مَا كَانَ مُحَمَّدٌ اَبَآ اَحَدٍ مِّنْ رِّجَالِكُمْ وَلٰكِنْ رَّسُوْلَ اللّٰهِ وَخَاتَمَ النَّبِيّٖنَۗ وَكَانَ اللّٰهُ بِكُلِّ شَيْءٍ عَلِيْمًا ࣖ
Mā kāna muḥammadun abā aḥadim mir rijālikum wa lākir rasūlallāhi wa khātaman-nabiyyīn(a), wa kānallāhu bikulli syai'in ‘alīmā(n).
Muhammad itu bukanlah bapak dari seseorang di antara kamu, melainkan dia adalah utusan Allah dan penutup para nabi. Allah Maha Mengetahui segala sesuatu.
Orang-orang musyrik, Yahudi, dan munafik tidak henti-hentinya mempersoalkan pernikahan Rasulullah dengan Zainab. Mereka mengejek Nabi karena menikahi mantan istri anaknya; mereka menganggap status anak angkat sama dengan anak kandung. Allah lalu menegaskan, “Muhammad itu bukanlah bapak kandung dari seseorang laki-laki dewasa di antara kamu, tetapi dia adalah utusan Allah dan penutup para nabi. Dia adalah nabi terakhir yang menjadi bapak rohaniah bagi seluruh umat. Karena itu, janda Zaid bin Harisah dapat dinikahi oleh Rasulullah. Dan Allah Maha Mengetahui segala sesuatu yang kalian lakukan.” Ayat ini merupakan dalil bahwa Nabi Muhammad adalah nabi terakhir dan tidak akan ada lagi nabi sesudahnya, Siapapun yang mengakui adanya nabi sesudah Nabi Muahammad, maka dia bukanlah bagian dari umat Islam.
Tatkala Rasulullah menikahi Zainab, banyak orang munafik yang mencela pernikahan itu karena dipandang sebagai menikahi bekas istri anak sendiri. Maka Allah menurunkan ayat ini yang menyatakan bahwa Nabi Muhammad saw tidak usah khawatir tentang cemoohan orang-orang yang mengatakan bahwa beliau menikahi bekas istri anaknya, karena Zaid itu bukan anak kandung beliau, tetapi hanya anak angkat. Muhammad saw sekali-kali bukan bapak dari seorang laki-laki di antara umatnya, tetapi ia adalah utusan Allah dan nabi-Nya yang terakhir. Tidak ada nabi lagi setelah beliau.
Nabi Muhammad saw itu adalah bapak dari kaum Muslimin dalam segi kehormatan dan kasih sayang sebagaimana setiap rasul pun adalah bapak dari seluruh umatnya. Muhammad itu bukan bapak dari seorang laki-laki dari umatnya dengan pengertian “bapak” dalam segi keturunan yang menyebabkan haramnya muṣāharah (perbesanan), tetapi beliau adalah bapak dari segenap kaum mukminin dalam segi agama. Beliau mempunyai rasa kasih sayang kepada seluruh umatnya untuk memperoleh kebahagiaan hidup di dunia dan akhirat, seperti kasih sayang seorang ayah terhadap anak-anaknya.
Anak laki-laki Nabi saw dari Khadijah ada tiga orang, yaitu Qāsim, Ṭayyib, dan Ṭāhir, semuanya meninggal dunia sebelum balig. Dari Māriyah al-Qibṭiyah, Nabi memperoleh seorang anak laki-laki bernama Ibrahim yang juga meninggal ketika masih kecil. Di samping tiga anak laki-laki, Nabi saw juga mempunyai empat anak perempuan dari Khadijah, yaitu Zainab, Ruqayyah, Ummu Kalṡūm, dan Fāṭimah. Tiga yang pertama meninggal sebelum Nabi wafat.
