فَاِنْ لَّمْ يَسْتَجِيْبُوْا لَكَ فَاعْلَمْ اَنَّمَا يَتَّبِعُوْنَ اَهْوَاۤءَهُمْۗ وَمَنْ اَضَلُّ مِمَّنِ اتَّبَعَ هَوٰىهُ بِغَيْرِ هُدًى مِّنَ اللّٰهِ ۗاِنَّ اللّٰهَ لَا يَهْدِى الْقَوْمَ الظّٰلِمِيْنَ ࣖ
Fa illam yastajībū laka fa‘lam annamā yattabi‘ūna ahwā'ahum, wa man aḍallu mimmanittaba‘a hawāhu bigairi hudam minallāh(i), innallāha lā yahdil-qaumaẓ-ẓālimīn(a).
Jika mereka tidak menjawab (tantanganmu), ketahuilah bahwa mereka hanyalah mengikuti hawa nafsu mereka. Siapakah yang lebih sesat daripada orang yang mengikuti keinginannya tanpa mendapat petunjuk dari Allah? Sesungguhnya Allah tidak memberi petunjuk kepada kaum yang zalim.
Sudah barang tentu mereka tidak akan mampu mendatangkannya. Maka jika mereka tidak mampu menjawab tantanganmu untuk mendatangkan kitab berisi petunjuk yang lebih baik daripada Al-Qur`an, bahkan yang semisal dengannya, atau jika mereka tidak menyambut ajakanmu untuk beriman, maka ketahuilah, wahai Nabi Muhammad atau siapa pun, bahwa mereka tidak lagi memiliki dalih atau alasan penolakan. Dengan begitu, jika mereka tetap menolak, maka sesungguhnya mereka hanyalah mengikuti keinginan hawa nafsu mereka tanpa alasan yang kuat dan benar, dan dengan demikian mereka pada hakikatnya tidak memperoleh petunjuk, bahkan mereka adalah orang-orang yang sesat. Dan siapakah yang lebih sesat daripada orang yang mengikuti keinginan hawa nafsu-nya tanpa mendapat petunjuk dari Allah sedikit pun dan tanpa memiliki pijakan yang logis? Pastilah tidak ada yang lebih sesat daripada mereka. Sungguh, Allah tidak memberi petunjuk kepada orang-orang yang zalim yang melampaui batas-batas yang telah ditentukan oleh Allah.
Ayat ini menerangkan bahwa kalau orang-orang musyrik itu tidak dapat memenuhi tantangan Nabi mendatangkan kitab dari sisi Allah yang lebih menjamin kebahagiaan daripada Taurat dan Al-Qur’an, maka itu berarti bahwa pembangkangan mereka sesungguhnya hanyalah dorongan hawa nafsu belaka, dan mengikuti ajakan setan yang tidak beralasan sama sekali. Orang-orang yang hanya mengikuti hawa nafsunya dan menuruti bujukan setan tanpa ada petunjuk dari Allah, adalah orang-orang yang sangat sesat bahkan paling sesat. Oleh sebab itu, Allah melarang mengikuti hawa nafsu karena akan menyesatkan dari jalan yang benar. Orang-orang yang sesat dari jalan Allah akan mendapat azab yang berat, firman Allah:
يٰدَاوٗدُ اِنَّا جَعَلْنٰكَ خَلِيْفَةً فِى الْاَرْضِ فَاحْكُمْ بَيْنَ النَّاسِ بِالْحَقِّ وَلَا تَتَّبِعِ الْهَوٰى فَيُضِلَّكَ عَنْ سَبِيْلِ اللّٰهِ ۗاِنَّ الَّذِيْنَ يَضِلُّوْنَ عَنْ سَبِيْلِ اللّٰهِ لَهُمْ عَذَابٌ شَدِيْدٌ ۢبِمَا نَسُوْا يَوْمَ الْحِسَابِ ࣖ ٢٦ (ص)
(Allah berfirman), “Wahai Daud! Sesungguhnya engkau Kami jadikan khalifah (penguasa) di bumi, maka berilah keputusan (perkara) di antara manusia dengan adil dan janganlah engkau mengikuti hawa nafsu, karena akan menyesatkan engkau dari jalan Allah. Sungguh, orang-orang yang sesat dari jalan Allah akan mendapat azab yang berat, karena mereka melupakan hari perhitungan.” (Ṣād/38: 26)
Pada akhir ayat 50 ini ditegaskan bahwa Allah tidak akan memberi petunjuk kepada orang yang zalim dan selalu meninggalkan perintah Allah, melanggar larangan-Nya, mendustakan rasul-Nya, mengikuti kemauan hawa nafsu, dan lebih mengutamakan ketaatan kepada setan daripada ketaatan kepada Allah. Orang-orang zalim itu akan mendapat azab yang amat pedih di akhirat. Firman Allah:
