وَيَمْنَعُوْنَ الْمَاعُوْنَ ࣖ
Wa yamna‘ūnal-mā‘ūn(a).
dan enggan (memberi) bantuan.
Dan di samping itu, mereka juga enggan memberikan bantuan kepada sesama, bahkan untuk sekadar meminjamkan barang keperluan sehari-hari yang sepele. Hal ini mengindikasikan buruknya akhlak mereka kepada orang lain. Dengan begitu, lengkaplah keburukan mereka. Selain tidak beridabah kepada Tuhan dengan sempurna, mereka pun tidak berbuat baik kepada manusia.
Allah menambahkan lagi dalam ayat ini sifat pendusta itu, yaitu mereka tidak mau memberikan barang-barang yang diperlukan oleh orang-orang yang membutuhkannya, sedang barang itu tak pantas ditahan, seperti periuk, kapuk, cangkul, dan lain-lain.
Keadaan orang yang membesarkan agama berbeda dengan keadaan orang yang mendustakan agama, karena yang pertama tampak dalam tata hidupnya yang jujur, adil, kasih sayang, pemurah, dan lain-lain. Sedangkan sifat pendusta agama ialah ria, curang, aniaya, takabur, kikir, memandang rendah orang lain, tidak mementingkan yang lain kecuali dirinya sendiri, bangga dengan harta dan kedudukan, serta tidak mau mengeluarkan sebahagian dari hartanya, baik untuk keperluan perseorangan maupun untuk masyarakat.
1. Yurā’ūna يُرآءُوْنَ (al-Mā‘ūn/107: 6)
Yurā’ūna merupakan kata kerja yang terambil dari ra’a-yarā yang artinya melihat. Dari akar kata ini muncul pula term riyā’, yang makna aslinya merupakan istilah untuk menyebut orang yang melakukan sesuatu sambil melihat adakah manusia yang memperhatikannya, sehingga bila tidak ada yang melihatnya, ia tidak melakukannya. Ia bersikap demikian karena mengharap orang yang melihatnya akan memberikan pujian padanya. Dengan kata lain, orang yang bersikap riyā’ adalah yang bila ia melakukan sesuatu selalu berusaha atau berkeinginan agar dilihat atau diperhatikan orang lain untuk mendapat pujian. Dari makna ini, kata riyā’ atau yurā’ūna diartikan sebagai melakukan suatu pekerjaan bukan karena Allah semata, tetapi juga mendapatkan pujian atau popularitas.
Riyā’ adalah suatu sifat yang sangat abstrak. Keberadaannya sulit atau bahkan mustahil untuk dideteksi orang lain. Bahkan orang yang bersangkutan juga sering tidak menyadari akan keberadaan sifat ini pada dirinya. Lebih-lebih bila ia sedang asyik atau disibukkan oleh kegiatan yang dilakukannya. Karena itulah, setiap orang dianjurkan untuk memulai pekerjaannya dengan membaca basmalah, yang manfaatnya antara lain untuk menghindarkan diri dari sikap riyā’ ini.
2. Al-Mā‘ūn الْمَاعُوْنَ (al-Mā‘ūn/107: 7)
Al-Mā‘ūn berasal dari kata kerja a‘āna-yu‘īnu, yang artinya membantu dengan sesuatu yang jelas, baik dengan menggunakan alat atau fasilitas sehingga memudahkan tercapainya sesuatu yang diharapkan. Pendapat lain mengatakan bahwa term ini berasal dari kata ma‘ūnah yang berarti bantuan. Selain itu ada pula yang berpendapat bahwa istilah ini berasal dari kata al-ma‘n, yang artinya sedikit.
Dalam berbagai tafsir dijelaskan bahwa makna yang dituju dari kata ini bermacam-macam. Ada yang menafsirkannya sebagai zakat, harta benda, alat-alat rumah tangga, air, barang keperluan sehari-hari, dan lainnya. Bila diperhatikan, semuanya menunjuk pada sesuatu yang sangat diperlukan walau hanya sedikit. Dengan makna ini dapat dipahami betapa tercelanya orang yang menghalangi orang lain untuk memberikan bantuan kepada yang memerlukan, walau hanya sedikit.