Allah Maha Mengetahui segala sesuatu tentang siapa yang diangkat sebagai nabi-nabi yang terdahulu dan siapa yang diangkat sebagai nabi penutup. Berikut hadis-hadis yang menerangkan tentang kedudukan Nabi Muhammad sebagai nabi penutup atau terakhir, di antaranya:
عَنْ جَابِرِ بْنِ مُطْعِمٍ قَالَ سَمِعْتُ رَسُوْلَ اللّٰهِ يَقُوْلُ: اِنَّ لِى اَسْمَاءً اَنَا مُحَمَّدٌ اَنَا اَحْمَدُ اَنَا اَلْمَاحِى الَّذِيْ يَمْحُو اللّٰهُ بِى الْكُفْرَ وَاَنَا اَلْحَاشِرُ اَلَّذِيْ يُحْشَرُ النَّاسُ عَلَى قَدَمِى وَاَنَا الْعَاقِبُ الَّذِيْ لَيْسَ بَعْدِيْ نَبِيٌّ . (رواه البخاري ومسلم)
Dari Jābir bin Muṭ’im bahwa ia berkata, “Aku mendengar Rasulullah bersabda, ‘Aku punya beberapa nama: aku Muhammad, aku Ahmad, aku al-Māḥī yang mana Allah menghapus kekufuran denganku dan aku al-Ḥāsyir di mana manusia dikumpulkan di bawah kakiku dan aku juga al-’Āqib yang mana tidak ada lagi nabi sesudahku’.” (Riwayat al-Bukhārī dan Muslim)
عَنْ جَابِرِ بْنِ عَبْدِ اللّٰهِ قَالَ: قَالَ رَسُوْلُ اللّٰهِ مَثَلِى وَمَثَلُ النَّبِيِّيْنَ كَمَثَلِ رَجُلٍ بَنىَ دَارًا فَأَكْمَلَهَا وَاَحْسَنَهَا اِلاَّ مَوْضِعَ لُبْنَةٍ فَكَانَ مَنْ دَخَلَهَا فَنَظَرَ اِلَيْهَا قَالَ ماَ اَحْسَنَهَا اِلاَّ مَوْضِعَ هَذِهِ اللُّبْنَةِ فَاَنَا مَوْضِعُ اللُّبْنَةِ خُتِمَ بِى اْلاَنْبِيَاءُ عَلَيْهِمُ السَّلَام. (رواه مسلم)
Dari Jābir bin ‘Abdullāh bahwa ia berkata, “Rasulullah bersabda, ‘Posisiku di antara para nabi adalah seperti seorang laki-laki yang membangun rumah, dia menyempurnakan dan menghiasinya kecuali satu tempat batu (bata yang belum dipasang). Orang yang memasuki rumah itu dan melihatnya berkata, ‘Alangkah bagusnya rumah ini, kecuali satu tempat batu (bata yang belum dipasang),’ maka akulah batu (bata yang belum dipasang) itu, di mana aku menjadi penutup kenabian’.” (Riwayat Muslim)
عَنْ اَبِى هُرَيْرَةَ قَالَ قَالَ رَسُوْلُ اللّٰهِ فُضِّلْتُ عَلَى اْلاَنْبِيَاءِ بِسِتٍّ اُعْطِيْتُ جَوَامِعَ الْكَلِمَ وَنُصِرْتُ بِالرُّعْبِ وَاُحِلَّتْ لِيَ الْغَنَائِمُ وَجُعِلَتْ لِيَ اْلاَرْضُ طَهُوْرًا وَمَسْجِدًا وَاُرْسِلْتُ اِلَى الْخَلْقِ كَافَّةً وَخُتِمَ بِيَ النَّبِيُّوْنَ . (رواه مسلم و الترمذى)
Dari Abu Hurairah bahwa ia berkata, “Rasulullah bersabda, ‘Aku dilebihkan dari para nabi dengan enam hal: 1) Aku diberi kalimat yang singkat tapi padat (luas maknanya). 2) Aku ditolong dengan (diberi rasa) ketakutan (bagi musuh). 3) Dihalalkan bagiku rampasan perang. 4) Allah menjadikan bagiku bumi itu suci (untuk tayamum) dan menjadi masjid. 5) Aku diutus kepada seluruh makhluk, dan 6) Aku dijadikan sebagai penutup para nabi.” (Riwayat Muslim dan at-Tirmiżī)
