غُلِبَتِ الرُّوْمُۙ
Gulibatir-rūm(u).
Bangsa Romawi telah dikalahkan,579)
Ayat ini berisi prediksi Al-Qur’an terhadap kejadian yang akan datang. Bangsa Romawi Timur yang berpusat di Konstantinopel pada awalnya telah dikalahkan oleh Bangsa Persia pemeluk Majusi.
Ayat ini menerangkan bahwa bangsa Romawi telah dikalahkan oleh bangsa Persia di negeri yang dekat dengan kota Mekah, yaitu negeri Syiria. Beberapa tahun kemudian setelah mereka dikalahkan, maka bangsa Romawi akan mengalahkan bangsa Persia sebagai balasan atas kekalahan itu.
Bangsa Romawi yang dimaksud dalam ayat ini ialah Kerajaan Romawi Timur yang berpusat di Konstantinopel, bukan kerajaan Romawi Barat yang berpusat di Roma. Kerajaan Romawi Barat, jauh sebelum peristiwa yang diceritakan dalam ayat ini terjadi, sudah hancur, yaitu pada tahun 476 Masehi. Bangsa Romawi beragama Nasrani (Ahli Kitab), sedang bangsa Persia beragama Majusi (musyrik).
Ayat ini merupakan sebagian dari ayat-ayat yang memberitakan hal-hal gaib yang menunjukkan kemukjizatan Al-Qur’an. Pada saat bangsa Romawi dikalahkan bangsa Persia, maka turunlah ayat ini yang menerangkan bahwa pada saat ini bangsa Romawi dikalahkan, tetapi kekalahan itu tidak akan lama dideritanya. Hanya dalam beberapa tahun saja, orang-orang Persia pasti dikalahkan oleh orang Romawi. Kekalahan bangsa Romawi ini terjadi sebelum Nabi Muhammad hijrah ke Medinah. Mendengar berita ini, orang-orang musyrik Mekah bergembira, sedangkan orang-orang yang beriman dan Nabi bersedih hati.
Sebagaimana diketahui bahwa bangsa Persia beragama Majusi yang menyembah api, jadi mereka menyekutukan Tuhan. Orang-orang Mekah juga menyekutukan Tuhan dengan menyembah berhala. Oleh karena itu, mereka merasa agama mereka dekat dengan agama bangsa Persia, karena sama-sama mempersekutukan Tuhan. Kaum Muslimin merasa agama mereka dekat dengan agama Nasrani, karena sama-sama menganut agama Samawi. Oleh karena itu, kaum musyrik Mekah bergembira atas kemenangan itu, sebagai kemenangan agama politeisme yang mempercayai “banyak Tuhan”, atas agama Samawi yang menganut agama tauhid. Sebaliknya kaum Muslimin waktu itu bersedih hati karena sikap menentang kaum musyrik Mekah semakin bertambah. Mereka mencemooh kaum Muslimin dengan mengatakan bahwa dalam waktu dekat mereka juga akan hancur, sebagaimana kehancuran bangsa Romawi yang menganut agama Nasrani. Lalu ayat ini turun untuk menerangkan bahwa bangsa Romawi yang kalah itu, akan mengalahkan bangsa Persia dalam waktu yang tidak lama, hanya dalam beberapa tahun lagi.
Sejarah mencatat bahwa tahun 622 Masehi, yaitu setelah tujuh atau delapan tahun kekalahan bangsa Romawi dari bangsa Persia itu, peperangan antara kedua bangsa itu berkecamuk kembali untuk kedua kalinya. Pada permulaan terjadinya peperangan itu telah tampak tanda-tanda kemenangan bangsa Romawi. Sekalipun demikian, ketika sampai kepada kaum musyrik Mekah berita peperangan itu, mereka masih mengharapkan kemenangan berada di pihak Persia. Oleh karena itu, Ubay bin Khalaf ketika mengetahui Abu Bakar hijrah ke Medinah, ia minta agar putra Abu Bakar, yaitu ‘Abdurraḥmān, menjamin taruhan ayahnya, jika Persia menang. Hal ini diterima oleh ‘Abdurraḥmān.
