وَمَا كُنْتَ تَرْجُوْٓا اَنْ يُّلْقٰٓى اِلَيْكَ الْكِتٰبُ اِلَّا رَحْمَةً مِّنْ رَّبِّكَ فَلَا تَكُوْنَنَّ ظَهِيْرًا لِّلْكٰفِرِيْنَ ۖ
Wa mā kunta tarjū ay yulqā ilaikal-kitābu illā raḥmatam mir rabbika falā takūnanna ẓahīral lil-kāfirīn(a).
Engkau tidak pernah mengharap agar Kitab (Al-Qur’an) itu diturunkan kepadamu, tetapi ia (diturunkan) sebagai rahmat dari Tuhanmu. Oleh sebab itu, janganlah engkau sekali-kali menjadi penolong bagi orang-orang kafir.
Pada masa sebelum turunnya wahyu pertama, engkau wahai Nabi Muhammad tidak pernah menduga dan mengharap agar Kitab Al-Qur'an itu diturunkan kepadamu, tetapi ternyata ia diturunkan oleh Allah kepadamu. Hal ini adalah sebagai rahmat yang sangat besar dari Tuhanmu, bagi dirimu dan seluruh makhluk di alam raya ini. Oleh sebab itu, ingatlah nikmat tersebut, dan tetaplah menyampaikannya. Janganlah sekali-kali engkau menjadi penolong bagi orang-orang kafir,
Ayat ini menerangkan bahwa Muhammad tidak pernah mengharapkan diturunkannya Al-Qur’an kepadanya untuk mengetahui berita-berita orang-orang sebelumnya, dan hal-hal yang terjadi sesudahnya, antara lain seperti agama yang mengandung kebahagiaan bagi manusia di dunia dan akhirat, dan juga adab-adab yang meninggikan derajat mereka dan mencerdaskan akal pikiran mereka. Sekalipun demikian, Allah menurunkan semuanya itu kepada Muhammad sebagai rahmat dari-Nya.
Pada ayat ini, Allah melarang Nabi Muhammad dan umatnya untuk membantu perjuangan orang-orang kafir dalam bentuk apa pun. Umat Muhammad justru dituntut untuk membantu memperkuat perjuangan umat Islam. Oleh karena itu, hendaklah ia memuji Tuhannya atas nikmat yang dikaruniakan kepadanya dengan penurunan kitab suci Al-Qur’an. Nabi saw tidak perlu menolong dan membantu orang-orang musyrik yang mengingkari Kitab suci Al-Qur’an itu, tetapi hendaklah ia memisahkan diri dan berpaling dari mereka sesuai dengan firman Allah:
فَاصْدَعْ بِمَا تُؤْمَرُ وَاَعْرِضْ عَنِ الْمُشْرِكِيْن َ ٩٤ (الحجر)
Maka sampaikanlah (Muhammad) secara terang-terangan segala apa yang diperintahkan (kepadamu) dan berpalinglah dari orang yang musyrik. (al-Ḥijr/15: 94)
1. Faraḍa فَرَضَ (al-Qaṣaṣ/28: 85)
Kata faraḍa dalam Al-Qur’an disebut tidak kurang dari 4 kali, yaitu dalam Surah al-Baqarah/2: 197, Surah al-Aḥzāb/33: 38, Surah at-Taḥrīm/66: 2, dan dalam Surah al-Qaṣaṣ/28: 81 ini. Kalau subjek (fā’il)nya manusia, maka artinya “mengerjakan sesuatu sebagai kewajiban,” seperti terdapat dalam Surah al-Baqarah/2: 197. Akan tetapi, kalau subjek (fā’il)nya Allah, maka faraḍa berarti mewajibkan. Kata faraḍa ‘alaika dalam ayat ini mengandung tiga macam arti. Menurut ‘Aṭā’ bin Abi Rabah dan Ibnu Qutaibah, kata itu berarti Allah mewajibkan kepada Muhammad untuk mengamalkan hukum-hukum Al-Qur’an. Menurut Mujāhid, artinya Allah memberikan kepada Nabi Muhammad Al-Qur’an. Menurut Muqātil, al-Farra’ dan Abū Ubaidah, maksudnya adalah Allah menurunkan kepada Muhammad Al-Qur’an.
2. Larādduka لَرَادُّكَ (al-Qaṣaṣ/28: 85)
Kata larādduka dalam rangkaian ayat ini merupakan predikat/khabar inna, yang artinya “pasti akan mengembalikanmu (Muhammad).” Menurut sebagian mufasir, ayat ini diturunkan pada waktu Nabi Muhammad berangkat dari Mekah, yakni dalam perjalanan hijrah menuju Medinah. Nabi Muhammad sesampai di Juhfah, menolehkan mukanya ke arah Mekah karena ingin kembali ke sana. Allah menegaskan janji-Nya bahwa Dia yang telah mewajibkan kepada Nabi Muhammad untuk mengamalkan hukum-hukum Al-Qur’an, pasti akan mengembalikan beliau ke Mekah melalui futuḥ Mekah pada waktu yang tepat. Jadi, penaklukan kota Mekah benar-benar dijanjikan Allah kepada Nabi Muhammad, sehingga kota itulah tempat beliau kembali (ma’ad), yang dari situ beliau diusir.