عَنْ اَنَسِ بْنِ ماَلِكٍ قَالَ: قَالَ رَسُوْلُ اللّٰهِ اِنَّ الرِّسَالَةَ وَالنُّبُوَّةَ قَدْ اِنْقَطَعَتْ فَلَا رَسُوْلَ بَعْدِى وَلَا نَبِيَّ. (رواه احمد)
Dari Anas bin Mālik bahwa ia berkata, “Rasulullah bersabda, ‘Kerasulan dan kenabian telah terputus, tidak ada lagi rasul dan nabi sesudahku’.” (Riwayat Aḥmad)
1. Al-Khiyarah اَلْخِيَرَة (al-Aḥzāb/33: 36)
Kata al-khiyarah disebut dua kali dalam Al-Qur’an, dalam Surah al-Qaṣaṣ/28: 68, dan dalam ayat ini. Dalam Surah al-Qaṣaṣ/28: 68 terkandung penjelasan bahwa Allah yang menciptakan segala sesuatu sesuai kehendak-Nya dan Dia yang menentukan pilihan. Tidak ada bagi manusia pilihan jika Tuhan telah menetapkan pilihan-Nya. Demikian pula dalam ayat ini, kata al-khiyarah artinya pilihan, dalam arti: tidak sepantasnya seorang mukmin, baik laki-laki atau perempuan, melakukan pilihan, kalau Allah dan rasul-Nya telah menetapkan pilihannya dalam suatu perkara yang penting, karena ketetapan atau pilihan itu akan menjadi ajaran yang harus diikuti oleh orang-orang beriman di belakang hari.
2. Waṭarā وَطَرًا (al-Aḥzāb/33: 37)
Kata waṭar hanya disebutkan dalam ayat ini. Kata waṭar merupakan kata mufrad, jamaknya awṭar, dalam kamus diartikan sebagai hajat dan keinginan (al-hajat wa al-bugyah). Menurut al-Ḥajjāj, al-waṭar adalah puncak kebutuhan yang mengandung cita-cita. Kemudian, kata ini telah menjadi ungkapan yang lazim dalam masalah talak. Seseorang menceraikan istrinya karena tidak membutuhkannya lagi. Jadi, penggunaan kata waṭar dalam rangkaian ayat ini dimaksudkan dengan arti: ketika Zaid bin Ḥariṡah tidak membutuhkan lagi Zainab binti Jahsy (mentalaknya), barulah Allah mengawinkan Nabi Muhammad saw dengannya untuk diketahui dan dimengerti oleh umat Islam bahwa menurut syariat Islam mengawini mantan istri anak angkat adalah halal atau boleh.
3. Khātam al-Nabiyyīn خَاتَم النَّبِيِّيْنَ (al-Aḥzāb/33: 40)
Ada dua qiraat mutawatirah pada kalimat ini, yaitu khātam dan khātim. Kata khātam artinya cincin yang biasa dipakai untuk keindahan. Ada juga unsur menonjol. Sedangkan kata khātim adalah isim fā’il dari khātam. Para mufasir sepakat, bacaan khātam al-nabiyyīn artinya akhir atau pemuncak para nabi (akhir al-nabiyyīn). Nabi Muhammad ditegaskan Allah dalam ayat ini, sebagai nabi terakhir atau penutup. Dengan demikian, ayat ini menyatakan bahwa tidak ada nabi setelah Nabi Muhammad, yang berarti pula tidak ada rasul setelah kerasulan Muhammad, karena kedudukan kerasulan lebih khusus dibandingkan maqam kenabian; rasul lebih istimewa daripada nabi.

