وَالرُّجْزَ فَاهْجُرْۖ
War-rujza fahjur.
Segala (perbuatan) yang keji, tinggalkanlah!
Dan petunjuk yang ketiga adalah, tinggalkanlah segala perbuatan yang keji seperti penyembahan berhala, betapa pun banyak yang melakukan.
Selanjutnya Nabi Muhammad diperintahkan supaya meninggalkan perbuatan dosa seperti menyembah berhala atau patung. Kata ar-rujz yang terdapat dalam ayat ini berarti siksaan, dan dalam hal ini yang dimaksudkan ialah perintah menjauhkan segala sebab yang mendatangkan siksaan, yakni perbuatan maksiat. Termasuk yang dilarang oleh ayat ini ialah mengerjakan segala macam perbuatan yang menyebabkan perbuatan maksiat.
Membersihkan diri dari dosa apalagi bagi seorang dai adalah suatu kewajiban. Sebab, kalau pada diri sang dai sendiri diketahui ada cela dan aib oleh masyarakat, tentu perkataan dan nasihatnya sulit diterima orang. Bahkan mubalig yang pandai memelihara diri sekali pun pasti menghadapi dua bentuk tantangan, yakni:
a. Boleh jadi orang yang diajak dan diseru ke jalan Allah akan menepuk dada, memperlihatkan kesombongannya, sehingga merasa tidak lagi membutuhkan nasihat. Dengan kekayaan, ilmu pengetahuan, atau kedudukan tinggi yang dimilikinya, ia merasa tidak perlu lagi diajak ke jalan Allah.
b. Mungkin pula sang dai dimusuhi oleh penguasa dan yang tidak senang kepadanya. Sang dai akan diusir, disiksa, dikurangi hak-haknya, diintimidasi, dilarang, atau dihalang-halangi menyampaikan dakwah dan menegakkan yang hak. Semuanya itu merupakan akibat yang harus dihadapi bagi siapa saja yang berjihad di jalan Allah. Memelihara diri dari segala tindakan dan perkataan yang melunturkan nama baik di mata masyarakat adalah sebagian dari ikhtiar dalam rangka mencapai kesuksesan dalam berdakwah.
1. Al-Muddaṡṡir الْمُدَّثِّر (al-Muddaṡṡir/74: 1)
Kata al-muddaṡṡir adalah isim fā‘il dari tadaṡṡara. Menurut al-Ragib al-Aṣfahanī, kata muddaṡṡir berasal dari kata mutadaṡṡir, di-idgām-kan menjadi dal. Sedangkan menurut pengarang al-Mu‘jam al-Wasiṭ, kata tadaṡṡara berarti seseorang yang memakai diṡār, yaitu sejenis kain yang diletakkan di atas baju yang dipakai untuk menghangatkan atau dipakai sewaktu orang berbaring atau tidur. Oleh sebab itu, kata diṡār dapat diartikan dengan “selimut”. Dengan demikian, maka kata al-muddaṡṡir berarti “orang yang berselimut”. Ulama tafsir sepakat bahwa yang dimaksud dengan yang berselimut adalah Nabi Muhammad. Makna ini dapat dipahami dari sabab nuzul ayat yang berkenaan dengan pembahasan ini. Pengertian ini didukung oleh qira‘ah atau bacaan yang dinisbahkan kepada ‘Ikrimah, yaitu “yā ayyuhal-mudṡar”.
Biasa nya bila seseorang takut, ia akan menggigil, oleh sebab itu ia menutupi dirinya dengan selimut. Menyelimuti atau diselimuti dalam ayat tersebut adalah untuk menghilangkan rasa takut yang meliputi jiwa Nabi Muhammad beberapa saat sebelum turunnya ayat-ayat ini. Hal ini terjadi pada diri Nabi Muhammad, khususnya pada masa awal kedatangan malaikat Jibril kepada beliau.
2. An-nāqūr النَّاقُوْر (al-Muddaṡṡir/74: 8)
Kata an-nāqūr terambil dari kata naqara-yanquru-naqran. Kalimat naqaraṭ-ṭā'irusy-syai'a berarti burung itu melubangi sesuatu. Dari kata ini diambil kata naqīr yang berarti lubang yang ada pada bagian atas biji-bijian. Darinya juga diambil kata nāqūr yang berarti sangkakala yang ditiup oleh malaikat. Kalimat nuqira fin-nāqūr berarti sangkakala ditiup.

