qasimi, “Saya perhatikan ke-menangan Persia atas Romawi. Saya lihat juga kemenangan Romawi atas Persia, kemudian kemenangan Islam atas keduanya, Persia dan Romawi …”
Apa yang kita lihat dalam peristiwa ini? Tampak jelas, di bawah kepemimpinan Rasulullah dan dilanjutkan oleh Abu Bakar dan Umar, para sahabat dengan disiplin, ketaatan, dan keikhlasan berhasil membebaskan bangsa-bangsa yang waktu itu berada dalam cengkeraman penjajahan dua adikuasa—Romawi di sebelah barat dan Persia di sebelah timur. Bahkan mereka juga berhasil menguasai Persia sendiri dan Mesir.
Kerajaan Roma (Roman Empire) tua dibangun oleh Kaisar Augustus pada tahun 27 SM, dan berlangsung sampai 395 M. Kerajaan Bizantin (Romawi), yang disebut juga sebagai Kerajaan Romawi Timur atau Kerajaan Roma bagian timur (East Empire), masih bertahan seribu tahun setelah kehancuran bagian barat. Kota Bizantium lahir dari koloni Yunani tua yang dibangun di Bosporus yang berdampingan dengan Eropa.
Pada tahun 330 M, Kaisar Roma Konstantin I, dalam usahanya memper-kuat kerajaan, membangun kembali Bizantium sebagai Konstantinopel atau Istambul sekarang. Setelah Kaisar Konstantin I meninggal pada tahun 395, Kaisar Theodorus I membagi kerajaan itu antara kedua anaknya, yang kemudian tidak pernah menyatu kembali. Theodorus juga menjadikan agama Kristen satu-satunya agama kerajaan, dan menjadikan Konstantinopel sebagai pusat Kristen di Timur seperti Roma di Barat.
Kejatuhan Roma pada tahun 476 ke tangan orang Ostrogoth—termasuk cabang Goth (Jerman)—menandakan berakhirnya paro bagian barat Kerajaan Roma. Paro bagian timur tetap bertahan sebagai Kerajaan Bizantin, dengan Konstantinopel sebagai ibu kotanya. Bagian timur ini dalam beberapa segi banyak berbeda dengan bagian barat, sebagai ahli waris peradaban Helenisme (Yunani sesudah Iskandar Agung), suatu pembauran unsur-unsur Yunani dengan Eropa Tengah. Mereka lebih menekankan pada soal perdagangan, perkotaan, dan lebih kaya daripada Barat. Raja-raja mereka, yang dalam tradisi Helenisme menggabungkan fungsi politik dengan fungsi agama, dan lebih ketat mengadakan kontrol atas semua kelas sosial.

