وَلَىِٕنْ اَرْسَلْنَا رِيْحًا فَرَاَوْهُ مُصْفَرًّا لَّظَلُّوْا مِنْۢ بَعْدِهٖ يَكْفُرُوْنَ
Wa la'in arsalnā rīḥan fara'auhu muṣfarral laẓallū mim ba‘dihī yakfurūn(a).
Sungguh, jika Kami mengirimkan angin, lalu mereka melihat (tumbuh-tumbuhan) itu menguning (kering dan rusak), niscaya setelah itu mereka tetap berbuat ingkar.
Usai menjelaskan rahmat-Nya yang berupa hujan Allah bersumpah, “Sungguh jika Kami mengirimkan angin panas yang memicu bencana lalu sawah ladang mereka terbakar karenanya sehingga mereka melihat tumbuh-tumbuhan dan buah-buahan di kebun itu yang semula segar berubah menjadi kuning, kering, dan layu, pasti setelah itu mereka tetap dan terus ingkar kepada Allah. Inilah gambaran orang yang meletakkan ukuran kebahagiaannya pada hal-hal yang bersifat materi sehingga jiwanya terombang-ambing oleh keadaan yang menimpanya.
Dalam ayat ini disampaikan pengandaian, yaitu bagaimana jika yang dikirim Allah itu angin yang kering dan panas serta membuat tanaman mereka yang tadinya subur menjadi kuning dan kering. Mereka pasti bertambah ingkar kepada Allah. Pada waktu Allah mengirimkan angin yang membawa hujan saja, yang membuat tanaman mereka subur, mereka hanya bergembira dan tidak bersyukur kepada-Nya. Apalagi bila yang dikirim adalah angin kering itu. Kematian tanaman mereka yang tadinya subur itu akan membuat mereka menggerutu dan bertambah ingkar kepada Allah.
Mudbirīn مُدْبِرِيْنَ (ar-Rūm/30: 53)
Kata mudbirīn terambil dari fi’il māḍī (kata kerja masa lampau) adbara yang secara kebahasaan bermakna mundur, ke belakang atau berpaling. Dalam konteks ayat di atas, mudbirīn dimaksudkan untuk menjelaskan posisi orang yang tuli. Jika ia dalam posisi mudbirīn (membelakangi kita), maka seruan apa pun yang kita sampaikan padanya tidak akan terdengar. Ungkapan ini sesungguhnya kiasan atau sindiran Allah kepada orang-orang kafir. Mereka laksana orang mati atau orang tuli yang membelakangi kita, sehingga tidak akan bisa mendengar seruan kebenaran yang kita sampaikan.

