قُلْ لَّنْ يَّنْفَعَكُمُ الْفِرَارُ اِنْ فَرَرْتُمْ مِّنَ الْمَوْتِ اَوِ الْقَتْلِ وَاِذًا لَّا تُمَتَّعُوْنَ اِلَّا قَلِيْلًا
Qul lay yanfa‘akumul-firāru in farartum minal-mauti awil-qatli wa iżal lā tumatta‘ūna illā qalīlā(n).
Katakanlah (Nabi Muhammad), “Lari itu tidak akan berguna bagimu ketika kamu lari dari kematian atau pembunuhan. Jika demikian, kamu tidak akan mengecap kesenangan, kecuali sebentar saja.”
Tindakan mereka amat tercela. Karena itu, katakanlah wahai Nabi Muhammad, “Lari dari medan perang tidaklah berguna bagimu jika kamu memang ingin melarikan diri dari kematian atau pembunuhan. Dan jika saja kamu berhasil melakukan hal demikian itu, yakni lari dari kematian, sungguh kamu hanya akan mengecap kesenangan sebentar saja di dunia ini. Cepat atau lambat kematian pasti akan menjemputmu juga.”
Pada ayat ini, Allah memerintahkan kepada Rasulullah saw agar menyampaikan kepada orang-orang yang menghindarkan diri dan lari dari medan pertempuran itu, bahwa tindakan mereka tidak akan ada manfaatnya sedikit pun. Mereka tidak akan dapat menghindarkan ajal yang telah ditetapkan Allah, tidak dapat mengelakkan pembunuhan yang ditetapkan Allah terhadap seseorang, yang akan dilakukan oleh musuh-musuhnya. Segala sesuatu itu telah ditetapkan Allah, tidak seorang pun yang dapat mengubahnya.
Seandainya seseorang dapat lari dari pertempuran dan hal itu memberi manfaat kepadanya, serta dapat menghindarkan kematian dirinya, maka yang demikian itu hanyalah bersifat sementara. Hidup di dunia ini adalah hidup yang fana, walaupun dirasakan lama, pada hakikatnya adalah singkat sekali jika dibandingkan dengan kehidupan akhirat yang abadi.
1. Al-Mu’awwiqīn الْمُعَوِّقِيْ نَ (al-Aḥzāb/33: 18)
Al-Mu’awwiqīn artinya orang-orang penghalang. Kata al-mu’awwiqīn terambil dari kata ‘awwaqa yang menunjukkan pekerjaan berulang kali, dalam hal ini berulang-ulang kali mencegah dan merintangi atau menghalangi. Kata tersebut digunakan dalam ayat ini menunjukkan kemantapan upaya itu dari pelakunya.
2. al-Aḥzāb اَلْاَحْزَاب (al-Aḥzāb/33: 20)
Kata al-aḥzāb merupakan bentuk jamak dari kata ḥizb, yang artinya golongan atau kelompok. Dengan demikian, al-aḥzāb berarti golongan-golongan atau kelompok-kelompok. Dalam hal ini, kata tersebut digunakan untuk menyebut kelompok-kelompok musuh Islam yang berkoalisi untuk menyerang kaum Muslimin di kota Medinah. Mereka yang bersekutu untuk memerangi umat Islam terdiri dari kaum kafir Mekah, Bani Gaṭafān, Bani Murrah, Bani Asyja’, kelompok Yahudi yang terdiri dari Bani Quraiẓah dan Bani an-Naḍīr. Untuk menahan serangan mereka, atas usul Salmān al-Fārisī, umat Islam kemudian membuat parit (khandaq) di bagian utara kota Medinah, yang diduga kuat akan dijadikan sebagai arah serangan musuh. Oleh karena itu, selain disebut Perang Ahzab (perang melawan pasukan koalisi), peristiwa ini juga dinamakan Perang Khandaq (Perang Parit).
Perang Ahzab ini terjadi pada bulan Syawal tahun ke-5 Hijriah. Pada perang ini, Bani Gaṭafān bersama penduduk Nejed dan orang-orang Yahudi dari Bani Quraiẓah dan Bani an-Naḍīr datang dari arah timur melalui lembah, sedang orang kafir Mekah bersama penduduk Tihāmah dan Kinānah serta berbagai suku Arab datang dari arah barat. Kekuatan tentara koalisi jauh lebih besar dari pasukan Muslimin. Oleh karena itu, Rasulullah dan tentaranya hanya bersikap menunggu di sebelah parit yang dalam yang telah mereka gali sebelumnya. Karena terhalang oleh parit ini, pasukan koalisi tidak dapat menyeberanginya. Mereka kemudian mengepung umat Islam, dan ini berlangsung lebih dari sebulan lamanya. Pengepungan ini telah menjadikan umat Islam menderita, namun mereka tetap tabah dan kompak dalam menghadapi musuh. Tidak lama kemudian terjadi perpecahan di kalangan pasukan koalisi, sehingga kekompakan mereka tidak dapat dipertahankan lagi. Selain itu, tiba-tiba terjadi badai topan yang sangat kencang yang mengakibatkan perkemahan mereka tumbang dan porak-poranda. Suasana yang menimbulkan ketakutan dan kepanikan ini memaksa Abū Sufyān sebagai pimpinan tertinggi pasukan koalisi memerintahkan tentaranya untuk mengundurkan diri dan kembali ke Mekah. Dengan mundurnya pasukan sekutu tersebut, selesailah Perang Ahzab ini, dan terlepaslah umat Islam dari kepungan mereka.

