وَلَقَدْ اٰتَيْنَا مُوْسَى الْكِتٰبَ مِنْۢ بَعْدِ مَآ اَهْلَكْنَا الْقُرُوْنَ الْاُوْلٰى بَصَاۤىِٕرَ لِلنَّاسِ وَهُدًى وَّرَحْمَةً لَّعَلَّهُمْ يَتَذَكَّرُوْنَ
Wa laqad ātainā mūsal-kitāba mim ba‘di mā ahlaknal-qurūnal ūlā baṣā'ira lin-nāsi wa hudaw wa raḥmatal la‘allahum yatażakkarūn(a).
Sungguh, Kami benar-benar menganugerahkan kepada Musa Kitab (Taurat) setelah Kami membinasakan generasi terdahulu sebagai penerang, petunjuk, dan rahmat bagi manusia agar mereka mendapat pelajaran.
Kisah Bani Israil ditutup oleh ayat ini dengan menjelaskan dasar kepemimpinan Nabi Musa, setelah ayat yang lalu menjelaskan kepemimpinan Fir`aun dalam kekufuran. Sambil bersumpah Allah berfirman, “Dan demi keagungan dan kekuasaan Kami, sungguh, telah Kami berikan kepada Musa Kitab Taurat yang mengandung hukum dan petunjuk kebahagiaan bagi masyarakat Bani Israil, setelah Kami binasakan umat-umat terdahulu, seperti kaum Nabi Nuh, kaum Nabi Hud (`Ad), kaum Nabi Saleh (Samud), kaum Nabi Lut dan penduduk negeri Madyan. Kitab itu Kami anugerahkan untuk menjadi pelita cahaya bagi hati manusia yang sebelumnya berada dalam kegelapan dan tidak mengetahui kebenaran, dan juga agar menjadi petunjuk bagi yang memerhatikan kandungannya, serta menjadi jalan untuk mendapatkan rahmat bagi yang melaksanakannya. Semua itu Kami anugerahkan agar mereka mendapat pelajaran dari apa yang ada di dalamnya, sehingga bergegas menjalankan perintah dan menjauhi larangan, dan juga agar mereka selalu mengingat kebesaran Allah dan aneka anugerah-Nya.”
Ayat ini menerangkan bahwa Allah telah menurunkan kepada Musa kitab Taurat sebagai rahmat baginya dan bagi kaumnya, yang telah lama tertindas dan teraniaya di bawah kekuasaan Fir‘aun. Di dalamnya terdapat hikmah dan hukum yang membimbing manusia menuju kebahagiaan dunia dan akhirat. Di sini tampak perbedaan yang besar dan nyata dalam perlakuan Allah terhadap pemimpin-pemimpin dan kaum yang durhaka, sombong dan takabur dengan perlakuannya terhadap pemimpin yang saleh dan ikhlas serta taat kepada-Nya.
Kepada golongan pertama, seperti Fir‘aun dan kaumnya, diturunkan malapetaka dan siksaan sehingga dia ditenggelamkan bersama tentaranya ke dalam laut. Kepada golongan kedua, seperti Musa, Harun, dan kaumnya, diturunkan Kitab yang akan menjadi petunjuk bagi mereka dalam menempuh kehidupan, baik di dunia maupun di akhirat. Demikianlah sunatullah yang berlaku semenjak dahulu kala. Berapa banyaknya umat-umat yang terdahulu yang telah dibinasakan-Nya dengan berbagai macam cara seperti yang terjadi pada kaum Nabi Nuh, Nabi Saleh, Nabi Hud, dan lain-lain.