Pada tahun 624 Masehi, terjadilah perang Uhud. Ketika Ubay bin Khalaf hendak pergi memerangi kaum Muslimin, ‘Abdurraḥmān melarangnya, kecuali jika putranya menjamin membayar taruhannya, jika bangsa Romawi menang. Maka Abdullah bin Ubay menerima untuk menjaminnya.
Jika melihat berita di atas, maka ada beberapa kemungkinan sebagai berikut: pertama, pada tahun 622 Masehi, perang antara Romawi dan Persia telah berakhir dengan kemenangan Romawi. Akan tetapi, karena hubungan yang sukar waktu itu, maka berita itu baru sampai ke Mekah setahun kemudian, sehingga Ubay minta jaminan waktu Abu Bakar hijrah, sebaliknya ‘Abdurraḥmān minta jaminan pada waktu Ubay akan pergi ke Perang Uhud. Kedua, peperangan itu berlangsung dari tahun 622-624 Masehi, dan berakhir dengan kemenangan bangsa Romawi.
Dari peristiwa di atas dapat dikemukakan beberapa hal dan pelajaran yang perlu direnungkan dan diamalkan.
Pertama: Ada hubungan antara kemusyrikan dan kekafiran terhadap dakwah dan iman kepada Allah. Sekalipun negara-negara dahulu belum mempunyai sistem komunikasi yang canggih dan bangsanya pun belum mempunyai hubungan yang kuat seperti sekarang ini, namun antar bangsa-bangsa itu telah mempunyai hubungan batin, yaitu antara bangsa-bangsa yang menganut agama yang bersumber dari Tuhan di satu pihak, dan bangsa-bangsa yang menganut agama yang tidak bersumber dari Tuhan pada pihak yang lain. Orang-orang musyrik Mekah menganggap kemenangan bangsa Persia atas bangsa Romawi (Nasrani), sebagai kemenangan mereka juga karena sama-sama menganut politeisme. Sedangkan kaum Muslimin merasakan kekalahan bangsa Romawi yang beragama Nasrani sebagai kekalahan mereka pula, karena merasa agama mereka berasal dari sumber yang satu. Hal ini merupakan suatu faktor nyata yang perlu diperhatikan kaum Muslimin dalam menyusun taktik dan strategi dalam berdakwah.
Kedua: Kepercayaan yang mutlak kepada janji dan ketetapan Allah. Hal ini tampak pada ucapan-ucapan Abu Bakar yang penuh keyakinan tanpa ragu-ragu di waktu menetapkan jumlah taruhan dengan Ubay bin Khalaf. Harga unta seratus ekor sangat tinggi pada waktu itu, sehingga kalau tidak karena keyakinan akan kebenaran ayat-ayat Al-Qur’an yang ada di dalam hati Abu Bakar, tentu beliau tidak akan berani mengadakan taruhan sebanyak itu, apalagi jika dibaca sejarah bangsa Romawi pada waktu kekalahan itu dalam keadaan kocar-kacir. Amat sukar diramalkan mereka sanggup mengalahkan bangsa Persia yang dalam keadaan kuat, hanya dalam tiga sampai sembilan tahun mendatang. Keyakinan yang kuat seperti keyakinan Abu Bakar itu merupakan keyakinan kaum Muslimin, yang tidak dapat digoyahkan oleh apa pun, sekalipun dalam bentuk siksaan, ujian, penderitaan, pemboikotan, dan sebagainya. Hal ini merupakan modal utama bagi kaum Muslimin menghadapi jihad yang memerlukan waktu yang lama di masa yang akan datang. Jika kaum Muslimin mempunyai keyakinan dan berusaha seperti kaum Muslimin di masa Rasulullah, pasti pula Allah mendatangkan kemenangan kepada mereka.
