حَتّٰٓى اِذَا اسْتَيْـَٔسَ الرُّسُلُ وَظَنُّوْٓا اَنَّهُمْ قَدْ كُذِبُوْا جَاۤءَهُمْ نَصْرُنَاۙ فَنُجِّيَ مَنْ نَّشَاۤءُ ۗوَلَا يُرَدُّ بَأْسُنَا عَنِ الْقَوْمِ الْمُجْرِمِيْنَ
Ḥattā iżastai'asar-rusulu wa ẓannū annahum qad kużibū jā'ahum naṣrunā, fa nujjiya man nasyā'(u), wa lā yuraddu ba'sunā ‘anil-qaumil-mujrimīn(a).
Sehingga, apabila para rasul tidak memiliki harapan lagi dan meyakini bahwa mereka benar-benar telah didustakan, datanglah kepada mereka pertolongan Kami, lalu diselamatkanlah orang yang Kami kehendaki. Siksa Kami tidak dapat ditolak dari kaum pendosa.
Dalam menunaikan tugasnya menyampaikan dakwah para nabi dan rasul tidaklah menempuh jalan yang mulus, melainkan penuh rintangan. Kebanyakan manusia bahkan tetap menentang ajakan tersebut, sehingga apabila para rasul menemukan berbagai halangan dan rintangan dalam tugas itu, seakan tidak mempunyai harapan lagi tentang keimanan kaumnya, dan telah meyakini bahwa mereka, para nabi dan rasul, telah didustakan oleh kaumnya, maka pada saat itu datanglah kepada mereka itu pertolongan Kami, lalu diselamatkan-lah mereka dan orang yang Kami kehendaki untuk selamat. Dan siksa Kami tidak dapat ditolak ataupun dihindarkan dari orang-orang yang berdosa.
Ayat ini menjelaskan sunatullah yang telah berlaku pada umat-umat terdahulu. Allah swt mengutus para rasul-Nya dengan bukti yang nyata dan diperkuat dengan mukjizat. Setelah rasul-rasul itu ditentang, didustakan, dan dimusuhi oleh kaumnya sehingga merasakan tekanan yang amat berat, timbullah perasaan seakan-akan mereka berputus asa karena tidak ada harapan lagi kaumnya akan beriman dan kemenangan yang ditunggu-tunggu belum juga datang, pada saat itulah pertolongan Allah swt datang. Sedangkan orang-orang yang mendustakan para nabi ditimpa azab dengan tiba-tiba, seperti banjir besar yang menenggelamkan kaum Nabi Nuh, angin ribut yang membinasakan kaum ‘Ād (kaum Nabi Hud), siksaan yang menimpa kaum Ṡamūd, dan bencana yang melanda negeri kaum Nabi Lūṭ, sebagaimana tercantum dalam firman Allah swt:
اَلَمْ يَأْتِهِمْ نَبَاُ الَّذِيْنَ مِنْ قَبْلِهِمْ قَوْمِ نُوْحٍ وَّعَادٍ وَّثَمُوْدَ ەۙ وَقَوْمِ اِبْرٰهِيْمَ وَاَصْحٰبِ مَدْيَنَ وَالْمُؤْتَفِك ٰتِۗ اَتَتْهُمْ رُسُلُهُمْ بِالْبَيِّنٰتِ ۚ فَمَا كَانَ اللّٰهُ لِيَظْلِمَهُمْ وَلٰكِنْ كَانُوْٓا اَنْفُسَهُمْ يَظْلِمُوْنَ ٧٠ (التوبة)
Apakah tidak sampai kepada mereka berita (tentang) orang-orang yang sebelum mereka, (yaitu) kaum Nuh, ‘Ad, Samud, kaum Ibrahim, penduduk Madyan, dan (penduduk) negeri-negeri yang telah musnah? Telah datang kepada mereka rasul-rasul dengan membawa bukti-bukti yang nyata; Allah tidak menzalimi mereka, tetapi merekalah yang menzalimi diri mereka sendiri. (at-Taubah/9: 70)
Orang-orang Quraisy yang tidak mau insaf dan kembali ke jalan yang benar, sekalipun telah ditunjukkan bukti-bukti yang nyata, akan ditimpakan Allah azab yang pedih. Sedangkan Nabi Muhammad diberi pertolongan berupa berbagai kemenangan yang telah diperolehnya seperti Perang Badar dan pada perang-perang berikutnya. Allah swt menyelamatkan para rasul beserta kaumnya yang beriman kepada-Nya, sedang orang-orang yang ingkar kepada Allah swt dan mendustakan rasul-rasul-Nya dan agama yang dibawanya akan diazab, tidak seorang pun dari mereka yang dapat menolak dan mengelak dari azab Allah itu.
1. Ba’suna بَأْسُنَا (Yūsuf/12: 110)
Akar kata yang terdiri dari (ب ـ أ ـ س )mempunyai arti syiddah yaitu kepahitan, cobaan yang berat yang menghimpit seseorang, kesusahan, malapetaka, siksaan, dan lain sebagainya. Yang satu rumpun dengan akar kata ini adalah kata “al-ba’sā’” yang artinya malapetaka. Jika dikatakan rajulun żu ba’sin artinya lelaki itu pemberani, kekar, kuat, sehingga bisa mengalahkan dan mematahkan lawan lawannya. Pada ayat ini diterangkan bahwa siksaan Allah terhadap mereka yang berdosa tidak akan bisa ditolak oleh siapa pun juga.
2. ‘Ibrah عِبْرَة (12: 111)
Akar kata yang terdiri dari ( ع ـ ب ـ ر )mempunyai arti berlalu, melalui, melampaui, menyeberangi, dan lain sebagainya. Ungkapan mi’bar adalah tempat di pinggir kali yang digunakan untuk menyeberangi kali tersebut. Air mata disebut ‘abrah karena ia meleleh dan mengalir dari kelopak mata. Jika dikatakan “abbartu ad-danānir” artinya “aku menimbang-nimbang dinar itu satu demi satu.” Dari sini muncul ungkapan ‘ibrah atau i’tibār yang seringkali diterjemahkan dengan mengambil pelajaran dari peristiwa masa lalu, karena seseorang yang mengambil pelajaran berarti dia akan membandingkan antara satu peristiwa masa kini dengan peristiwa masa lalu, sebagaimana orang yang akan menyeberangi sungai, dia akan melihat tempat penyeberangan pertama ke tempat penyeberangan yang kedua. Atau sebagaimana seorang yang membandingkan satu dinar dengan dinar yang lain ketika menakar.

