وَادْخُلِيْ جَنَّتِيْ ࣖࣖ
Wadkhulī jannatī.
dan masuklah ke dalam surga-Ku!
Dan masuklah bersama mereka ke dalam surga-Ku yang telah Aku persiapkan untukmu, surga yang penuh kenikmatan. Kekallah di sana selama-lamanya. Terima dan nikmatilah anugerah-Ku yang agung ini.
Dalam ayat-ayat ini, Allah memanggil jiwa yang tenang dan damai ketika diwafatkan, yaitu jiwa yang suci karena iman dan amal saleh yang dikerjakannya, sehingga memperoleh apa yang dijanjikan Allah kepadanya. Jiwa itu diminta Allah untuk pulang memenuhi panggilan-Nya dengan menghadap kepada-Nya kembali dengan perasaan puas dan senang karena telah memenuhi perintah-perintah-Nya waktu hidup di dunia. Allah juga puas dan senang kepadanya karena sudah menjalankan perintah-perintah-Nya. Setelah datang kepada-Nya, jiwa itu dipersilakan Allah masuk ke dalam kelompok hamba-hamba-Nya, yaitu ke dalam surga-Nya.
An-Nafsul-Muṭma'innah النَّفْسُ الْمُطْمَئِنَّ ةُ (al-Fajr/89: 27)
Kata an-nafs digunakan di dalam Al-Qur’an dengan berbagai makna sesuai kebiasaan orang Arab menggunakan kata ini, yaitu jiwa, roh, diri (entitas) orang, darah, sisi, saudara, dan lainnya. Nafs dengan arti jiwa (kesadaran untuk menalar) dan roh (nyawa) disebut di antaranya dalam firman Allah, “Allah memegang jiwa (orang) ketika matinya dan (memegang) jiwa (orang) yang belum mati di waktu tidurnya.” (az-Zumar/39: 42), dan dengan arti diri/orang dalam firman Allah, “Dan jagalah dirimu dari (azab) hari (Kiamat, yang pada hari itu) seseorang tidak dapat membela orang lain, walau sedikit pun..” (al-Baqarah/2: 48). Dengan arti sisi sebagaimana dalam firman Allah, “Jika aku pernah mengatakan maka tentulah Engkau mengetahui apa yang ada pada diriku dan Aku tidak mengetahui apa yang ada pada diri Engkau.” (al-Mā'idah/5: 116). Adapun yang dimaksud dengan kata nafs di sini adalah jiwa atau kesadaran manusia.
Sedangkan kata al-muṭma’innah berarti yang tenang, isim fā‘il dari kata iṭma’anna. Kata ini di sini menggambarkan kondisi hati yang tenang karena iman, dan perkataan ini—sebagaimana dijelaskan dalam sebuah riwayat—diucapkan oleh malaikat kepada orang yang beriman saat kematiannya. Selain kondisi tenteram, Al-Qur’an juga menyebut kondisi nafs lainnya, yaitu an-nafsul-lawwāmah (jiwa yang menyesali) sebagaimana dalam firman Allah, “Dan Aku bersumpah dengan jiwa yang amat menyesali (dirinya sendiri).” (al-Qiyāmah/75: 2), juga an-nafsul-ammārah sebagaimana dalam firman Allah, “Dan aku tidak (menyatakan) diriku bebas (dari kesalahan), karena sesungguhnya nafsu itu selalu mendorong kepada kejahatan, kecuali (nafsu) yang diberi rahmat oleh Tuhanku.” (Yūsuf/12: 53)