Ketiga: Terjadinya suatu peristiwa adalah urusan Allah, tidak seorangpun yang dapat mencampurinya. Allah-lah yang menentukan segalanya sesuai dengan hikmah dan kebijaksanaan-Nya. Hal ini berarti bahwa kaum Muslimin harus mengembalikan segala urusan kepada Allah saja, baik dalam kejadian seperti di atas, maupun pada kejadian dan peristiwa yang merupakan keseimbangan antara situasi dan keadaan. Kemenangan dan kekalahan, kemajuan dan kemunduran suatu bangsa, demikian pula kelemahan dan kekuatannya yang terjadi di bumi ini, semuanya kembali kepada Allah. Dia berbuat menurut kehendak-Nya. Semua yang terjadi bertitik tolak kepada kehendak Zat yang mutlak itu. Jadi berserah diri dan menerima semua yang telah ditentukan Allah adalah sifat yang harus dimiliki oleh seorang mukmin. Hal ini bukanlah berarti bahwa usaha manusia tidak ada harganya sedikit pun, karena hal itu merupakan syarat berhasilnya suatu pekerjaan. Dalam suatu hadis diriwayatkan bahwa seorang Arab Badui melepaskan untanya di muka pintu masjid Rasulullah, kemudian ia masuk ke dalamnya sambil berkata, “Aku bertawakal kepada Allah,” lalu Nabi bersabda:
اِعْقِلْ َا وَتَوَكَّلْ. (رواه الترمذى عن انس بن مالك)
Ikatlah unta itu sesudah itu baru engkau bertawakal. (Riwayat at-Tirmiżī dari Anas bin Mālik )
Berdasarkan hadis ini, seorang muslim disuruh berusaha sekuat tenaga, kemudian ia berserah diri kepada Allah tentang hasil usahanya itu.
Akhir ayat ini menerangkan bahwa kaum Muslimin bergembira ketika mendengar berita kemenangan bangsa Romawi atas bangsa Persia. Mereka bergembira karena:
1. Mereka telah dapat membuktikan kepada kaum musyrik Mekah atas kebenaran berita-berita yang ada dalam ayat Al-Qur’an.
2. Kemenangan bangsa Romawi atas bangsa Persia merupakan kemenang-an agama Samawi atas agama ciptaan manusia.
3. Kemenangan bangsa Romawi atas bangsa Persia mengisyaratkan ke-menangan kaum Muslimin atas orang-orang kafir Mekah dalam waktu yang tidak lama lagi.
Ar-Rūm اَلرُّوْم (ar-Rūm/30: 2)
Peristiwa ini pada ayat 1-7 diwahyukan sekitar 6 atau 7 tahun sebelum Hijrah Nabi (615-616 M) dari Mekah ke Medinah. Sebelum itu, pihak Persia telah menyerang dan menaklukkan Syiria dan Yerusalem. Kalangan sejara-wan Muslim dan Ahli Kitab sependapat mengenai hal ini. Dengan begitu, pihak Kristen di Roma kehilangan kekuasaannya di kedua wilayah itu.
Ketika itu arus penaklukan Persia atas Romawi sangat gencar. Berita ini sampai juga ke Mekah dan pihak musyrik merasa senang sekali. Mereka mengejek kaum Muslimin dan orang-orang Nasrani yang sama-sama Ahli Kitab. Mereka juga merasa mendapat kemenangan karena mereka dan orang Persia sama-sama pagan (musyrik).
“Negeri yang dekat” dalam ayat itu adalah Syiria dan Palestina. Kerajaan Kristen di Roma telah kehilangan Yerusalem dan Damsyik (Damaskus) yang jatuh ke tangan Persia, dan pihak Kristen dihancurkan. Kalangan musyrik Quraisy yang pro Persia ketika itu gembira sekali. Mereka makin kuat mengejek dan menekan Nabi Muhammad. Akan tetapi, ayat-ayat itu juga sudah membayangkan bahwa pada gilirannya nanti Romawi akan dapat mengalahkan Persia, dan sejarah pun memang membuktikan kenyataan yang demikian. Sebelum itu, kaum musyrik Mekah yang merasa kegirangan melihat kemenangan Persia mengajak Abu Bakar aṣ-Ṣiddiq bertaruh dalam jumlah besar, demikian sejarah mencatat, yang kemudian berakhir dengan kemenangan Abu Bakr.
