وَاُدْخِلَ الَّذِيْنَ اٰمَنُوْا وَعَمِلُوا الصّٰلِحٰتِ جَنّٰتٍ تَجْرِيْ مِنْ تَحْتِهَا الْاَنْهٰرُ خٰلِدِيْنَ فِيْهَا بِاِذْنِ رَبِّهِمْۗ تَحِيَّتُهُمْ فِيْهَا سَلٰمٌ
Wa udkhilal-lażīna āmanū wa ‘amiluṣ-ṣāliḥāti jannātin tajrī min taḥtihal-anhāru khālidīna fīhā bi'iżni rabbihim, taḥiyyatuhum fīhā salām(un).
Orang-orang yang beriman dan beramal saleh dimasukkan ke dalam surga-surga yang mengalir di bawahnya sungai-sungai. Mereka kekal di dalamnya dengan izin Tuhannya. Penghormatan mereka di dalamnya adalah (ucapan) salam.385)
Demikianlah nasib buruk orang kafir di hari Pembalasan. Penyesalan mereka tidak lagi berguna. Dan orang yang beriman kepada Allah dan rasul-Nya dan membuktikan keimanan mereka dengan mengerjakan kebajikan dimasukkan ke dalam surga-surga yang mengalir di bawah pepohonan dan istana-nya sungai-sungai. Mereka kekal di dalamnya untuk selama-lamanya dengan izin Tuhan mereka Yang Maha Pemurah. Ucapan penghormatan yang mereka terima dari Allah, malaikat, dan sesama kaum mukmin dalam surga itu ialah “salam.”
Pada ayat ini, Allah menyebutkan kembali kebahagiaan yang akan diperoleh orang-orang yang beriman kepada Allah dan senantiasa beramal saleh, bahwa di akhirat kelak mereka akan ditempatkan di dalam surga, taman yang sangat indah yang di bawah pohon-pohonnya mengalir sungai-sungai yang jernih. Mereka akan tetap berada di dalamnya mengenyam kehidupan yang bahagia, dengan izin Allah sebagai balasan dari iman dan amal saleh mereka selama hidup di dunia. Di sana mereka saling mengucapkan, “Salām,” yang berarti selamat dari segala bencana. Untuk kita yang masih hidup di dunia ini, agama Islam mengajarkan agar kita menggunakan ucapan selamat “Assālamu‘alaikum” yang berarti “semoga anda senantiasa dalam kesejahteraan”. Ini merupakan ajaran yang terbaik untuk mendidik manusia agar rela dan merasa senang bila orang lain beroleh kebahagiaan hidup dan kesejahteraan, sebagaimana ia merasa senang bila ia sendiri memperoleh kebahagiaan dan kesejahteraan itu, dan jauh dari rasa dengki dan hasad. Mengharapkan orang lain mendapat kesengsaraan atau kerugian dan mengharapkan lenyapnya kebahagiaan atau kebaikan dari seseorang adalah sifat yang sangat dibenci oleh agama Islam.
Dalam hubungan ini Rasulullah saw telah bersabda:
لاَ يُؤْمِنُ اَحَدُكُمْ حَتَّى يُحِبَّ لِأَخِيْهِ مَا يُحِبُّ لِنَفْسِهِ. (رواه البخاري و مسلم عن أنس بن مالك)
Tidak beriman seseorang di antara kamu, sampai ia cintai untuk saudaranya (sesama mukmin), apa yang ia cintai untuk dirinya. (Riwayat al-Bukhārī dan Muslim dari Anas bin Mālik)
Maḥīṣ مَحِيْصٍ (Ibrāhīm/14: 21)
Kata maḥīṣ dalam Al-Qur’an disebut sebanyak lima kali: Surah an-Nisā'/4: 121, Ibrāhīm/14: 21, Fuṣṣilat/41: 48, asy-Syūra/42: 35, dan Qāf/50: 36. Kata maḥīṣ merupakan isim makān (sebutan untuk tempat), dari ḥāṣa – yaḥīṣu – ḥaiṣ(an) – maḥīṣ(an) yang berarti al-makhraj (tempat keluar) atau al-mahrab (tempat berlari). Ucapan la maḥīṣa lahum, artinya tidak ada tempat keluar untuk mereka. Kata ini, dalam kelima ayat yang menyebutnya di atas, disebut dalam rangka menggambarkan bahwa orang-orang yang di siksa dalam neraka Jahanam tidak dapat keluar dan berlari untuk melepaskan diri dari siksaan, karena tempat keluar dan tempat berlari (maḥīṣ) itu tidak ada bagi mereka. Mereka tetap terkurung dalam siksaan yang amat pedih sampai datang pertolongan dan rahmat Allah swt. Seseorang dikatakan terkurung dalam situasi sulit jika ia tidak memiliki jalan keluar untuk melepaskan diri dari keadaan tersebut.