عَنِ أَبِى سَعِيْدٍ الخُدْرِي َمْرفُوْعًا اِلَى النَّبِيِّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ: قَالَ: مَا اَهْلَكَ اللهُ قَوْمًا بِعَذَابٍ ِمنَ السّمَاءِ وَلَا مِنَ اْلارْضِ بَعْدَ مَا أُنْزِلَتِ التَّوْرَةُ عَلَى َوجْهِ الْاَرْضِ غَيْرَ أَهْلِ الْقَرْيَةِ الَّذِيْنَ مُسِخُوْا قِرَدَةً بَعْدَ مُوْسَى، ثُمَّ قَرَأَ: ((وَلَقَدْ اٰتَيْنَا مُوْسَى الْكِتَابَ مِنْ بَعْدِ مَا َاهْلَكنَا الْقُرُوْنَ اْلاُوْلَى بَصَائِرَ لِلنَّاسِ وَهُدًى وَرَحْمَةً لَعَلَّهُمْ يَتَذَكَّرُوْن َ)). (رواه الحاكم)
Dari Abū Sa’īd al-Khudrī bersumber dari Nabi saw, beliau bersabda, “Setelah diturunkannya kitab Taurat di atas bumi Allah tidak lagi membinasakan suatu kaum dengan azab dari langit atau bumi kecuali penduduk negeri yang diubah menjadi kera, mereka adalah orang Bani Israil sepeninggal Nabi Musa, lalu Nabi saw membaca ayat ini (al-Qaṣaṣ/28: 43). (Riwayat al-Ḥākim)
1. Ṣarḥ صَرْحٌ (al-Qaṣaṣ/28: 38)
Akar katanya adalah ṣaraḥa-yaṣruḥu-ṣar āḥah, artinya “suci, bersih, jelas”. Ṣarraḥa adalah menyatakan pendapat dengan gamblang. Ṣarḥ juga bermakna gedung yang tinggi dan bersih, atau istana. Dalam Al-Qur’an terdapat ayat, qīla lahadkhuliṣ-ṣarḥ(a), falammā ra’athu ḥasibathu lujjah (dikatakan kepadanya (Balqis), “Masuklah ke dalam istana. Maka ketika dia (Balqis) melihat (lantai istana) itu, dikiranya kolam air yang besar) (an-Naml/27: 44). Ia adalah Ratu Balqis yang mengunjungi Nabi Sulaiman di istananya. Ratu itu takjub sekali dan kemudian menyatakan keislamannya. Juga terdapat ayat, fa’auqid lī yā hāmānu ‘alaṭ-ṭīni faj’al lī ṣarḥal la’allī aṭṭali’u ilā ilāhi mūsā, (Maka bakarlah tanah liat untukku wahai Haman (untuk membuat batu bata), kemudian buatkanlah bangunan yang tinggi untukku agar aku dapat naik melihat Tuhannya Musa) (al-Qaṣaṣ/28: 38).
2. Al-Maqbūḥin اَلْمَقْبُوْحِ يْنُ (al-Qaṣaṣ/28: 42)
Al-Maqbūḥīn merupakan bentuk jamak dari isim maf’ūl al-maqbuḥ yang berasal dari kata qabuḥa-yaqbuḥu yang secara bahasa berarti buruk, sebagai antonim dari bagus. Biasanya lafal ini diungkapkan untuk menyifati sebuah bentuk keburukan atau kejelekan. Dalam sebuah hadis, Rasulullah bersabda, “lā tuqabbiḥu al-wajh”, artinya: janganlah kalian berkata kepada seseorang bahwa dia berwajah jelek. Qabbaḥa Allāh artinya Allah menjadikan jelek. Al-Maqbūḥ berarti orang yang ditolak, dijauhkan atau dianggap jelek, Al-Qabīḥ berarti suatu pekerjaan atau keadaan yang membuat penglihatan mata dan hati tidak merasa nyaman. Al-Qabīḥ berarti juga ujung tulang siku. Dalam Al-Qur’an kalimat qabuḥa ini hanya terulang sekali yaitu bentuk al-maqbūḥīn.
Dalam ayat ini, al-maqbūḥīn berarti mereka akan dijauhkan dari kebaikan, karunia, dan rahmat Allah. Diceritakan sebelumnya bahwa Fir‘aun dan kaumnya senantiasa menyombongkan diri dan berusaha untuk menyesatkan dan membuat kafir orang lain sehingga mereka dijuluki a’immah (pemimpin-pemimpin) dalam kesesatan. Oleh karena itu, pada hari Kiamat nanti mereka tidak akan mendapatkan pertolongan Allah dan termasuk orang-orang yang mendapatkan laknat-Nya. Karena sikapnya, mereka pun termasuk kelompok maqbūḥīn (dijauhkan) dari rahmat Allah dan akan mendapatkan siksaan yang sangat pedih. Balasan ini merupakan hal yang wajar dan pantas jika melihat dua kesalahan yang mereka lakukan yaitu kesalahan menyesatkan diri mereka dan kesalahan menyesatkan orang lain. Al-Maqbūḥīn juga mengandung sebuah keadaan yang membuat orang merasa ingin menghindar dan menjauh.