Biḍ’ sinīn berasal dari kata biḍ’ dan sinīn dalam ayat 4 di atas, yang berarti “beberapa tahun” dalam arti antara 3 dan 9 tahun. Kemenangan Romawi itu memang terjadi 7 tahun kemudian.
Pada tahun 610, Heraklius (575-642 M) berhasil menurunkan Phocas dari takhta di Konstantinopel. Ia menggantikannya dengan mengumumkan dirinya sebagai Kaisar Romawi. Dalam perang dengan Persia, ia sangat terpukul karena mendapat serangan sekaligus dari Persia dan Avars (mungkin termasuk ras Turki). Akan tetapi kemudian, ia berhasil membuat perjanjian dengan pihak Avars. Setelah itu, ia mengerahkan segala kemampuan dan kekuatannya dengan rencana hendak mengadakan serangan balik terhadap Persia. Sekitar tahun 621, yakni satu tahun sebelum hijrah Nabi, Heraklius menyerang Persia, dan memorak-porandakan negeri itu setelah terjadi pemberontakan di sana. Putra mahkota menduduki takhta kerajaan, rajanya pun melarikan diri, dan pada tahun 628 perang berakhir. Heraklius kembali dengan kemenangan berarti dan membawa rampasan perang yang tidak sedikit.
Hikmah apa yang didapat dari perjalanan sejarah itu? Tepat sekali kata-kata Zubair al-Kala’i, seperti dikutip oleh al-Qasimi, “Saya perhatikan ke-menangan Persia atas Romawi. Saya lihat juga kemenangan Romawi atas Persia, kemudian kemenangan Islam atas keduanya, Persia dan Romawi …”
Apa yang kita lihat dalam peristiwa ini? Tampak jelas, di bawah kepemimpinan Rasulullah dan dilanjutkan oleh Abu Bakar dan Umar, para sahabat dengan disiplin, ketaatan, dan keikhlasan berhasil membebaskan bangsa-bangsa yang waktu itu berada dalam cengkeraman penjajahan dua adikuasa—Romawi di sebelah barat dan Persia di sebelah timur. Bahkan mereka juga berhasil menguasai Persia sendiri dan Mesir.
Kerajaan Roma (Roman Empire) tua dibangun oleh Kaisar Augustus pada tahun 27 SM, dan berlangsung sampai 395 M. Kerajaan Bizantin (Romawi), yang disebut juga sebagai Kerajaan Romawi Timur atau Kerajaan Roma bagian timur (East Empire), masih bertahan seribu tahun setelah kehancuran bagian barat. Kota Bizantium lahir dari koloni Yunani tua yang dibangun di Bosporus yang berdampingan dengan Eropa.
Pada tahun 330 M, Kaisar Roma Konstantin I, dalam usahanya memper-kuat kerajaan, membangun kembali Bizantium sebagai Konstantinopel atau Istambul sekarang. Setelah Kaisar Konstantin I meninggal pada tahun 395, Kaisar Theodorus I membagi kerajaan itu antara kedua anaknya, yang kemudian tidak pernah menyatu kembali. Theodorus juga menjadikan agama Kristen satu-satunya agama kerajaan, dan menjadikan Konstantinopel sebagai pusat Kristen di Timur seperti Roma di Barat.
Kejatuhan Roma pada tahun 476 ke tangan orang Ostrogoth—termasuk cabang Goth (Jerman)—menandakan berakhirnya paro bagian barat Kerajaan Roma. Paro bagian timur tetap bertahan sebagai Kerajaan Bizantin, dengan Konstantinopel sebagai ibu kotanya. Bagian timur ini dalam beberapa segi banyak berbeda dengan bagian barat, sebagai ahli waris peradaban Helenisme (Yunani sesudah Iskandar Agung), suatu pembauran unsur-unsur Yunani dengan Eropa Tengah. Mereka lebih menekankan pada soal perdagangan, perkotaan, dan lebih kaya daripada Barat. Raja-raja mereka, yang dalam tradisi Helenisme menggabungkan fungsi politik dengan fungsi agama, dan lebih ketat mengadakan kontrol atas semua kelas sosial.

