مَآ اَغْنٰى عَنْهُ مَالُهٗ وَمَا كَسَبَۗ
Mā agnā ‘anhu māluhū wa mā kasab(a).
Tidaklah berguna baginya hartanya dan apa yang dia usahakan.
Ketika azab Allah menimpanya maka tidaklah berguna baginya hartanya yang dia kumpulkan dan banggakan, dan tidak pula bermanfaat apa yang dia usahakan seperti jabatan dan keturunan untuk menyelamatkan dirinya dari azab itu. Hanya iman dan amal saleh yang dapat menyelamatkan seseorang dari murka Allah.
Dalam ayat ini, Allah menjelaskan bahwa apa yang menjadi kebanggaan Abū Lahab dalam hidup, yaitu harta dan kedudukan, ternyata sama sekali tidak dapat menyelamatkannya dari azab Allah pada hari Kiamat. Begitu pula usahanya untuk memusuhi dan mengalahkan Nabi Muhammad tidak berhasil sama sekali.
Abū Lahab sangat membenci Nabi saw dan paling gigih mengajak orang untuk menentangnya dan paling kasar menghadapinya. Rabā‘ah bin ‘Ubbād berkata:
رَأَيْتُ النَّبِيَّ صَلَّى اللّٰهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فِى الْجَاهِلِيَّة ِ فِى سُوْقِ ذِي الْمَجَازِ وَهُوَ يَقُوْلُ: قُوْلُوْا لَا إِلٰهَ اِلاَّ اللّٰهُ تُفْلِحُوْا، وَالنَّاسُ مُجْتَمِعُوْنَ عَلَيْهِ، وَرَاءَهُ رَجُلٌ وَضِيْءُ الْوَجْهِ اَحْوَلُ الْعَيْنَيْنِ ذُوْ غَدِيْرَتَيْنِ يَقُوْلُ إِنَّهُ صَابِئٌ كَاذِبٌ، يَتْبَعَهُ حَيْثُ ذَهَبَ فَسَأَلْتُ عَنْهُ فَقَالُوْا: هٰذَا عَمُّهُ أَبُوْ لَهَبٍ. (رواه أحمد)
Saya melihat Nabi Muhammad saw pada masa Jahiliah di pasar Żū al-Majāz bersabda, “Ucapkanlah tiada Tuhan melainkan Allah niscaya kamu akan berbahagia!” Orang-orang berkumpul di sekitar beliau. Di belakang beliau seorang laki-laki, putih warna mukanya, juling matanya, mempunyai dua untaian rambut di kepalanya, berkata, “Dia (Muhammad) beragama Ṣābi' dan pembohong.” Ia mengikuti Nabi ke mana saja beliau pergi, lalu saya bertanya, “Siapakah orang itu?” Mereka menjawab, “Itu adalah pamannya sendiri Abū Lahab.” (Riwayat Aḥmad)
Dengan ini dijelaskan bahwa Abū Lahab selalu menentang kebenaran dan menjauhkan orang dari mengikuti kebenaran. Ia menyatakan bahwa Nabi Muhammad saw adalah seorang pendusta. Ia juga menentang beliau dan merendahkan nilai agama serta petunjuk yang beliau bawa.
Abī Lahab اَبِيْ لَهَبٍ (al-Lahab/111: 1)
Ada tiga nama yang biasa dipakai sebagai judul surah Makkiyyah ini: al-Masad, al-Lahab, dan Tabbat, yang semua mengacu pada Abū Lahab, julukan yang biasa dikenakan kepadanya. Judul ini diambil dari kata-katanya sendiri yang memaki-maki kemenakannya, Muhammad saw. Abū Lahab adalah salah seorang paman Nabi Muhammad. Abū Lahab adalah gelarnya, yang berarti “bapak nyala api,” atau “si nyala api”. Diberi gelar demikian karena warna kulitnya yang putih terang kemerah-merahan seperti nyala api dan berwajah tampan, serta wataknya yang keras berapi-api. Nama yang sebenarnya Abdul-‘Uzza, salah seorang dari sepuluh anak ‘Abdul Muṭallib, anak tunggal dari ibu yang lain. Di antara mereka bersaudara yang terbilang kaya hanya ‘Abbās dan Abū Lahab, dan keduanya pedagang besar. Abū Lahab sangat beringas, jarang dapat bergaul baik dengan orang, saudara-saudaranya sendiri pun menjauhinya. Sejak awal sampai akhir hayatnya, ia paling keras memusuhi kemenakannya itu, lebih-lebih setelah Nabi membawa ajaran bahwa semua sama di hadapan Tuhan, dan yang akan dinilai hanya yang sesuai dengan perbuatannya. Keangkuhan memang sudah menjadi bawaannya sejak dulu, ditambah lagi karena kekayaannya, ia menjadi sangat sombong.
Ketika Nabi saw mengundang kaum Quraisy dan sanak saudaranya sendiri untuk mendengarkan ajakannya dan memperingatkan mereka terhadap segala perbuatan dosa kaumnya, kemarahan laki-laki yang berbadan gemuk, “Si Nyala Api,” yang cepat naik darah itu pun meledak dan mengutuk Nabi, “Celaka engkau!” Setelah itu turunlah Surah al-Lahab ayat 1-3.
Abū Jahal adalah teman dekat Abū Lahab, dan keduanya termasuk penghasut perang yang paling bersemangat. Mereka memusuhi Islam dan Nabi secara pribadi. Abū Jahal terbunuh dalam Perang Badar, tetapi Abū Lahab yang bertubuh besar dan gemuk tidak ikut terjun ke medan pertempuran, hanya tinggal di Mekah. Istri Abū Lahab, Ummu Jamīl, perempuan yang sama bengisnya dengan suaminya, menyimpan kebencian dan kedengkian kepada Nabi, orang yang begitu ramah terhadap siapapun, rendah hati, dan berhati bersih. Ia mengumpulkan ranting-ranting berduri yang diikat dengan tali serat kurma yang sudah dipintal, malam harinya membawa dan menyebarkannya ke tempat-tempat yang diperkirakan akan dilalui oleh Nabi, yang disebutkan di atas sebagai “pembawa kayu bakar” serta berbagai perbuatan keji semacamnya.
Setelah Abū Lahab tahu pasukan Quraisy yang dibina dan dibanggakannya mengalami kekalahan telak dalam perang itu, pemuka-pemuka mereka banyak yang terbunuh, seminggu kemudian ia pun mati mendadak di rumahnya, digerogoti oleh api dendam, kemarahan, dan kedengkiannya sendiri. Sumber lain menyebutkan, tak lama setelah peristiwa di Badar itu, ia jatuh sakit, terserang penyakit kulit sejenis bisul yang sangat menular. Penyakit mematikan ini yang mengakhiri hidupnya. Ia dibiarkan selama tiga hari tidak dikuburkan hingga membusuk. Karena takut tertular, anaknya sendiri pun memandikannya dengan menyiramkan air dari kejauhan. Akhirnya oleh orang-orang Quraisy yang juga mau menjauhkannya, mayatnya dibawa ke luar kota Mekah, lalu dibaringkan dan ditimbun dengan batu-batuan.

