ۨالَّذِيْنَ يُبَلِّغُوْنَ رِسٰلٰتِ اللّٰهِ وَيَخْشَوْنَهٗ وَلَا يَخْشَوْنَ اَحَدًا اِلَّا اللّٰهَ ۗوَكَفٰى بِاللّٰهِ حَسِيْبًا
Allażīna yuballigūna risālātillāhi wa yakhsyaunahū wa lā yakhsyauna aḥadan illallāh(a), wa kafā billāhi ḥasībā(n).
(yaitu) orang-orang yang menyampaikan risalah-risalah Allah, dan takut kepada-Nya serta tidak merasa takut kepada siapa pun selain kepada Allah. Cukuplah Allah sebagai pembuat perhitungan.
Nabi-nabi terdahulu itu adalah orang-orang yang menyampaikan risalah-risalah dan syariat-syariat Allah kepada manusia; mereka takut hanya kepada-Nya dan tidak merasa takut kepada siapa pun selain kepada Allah. Dan cukuplah Allah sebagai pembuat perhitungan amal perbuatan manusia secara cepat dan cermat.” (Lihat Surah al-Anbiya’/21: 47)
Pada ayat ini, Allah menerangkan bahwa rasul-rasul yang mendahului Nabi Muhammad itu telah melaksanakan sunatullah. Mereka adalah orang-orang yang penuh dengan ketakwaan dan keikhlasan dalam beribadah. Mereka juga orang-orang yang menyampaikan syariat-syariat Allah, sangat takut kepada-Nya dan tidak merasa takut kepada selain-Nya. Nabi Muhammad pun diperintahkan untuk menjadikannya teladan dalam melaksanakan sunatullah, dan cukuplah Allah sebagai pembuat perhitungan.
1. Al-Khiyarah اَلْخِيَرَة (al-Aḥzāb/33: 36)
Kata al-khiyarah disebut dua kali dalam Al-Qur’an, dalam Surah al-Qaṣaṣ/28: 68, dan dalam ayat ini. Dalam Surah al-Qaṣaṣ/28: 68 terkandung penjelasan bahwa Allah yang menciptakan segala sesuatu sesuai kehendak-Nya dan Dia yang menentukan pilihan. Tidak ada bagi manusia pilihan jika Tuhan telah menetapkan pilihan-Nya. Demikian pula dalam ayat ini, kata al-khiyarah artinya pilihan, dalam arti: tidak sepantasnya seorang mukmin, baik laki-laki atau perempuan, melakukan pilihan, kalau Allah dan rasul-Nya telah menetapkan pilihannya dalam suatu perkara yang penting, karena ketetapan atau pilihan itu akan menjadi ajaran yang harus diikuti oleh orang-orang beriman di belakang hari.
2. Waṭarā وَطَرًا (al-Aḥzāb/33: 37)
Kata waṭar hanya disebutkan dalam ayat ini. Kata waṭar merupakan kata mufrad, jamaknya awṭar, dalam kamus diartikan sebagai hajat dan keinginan (al-hajat wa al-bugyah). Menurut al-Ḥajjāj, al-waṭar adalah puncak kebutuhan yang mengandung cita-cita. Kemudian, kata ini telah menjadi ungkapan yang lazim dalam masalah talak. Seseorang menceraikan istrinya karena tidak membutuhkannya lagi. Jadi, penggunaan kata waṭar dalam rangkaian ayat ini dimaksudkan dengan arti: ketika Zaid bin Ḥariṡah tidak membutuhkan lagi Zainab binti Jahsy (mentalaknya), barulah Allah mengawinkan Nabi Muhammad saw dengannya untuk diketahui dan dimengerti oleh umat Islam bahwa menurut syariat Islam mengawini mantan istri anak angkat adalah halal atau boleh.
3. Khātam al-Nabiyyīn خَاتَم النَّبِيِّيْنَ (al-Aḥzāb/33: 40)
Ada dua qiraat mutawatirah pada kalimat ini, yaitu khātam dan khātim. Kata khātam artinya cincin yang biasa dipakai untuk keindahan. Ada juga unsur menonjol. Sedangkan kata khātim adalah isim fā’il dari khātam. Para mufasir sepakat, bacaan khātam al-nabiyyīn artinya akhir atau pemuncak para nabi (akhir al-nabiyyīn). Nabi Muhammad ditegaskan Allah dalam ayat ini, sebagai nabi terakhir atau penutup. Dengan demikian, ayat ini menyatakan bahwa tidak ada nabi setelah Nabi Muhammad, yang berarti pula tidak ada rasul setelah kerasulan Muhammad, karena kedudukan kerasulan lebih khusus dibandingkan maqam kenabian; rasul lebih istimewa daripada nabi.

