اِنْ هُوَ اِلَّا رَجُلٌۢ بِهٖ جِنَّةٌ فَتَرَبَّصُوْا بِهٖ حَتّٰى حِيْنٍ
In huwa illā rajulum bihī jinnatun fa tarabbaṣū bihī ḥattā ḥīn(in).
Dia hanyalah seorang laki-laki yang gila. Tunggulah dia sampai waktu yang ditentukan.”
Para pemuka orang kafir itu melanjutkan, “Dia, yakni Nuh, hanyalah seorang laki-laki yang gila sehingga dia ingin menonjolkan diri, maka tunggulah terhadapnya, yakni bersabarlah kamu, sampai waktu yang ditentukan di mana dia sembuh atau meninggal dunia.”
Ayat ini menerangkan sikap orang-orang kafir akibat pandangan mereka yang meremehkan posisi Nuh sebagai rasul. Mereka mengatakan bahwa Nuh tidak lain hanyalah seorang laki-laki yang miring otaknya, yang berbicara seenaknya, dan apa yang diucapkannya tidak beralasan sama sekali, sehingga tidak perlu dilayani. Oleh karena itu, mereka meminta kepada kaumnya untuk sabar sampai Nuh pada suatu waktu sadar dan kembali ke keadaannya yang normal dan kembali memeluk agama nenek moyang mereka. Ucapan mereka itu menunjukkan keingkarannya, padahal mereka mengetahui, bahwa Nuh orang yang paling cerdas pikirannya di antara mereka.
Menyimak perkataan kaum Nabi Nuh, yang menolak kedudukannya sebagai rasul, bisa dikatakan bahwa setiap rasul seharusnya memiliki kelebihan dari umatnya dari segi akhlak dan mukjizat. Seorang rasul kedudukannya harus lebih tinggi karena dengan demikian semua petunjuk-nya akan diikuti. Di samping itu seorang rasul harus berwibawa, supaya dengan wibawanya ia dapat memimpin umatnya ke jalan yang benar, dan rasul itu maksum, yakni terpelihara dari segala dosa termasuk kesombongan. Ucapan mereka bahwa seruan kepada ketauhidan itu belum pernah mereka terima dari nenek moyang mereka dahulu. Padahal ucapan mereka itu tidak cukup untuk dijadikan alasan menolak risalah Nuh. Tuduhan mereka bahwa Nabi Nuh menderita sakit ingatan, bertentangan dengan kenyataan yang mereka lihat dan alami sendiri.
1. Jinnah جِنَّةٌ(al-Mu’minū n/23: 25)
Jinnah berasal dari kata kerja janna-yajunnu, yang artinya menyembunyikan. Dari kata ini muncul istilah jinn, yaitu makhluk halus yang tercipta dari api dan tidak dapat dilihat, karena ia tertutup atau tersembunyi dari penglihatan manusia. Orang gila disebut majnun, karena ketika itu akalnya tertutup, sehingga tidak dapat dipergunakan, dan ia disebut sebagai orang yang tidak berakal. Kata jinnah pada ayat ini dimaksudkan sebagai adanya ketertutupan pada akal, yakni terganggu pikirannya. Namun pemuka masyarakat dari umat Nabi Nuh tidak menganggap bahwa Nabi Nuh betul-betul gila, karena mereka tahu betul bahwa ia memang tidak gila.
2. At-Tannūr اَلتَّنُّوْرِ(a l-Mu’minūn/23: 27)
Dari segi bahasa tannūr dapat diartikan sebagai tempat memasak makanan atau periuk. Ulama berbeda pendapat tentang maksud kata tersebut pada ayat ini. Ada yang memahaminya dalam arti permukaan bumi, yakni muka bumi yang memancarkan air yang deras sehingga menyebabkan timbulnya banjir yang besar, dan ada pula yang memahaminya sebagai pegunungan atau dataran tinggi, karena air bah atau banjir itu biasanya datang dari daerah yang tinggi. Kata ini dapat pula dipahami secara majazi (kiasan), yakni murka Allah telah benar-benar menjadi besar.
3. Al-Mubtalīna اَلْمُبْتَلِيْ نَ(Al-Mu’minūn/23: 30)
Al-mubtalīna merupakan bentuk jamak muzakar salim dari al-mubtalī. Kata ini merupakan bentuk ism fa’il dari kata kerja ibtalā-yabtalī yang artinya menguji atau mengetahui. Dengan demikian mubtalī berarti penguji. Dalam ayat ini, kata ini mengisyaratkan bahwa Allah memperlakukan manusia bagaikan perlakuan penguji guna mengetahui siapa yang taat dan siapa pula yang durhaka di antara mereka. Selain itu, hal ini juga untuk menegaskan bahwa hidup ini penuh dengan ujian yang dilakukan Allah kepada hamba-hamba-Nya. Ujian tersebut bermacam-macam, ada ujian yang berkaitan dengan kesabaran atau kesyukuran, ada ujian untuk meningkatkan kualitas diri atau untuk mendidik, ada juga ujian untuk pembersihan batin dan penghapusan dosa.

