وَلَنُذِيْقَنَّهُمْ مِّنَ الْعَذَابِ الْاَدْنٰى دُوْنَ الْعَذَابِ الْاَكْبَرِ لَعَلَّهُمْ يَرْجِعُوْنَ
Wa lanużīqannahum minal-‘ażābil-adnā dūnal-‘ażābil-akbari la‘allahum yarji‘ūn(a).
Kami pasti akan menimpakan kepada mereka sebagian azab yang dekat (di dunia) sebelum azab yang lebih besar (di akhirat) agar mereka kembali (ke jalan yang benar).
Sebelum mendapat azab di akhirat, orang-orang kafir itu sebenarnya sudah tertimpa azab di dunia. Dan pasti Kami timpakan kepada mereka sebagian siksa yang dekat, yakni di dunia, berupa bermacam musibah sebelum azab yang lebih besar di akhirat nanti. Itu semua Allah timpakan agar mereka kembali ke jalan yang benar. Inilah bentuk kasih sayang Allah kepada manusia, bahkan yang durhaka. Allah sudah memberi peringatan tetapi mereka tidak menyadari.
Pada ayat ini, Allah menerangkan bahwa sebenarnya orang-orang kafir itu sewaktu masih hidup di dunia telah diazab oleh Allah dengan berbagai macam azab, baik yang tampak maupun yang hanya dapat dirasakan oleh mereka. Siksaan bagi mereka di dunia disebut dengan al-’ażāb al-adnā (azab yang dekat), sedangkan siksaan di akhirat disebut al-’ażāb al-akbar (azab yang lebih besar).
Banyak cobaan-cobaan yang diberikan Allah kepada manusia selama hidup di dunia, sejak dari cobaan yang kecil sampai kepada cobaan yang paling besar. Bisa juga dalam bentuk kemewahan lahiriah sampai kepada kemiskinan dan kesengsaraan. Seorang yang kaya tetapi tidak dilandasi dengan iman kepada Allah, hatinya selalu was-was dan khawatir, mungkin ada orang yang akan merampas kekayaannya itu, atau ada ahli waris yang hendak membunuhnya agar memperoleh kekayaan itu.
Seorang penguasa yang tidak beriman selalu khawatir kekuasaannya akan pindah kepada orang lain. Kalau perlu, kekuasaan itu dipertahankan dengan tangan besi dan kekerasan. Kekhawatiran seperti ini pernah terjadi pada Fir‘aun di kala tukang-tukang sihirnya dikalahkan oleh Nabi Musa.
Allah berfirman:
قَالَ اٰمَنْتُمْ لَهٗ قَبْلَ اَنْ اٰذَنَ لَكُمْۗ اِنَّهٗ لَكَبِيْرُكُمُ الَّذِيْ عَلَّمَكُمُ السِّحْرَۚ فَلَاُقَطِّعَن َّ اَيْدِيَكُمْ وَاَرْجُلَكُمْ مِّنْ خِلَافٍ وَّلَاُصَلِّبَ نَّكُمْ فِيْ جُذُوْعِ النَّخْلِۖ وَلَتَعْلَمُنّ َ اَيُّنَآ اَشَدُّ عَذَابًا وَّاَبْقٰى ٧١ (طٰهٰ)
Dia (Fir‘aun) berkata, “Apakah kamu telah beriman kepadanya (Musa) sebelum aku memberi izin kepadamu? Sesungguhnya dia itu pemimpinmu yang mengajarkan sihir kepadamu. Maka sungguh, akan kupotong tangan dan kakimu secara bersilang, dan sungguh, akan aku salib kamu pada pangkal pohon kurma dan sungguh, kamu pasti akan mengetahui siapa di antara kita yang lebih pedih dan lebih kekal siksaannya.” (Ṭāhā/20: 71)
Banyak penguasa-penguasa yang bersikap seperti Fir‘aun ini. Mereka mengira bahwa merekalah yang memiliki semuanya dan merekalah yang paling berkuasa.
Sebenarnya Allah memberikan cobaan-cobaan dari azab duniawi itu agar semuanya menjadi pelajaran bagi orang-orang kafir itu. Hal ini bertujuan agar mereka mau beriman, beramal saleh, dan mudah-mudahan kembali ke jalan yang benar. Biarlah mereka menanggung siksa yang ringan di dunia ini asal di akhirat nanti mereka terhindar dari siksa yang amat berat.
1. Jannātul Ma’wā جَنَّةُ الْمَأْوَى (as-Sajdah/32: 19)
Kata jannah adalah maṣdar (kata bentukan) dari kata janna-yajinnu-jannah yang berarti menutupi. Di dalam Al-Qur’an disebutkan, “Janna ‘alaihil-lailu” yang artinya malam telah menutupinya. Darinya diambil kata al-jinn yang berarti jin. Disebut demikian karena jin tersembunyi dari pandangan manusia. Darinya diambil kata al-janīn yang berarti janin. Disebut demikian karena ia tersembunyi di dalam perut ibunya. Dari sini, orang Arab menggunakan kata jannah untuk arti kebun yang sangat lebat pohon-pohonnya sehingga tertutup. Kata jannah di dalam Al-Qur’an sering digunakan untuk arti surga.
Adapun kata al-ma’wā adalah ism makān (kata tempat) yang terbentuk dari kata awā-ya’wī-uwiyyan yang berarti mengambil suatu tempat sebagai tempat berlindung. Di dalam Al-Qur’an disebutkan, “Aku akan mencari perlindungan ke gunung yang dapat memeliharaku dari air bah..” (Hud/11: 43). Kata āwā berarti memberi tempat tinggal. Jadi, kata al-ma’wā berarti tempat tinggal. Menurut Ibnu Kaṡīr, yang dimaksud dengan lafal jannātul ma’wā di sini adalah surga-surga yang di dalamnya terdapat banyak tempat tinggal, kamar-kamar, dan ruangan-ruangan yang tinggi.
2. Lanużīqannahum لَنُذِيْقَنَّه ُمْ (as-Sajdah/32: 21)
Kata lanużīqannahum adalah fi’il muḍāri’ (kata kerja sekarang) dari kata ażāqa-yużīqu-iżāqatan yang berarti menjadikan merasa. Kata dasarnya adalah żāqa-yażūqu-żauqan yang berarti merasai, baik dengan mulut atau dengan perasa lain. Kalimat żuqtu fulānan berarti aku menguji fulan dan mengetahui sifat-sifatnya. Darinya diambil kata żawwāq yang berarti orang yang cepat bosan. Di dalam sebuah hadis disebutkan, “Sesungguhnya Allah tidak menyukai żawwāqīn dan żawwāqāt” yang berarti laki-laki dan perempuan yang cepat menikah tetapi juga cepat bercerai. Tafsirannya adalah hati keduanya tidak tenang sehingga setiap kali menikah maka matanya melirik ke wanita dan laki-laki lain. Darinya diambil kalimat żuq haża al-qaus yang berarti ambillah busur ini dan ujilah untuk mengetahui apakah ia lentur atau keras. Dan yang dimaksud di sini adalah Allah menimpakan siksa pada mereka sehingga mereka merasakan kepedihannya.

