وَلَقَدْ كَانُوْا عَاهَدُوا اللّٰهَ مِنْ قَبْلُ لَا يُوَلُّوْنَ الْاَدْبَارَ ۗوَكَانَ عَهْدُ اللّٰهِ مَسْـُٔوْلًا
Wa laqad kānū ‘āhadullāha min qablu lā yuwallūnal-adbār(a), wa kāna ‘ahdullāhi mas'ūlā(n).
Sungguh, mereka sebelum itu benar-benar telah berjanji kepada Allah tidak akan berbalik ke belakang (mundur). Perjanjian dengan Allah akan diminta pertanggungjawabannya.
Dan sungguh, sebelum itu, yaitu pada Perang Uhud, mereka telah berjanji kepada Allah di hadapan Rasulullah bahwa mereka tidak akan berbalik ke belakang atau mundur dari medan perang. Dan mereka lupa bahwa perjanjian dengan Allah akan diminta pertanggungjawabannya di hari kiamat kelak.
Ayat ini menerangkan bahwa orang-orang yang minta izin meninggalkan medan pertempuran itu pernah berjanji dengan Rasulullah saw bahwa mereka tidak akan mengkhianatinya dan akan ikut berperang bersama-sama kaum Muslimin menghadapi kaum musyrik. Akan tetapi, akhirnya mereka mengingkari janjinya.
Menurut riwayat, Bani Ḥāriṡah pernah lari dari medan Perang Uhud, kemudian mereka minta agar Nabi memaafkan kesalahan mereka. Mereka berjanji tidak akan lari lagi dari medan pertempuran dan akan berjuang dengan Nabi dan kaum Muslimin.
Pada akhir ayat ini, Allah menegaskan bahwa mereka yang telah berjanji itu akan diminta pertanggungjawaban tentang apa yang telah diucapkannya. Di hari Kiamat, mereka akan diberi pembalasan yang setimpal dengan tindakan mereka itu.
1. Al-Mu’awwiqīn الْمُعَوِّقِيْ نَ (al-Aḥzāb/33: 18)
Al-Mu’awwiqīn artinya orang-orang penghalang. Kata al-mu’awwiqīn terambil dari kata ‘awwaqa yang menunjukkan pekerjaan berulang kali, dalam hal ini berulang-ulang kali mencegah dan merintangi atau menghalangi. Kata tersebut digunakan dalam ayat ini menunjukkan kemantapan upaya itu dari pelakunya.
2. al-Aḥzāb اَلْاَحْزَاب (al-Aḥzāb/33: 20)
Kata al-aḥzāb merupakan bentuk jamak dari kata ḥizb, yang artinya golongan atau kelompok. Dengan demikian, al-aḥzāb berarti golongan-golongan atau kelompok-kelompok. Dalam hal ini, kata tersebut digunakan untuk menyebut kelompok-kelompok musuh Islam yang berkoalisi untuk menyerang kaum Muslimin di kota Medinah. Mereka yang bersekutu untuk memerangi umat Islam terdiri dari kaum kafir Mekah, Bani Gaṭafān, Bani Murrah, Bani Asyja’, kelompok Yahudi yang terdiri dari Bani Quraiẓah dan Bani an-Naḍīr. Untuk menahan serangan mereka, atas usul Salmān al-Fārisī, umat Islam kemudian membuat parit (khandaq) di bagian utara kota Medinah, yang diduga kuat akan dijadikan sebagai arah serangan musuh. Oleh karena itu, selain disebut Perang Ahzab (perang melawan pasukan koalisi), peristiwa ini juga dinamakan Perang Khandaq (Perang Parit).
Perang Ahzab ini terjadi pada bulan Syawal tahun ke-5 Hijriah. Pada perang ini, Bani Gaṭafān bersama penduduk Nejed dan orang-orang Yahudi dari Bani Quraiẓah dan Bani an-Naḍīr datang dari arah timur melalui lembah, sedang orang kafir Mekah bersama penduduk Tihāmah dan Kinānah serta berbagai suku Arab datang dari arah barat. Kekuatan tentara koalisi jauh lebih besar dari pasukan Muslimin. Oleh karena itu, Rasulullah dan tentaranya hanya bersikap menunggu di sebelah parit yang dalam yang telah mereka gali sebelumnya. Karena terhalang oleh parit ini, pasukan koalisi tidak dapat menyeberanginya. Mereka kemudian mengepung umat Islam, dan ini berlangsung lebih dari sebulan lamanya. Pengepungan ini telah menjadikan umat Islam menderita, namun mereka tetap tabah dan kompak dalam menghadapi musuh. Tidak lama kemudian terjadi perpecahan di kalangan pasukan koalisi, sehingga kekompakan mereka tidak dapat dipertahankan lagi. Selain itu, tiba-tiba terjadi badai topan yang sangat kencang yang mengakibatkan perkemahan mereka tumbang dan porak-poranda. Suasana yang menimbulkan ketakutan dan kepanikan ini memaksa Abū Sufyān sebagai pimpinan tertinggi pasukan koalisi memerintahkan tentaranya untuk mengundurkan diri dan kembali ke Mekah. Dengan mundurnya pasukan sekutu tersebut, selesailah Perang Ahzab ini, dan terlepaslah umat Islam dari kepungan mereka.

