۞ وَمَآ اُبَرِّئُ نَفْسِيْۚ اِنَّ النَّفْسَ لَاَمَّارَةٌ ۢ بِالسُّوْۤءِ اِلَّا مَا رَحِمَ رَبِّيْۗ اِنَّ رَبِّيْ غَفُوْرٌ رَّحِيْمٌ
Wa mā ubarri'u nafsī, innan-nafsa la'ammāratum bis-sū'i illā mā raḥima rabbī, inna rabbī gafūrur raḥīm(un).
Aku tidak (menyatakan) diriku bebas (dari kesalahan) karena sesungguhnya nafsu itu selalu mendorong kepada kejahatan, kecuali (nafsu) yang diberi rahmat oleh Tuhanku. Sesungguhnya Tuhanku Maha Pengampun lagi Maha Penyayang.”
Setelah peristiwa yang dialami Nabi Yusuf berlalu dan ia terbukti tidak bersalah, ia pun berkata, “Dan aku tidak menyatakan diriku bebas dari kesalahan apa pun, karena sesungguhnya salah satu jenis nafsu manusia itu adalah nafsu amarah, yang selalu mendorong manusia kepada kejahatan, kecuali nafsu yang diberi rahmat oleh Tuhanku sehingga tidak membawaku kepada kejahatan. Sesungguhnya Tuhanku Maha Pengampun atas segala dosa, Maha Penyayang bagi siapa saja yang Dia kehendaki.
Dalam ayat ini dijelaskan bahwa Yusuf sebagai manusia mengakui bahwa setiap nafsu cenderung dan mudah disuruh untuk berbuat jahat kecuali jika diberi rahmat dan mendapat perlindungan dari Allah. Yusuf selamat dari godaan istri al-’Azīz karena limpahan rahmat Allah dan perlindungan-Nya, meskipun sebagai manusia Yusuf juga tertarik pada istri al-’Azīz sebagaimana perempuan itu tertarik kepadanya seperti diterangkan pada ayat 24:
وَلَقَدْ هَمَّتْ بِهٖۙ وَهَمَّ بِهَا ۚ لَوْلَآ اَنْ رَّاٰ بُرْهَانَ رَبِّهٖۗ
Dan sungguh, perempuan itu telah berkehendak kepadanya (Yusuf). Dan Yusuf pun berkehendak kepadanya, sekiranya dia tidak melihat tanda (dari) Tuhannya. (Yūsuf/12: 24)
Tetapi ada pendapat lain yang menyatakan bahwa ayat 53 ini menerangkan pengakuan istri al-’Azīz dengan terharu dan rasa penyesalan yang mendalam bahwa dia tidak dapat membersihkan dirinya dari kesalahan dan ketelanjuran. Dia juga mengakui bahwa memang dia yang hampir meng-khianati suaminya dengan merayu Yusuf ketika suaminya tidak di rumah. Untuk menjaga nama baik diri, suami, dan keluarganya, dia menganjurkan supaya Yusuf dipenjarakan, atau ditimpakan kepadanya siksaan yang pedih. Istri al-’Azīz telah melakukan kesalahan ganda, yaitu berdusta dan menuduh orang yang jujur dan bersih serta menjebloskannya ke penjara.
Pada akhir ayat ini dijelaskan bahwa Allah Maha Pengampun dan Maha Penyayang.
An-Nafs النَّفْس (Yūsuf/12: 53)
An-Nafs adalah bentuk mufrad, jamaknya nufus atau anfus. Akar kata yang terdiri dari (ن- ف- س) secara kebahasaan berarti keluarnya sesuatu yang semilir baik berupa angin atau lainnya (khurūju syai kaifa kana). Roh atau jiwa disebut nafs, karena masuk dan keluarnya roh ke dalam jasad selalu dengan lembut (lih. Surah asy-Syams/91: 7, at-Takwīr/81: 7). Napas juga terkait dengan arti asal ini karena napas seseorang yang berupa udara atau angin yang keluar masuk melalui tenggorokan berlangsung dengan lembut. Nafs juga bisa berarti diri (lih. at-Taubah/9: 128), dan darah.
Kata nafs disebutkan dalam Al-Qur’an sebanyak 295 kali dalam berbagai bentuknya dalam 63 surah. Al-Qur’an menyebutkan ada tiga macam nafs. Pertama: an-nafs al-ammarah (Yusuf/12: 53) yaitu jiwa yang selalu menyuruh kepada kejahatan. Kedua: an-nafs al-lawwamah (al-Qiyāmah/75: 2) yaitu jiwa yang banyak menyesali dirinya sendiri, baik sewaktu mengerjakan kebaikan atau kejelekan. Jika berbuat kebaikan, dia menyesal kenapa tidak berbuat lebih banyak, apalagi jika berbuat kejelekan. Ketiga: an-nafs al-muṭmainnah (al-Fajr/89: 27) yaitu jiwa yang tenang. Dari ketiga macam nafs tersebut yang paling rendah adalah an-nafs al-ammarah, kemudian an-nafs al-lawwamah, karena ada pertanda baik, dan tertinggi adalah an-nafs al-muṭmainnah. Nafs atau jiwa manusia pada dasarnya netral, manusialah yang mewarnainya, jika mau menyucikannya dia akan beruntung, namun jika dia mengotorinya dia akan celaka. (Lih. asy-Syams/91: 7-10).

