قَالَتْ فَذٰلِكُنَّ الَّذِيْ لُمْتُنَّنِيْ فِيْهِ ۗوَلَقَدْ رَاوَدْتُّهٗ عَنْ نَّفْسِهٖ فَاسْتَعْصَمَ ۗوَلَىِٕنْ لَّمْ يَفْعَلْ مَآ اٰمُرُهٗ لَيُسْجَنَنَّ وَلَيَكُوْنًا مِّنَ الصّٰغِرِيْنَ
Qālat fa żālikunnal-lażī lumtunnanī fīh(i), wa laqad rāwattuhū ‘an nafsihī fasta‘ṣam(a), wa la'il lam yaf‘al mā āmuruhū layusjananna wa layakūnam minaṣ-ṣāgirīn(a).
Dia (istri al-Aziz) berkata, “Itulah orangnya yang menyebabkan kamu mencela aku karena (aku tertarik) kepadanya. Sungguh, aku benar-benar telah menggoda untuk menaklukkan dirinya, tetapi dia menolak. Jika tidak melakukan apa yang aku perintahkan kepadanya, niscaya dia akan dipenjarakan dan benar-benar akan termasuk orang yang hina.”
Setelah istri al-Aziz memperlihatkan Nabi Yusuf kepada mereka, lalu dia berkata, “Itulah orangnya yang menyebabkan kamu mencela aku karena aku tertarik kepadanya, dan sungguh benar, aku memang telah menggoda untuk menundukkan dirinya tetapi dia menolak ajakanku dan berlindung kepada Tuhan-Nya. Jika dia tidak melakukan apa yang aku perintahkan kepadanya, yaitu melayani keinginanku, niscaya dia akan dipenjarakan, dan dia akan menjadi orang yang hina, karena tidak mendapatkan tempat terhormat dan fasilitas pelayanan yang baik.”
Ayat ini menerangkan bahwa perempuan-perempuan yang diundang itu kagum dan terpesona melihat Yusuf. Melihat reaksi mereka, istri menteri itu gembira, lalu berkata, “Inilah dia Yusuf yang selalu kamu guncingkan dan selalu kamu mencela sikap saya terhadap Yusuf dan kejadian antara saya dengan dia baru-baru ini. Sekarang kamu semua terpesona memandanginya. Baru sepintas lalu kamu memandangnya, kamu sudah lupa diri. Lihatlah kamu sudah memotong jarimu karena terpesona memandang Yusuf.”
Istri al-’Azīz berkata, “Saya akui terus terang, memang sayalah yang telah jatuh cinta kepadanya dan sayalah yang menggodanya dan mengajaknya berlaku serong. Tetapi dia tetap enggan dan berlindung diri kepada Tuhannya. Dia berpaling dan menjauhkan dirinya daripadaku. Aku terus menggodanya dan merayunya sampai dia mau mengikuti keinginan hawa nafsuku. Seandainya dia juga tidak mau, aku akan katakan kepada suamiku, supaya dia dimasukkan ke dalam penjara dan tentunya dia akan menjadi orang yang hina. Suamiku tidak berani menolak usulku itu dan suamiku akan menghukum dia sesuai dengan keinginanku.”
Sengaja kata-kata itu dilontarkannya di hadapan tamu-tamu dalam jamuan yang meriah itu, supaya didengar oleh Yusuf sendiri dan supaya para tamu dapat melunakkan hati Yusuf. Lebih baik mematuhi apa saja kehendak istri al-’Azīz daripada mendapat kemarahan yang akhirnya akan dipenjara-kan, hidup bersama-sama dengan orang-orang jahat dan hina-dina. Bila Yusuf mau mengikuti kehendaknya, tentu Yusuf akan beruntung seluruh kekayaan dan kemewahan isi istana itu dapat pula dikuasai Yusuf. Pendek-nya, semua yang hadir pada waktu itu telah berpihak kepada istri al-’Azīz, tidak lagi menyalahkan dan mengejeknya. Semua membenarkan, sudah sepantasnya istri menteri tergoda dan tergila-gila oleh Yusuf yang tinggal di rumahnya. Maka semua perempuan itu, turut membujuk Yusuf agar mematuhi kehendak istri menteri itu, tanpa malu-malu dan takut-takut.
Imra’atul ‘Azīz اِمْرَأَتُ الْعَزِيْزِ(Yūsu f/12:30)
Artinya isteri al-’Azīz. Al-’Azīz adalah julukan bagi pembesar di Mesir pada masa Nabi Yusuf. Nabi Yusuf sendiri dijuluki Al-’Azīz setelah menjadi pejabat (bendaharawan negara) yang mengatur kerajaan Mesir (Yūsuf/12: 88). Al-Qur’an -sebagaimana biasa- tidak menyebutkan nama pembesar Mesir yang membeli Yusuf dan nama isterinya karena tidak begitu penting untuk disebutkan. Sebab, yang penting untuk dijadikan pelajaran adalah pokok ceritanya. Beberapa kitab tafsir memang menyebutkan bahwa pembesar itu namanya Qiṭfir atau Quṭifar dan isterinya bernama Zalikha’ atau Ra’il. Namun nama-nama tersebut tidak terdapat dalam hadis-hadis yang sahih. Nama-nama itu diambil dari kitab Taurat. (Sifr Takwīn: Kitab Kejadian). Oleh karena itu kita lebih baik mendiamkan saja dan tidak menyebutkannya.