فَقَدْ كَذَّبُوْكُمْ بِمَا تَقُوْلُوْنَۙ فَمَا تَسْتَطِيْعُوْ نَ صَرْفًا وَّلَا نَصْرًاۚ وَمَنْ يَّظْلِمْ مِّنْكُمْ نُذِقْهُ عَذَابًا كَبِيْرًا ١٩ (الفرقان)
Maka sungguh, mereka (yang disembah itu) telah mengingkari apa yang kamu katakan, maka kamu tidak akan dapat menolak (azab) dan tidak dapat (pula) menolong (dirimu), dan barang siapa di antara kamu berbuat zalim, niscaya Kami rasakan kepadanya azab yang besar. (al-Furqān/25: 19)
Dan firman-Nya:
فَاخْتَ َفَ الْاَحْزَابُ مِنْۢ بَيْنِهِمْ ۚفَوَيْلٌ لِّلَّذِيْنَ ظَلَمُوْا مِنْ عَذَابِ يَوْمٍ اَلِيْمٍ ٦٥ (الزخرف)
Tetapi golongan-golongan (yang ada) saling berselisih di antara mereka; maka celakalah orang-orang yang zalim karena azab pada hari yang pedih (Kiamat). (az-Zukhruf43: 65)
1. Hawāhu هَوَاهُ (al-Qaṣaṣ/28: 50)
Kata hawāhu merupakan gabungan dua kata yaitu hawā dan ḍamīr muttaṣil dari huwa. Lafal hawā sendiri terbentuk dari kata hawā-yahwi yang berarti jatuh dari atas ke bawah. Al-Hawā berarti ruang yang berada antara langit dan bumi atau setiap sesuatu yang kosong dan hampa. Bentuk jamaknya adalah ahwiyah. Al-Hawā juga diartikan dengan orang yang penakut, karena penakut hatinya seakan-akan kosong. Allah berfirman “Wa af’idatuhum hawā” (Ibrāhīm/14: 43) diartikan dengan akal dan hati yang kosong. Al-Hawā berarti juga setiap batas antara dua ruang/tempat seperti antara bawah sumur dengan atas sumur, antara lain rumah dengan atapnya. Al-Mahwā diartikan dengan ruang kosong antara dua gunung. Kata hawā dengan berbagai bentuk derivasinya terulang dalam Al-Qur’an sebanyak 38 kali.
Al-Hawā berarti juga kecintaan dan keinginan seorang manusia terhadap sesuatu. Allah berfirman dalam Surah an-Nāzi’āt/79: 40, “wa nahā an-nafs ‘an al-hawā” (dan menahan diri dari (keinginan) hawa nafsunya). Kata hawā lebih banyak digunakan untuk arti kecenderungan hati atau jiwa terhadap syahwat. Dinamakan seperti ini karena pemilik hati lebih cenderung kepada dunia atau lebih dikenal dengan istilah hawa nafsu yang lebih bernuansa negatif. Oleh karena itu, Allah menamai salah satu neraka dengan al-Hāwiyah (al-Qāri’ah/101: 9).
Pada ayat ini, Allah menjelaskan sikap orang-orang kafir terhadap kerasulan Muhammad saw. Mereka memintanya untuk mendatangkan seperti apa yang Allah berikan kepada Musa dahulu. Akan tetapi, ketika mereka ditantang untuk mendatangkan kitab suci selain Al-Qur’an dan Taurat yang lebih bisa menjamin kebahagiaan mereka, ternyata mereka tidak bisa mendatangkannya. Ini sebagai bukti bahwa pembangkangan yang mereka lakukan bukanlah keluar atas nama hati nurani, melainkan hanyalah karena terdorong hawa nafsu (al-hawā) belaka.
2. Waṣṣalnā وَصَّلْناَ (al-Qaṣaṣ/28: 51)
Kata waṣṣalnā merupakan kata yang terbentuk dari kata waṣṣala yang berarti sampai ke tujuan. Waṣal juga berarti bersambung yang merupakan antonim dari lafal al-faṣl. Waṣṣala juga berarti bersambungnya sesuatu dengan cara teratur dan tidak terputus. Dalam hadisnya, Rasulullah melarang umatnya untuk melakukan wiṣal yaitu puasa yang terus menerus. Kata ini bisa digunakan dalam fiksi dan non fiksi. Dalam fiksi, misalnya waṣaltu fulān (aku telah mendatangi si fulan). Al-Waṣīlah berarti juga tanah yang luas.
Pada ayat ini dijelaskan bahwa Allah telah menurunkan Al-Qur’an secara bertahap dalam waktu yang berbeda dan masa yang cukup lama. Namun demikian, Al-Qur’an tetap tersusun dengan rapi dan serasi.

