وَالَّذِيْنَ هُمْ لِاَمٰنٰتِهِمْ وَعَهْدِهِمْ رَاعُوْنَ ۙ
Wal-lażīna hum li'amānātihim wa ‘ahdihim rā‘ūn(a).
(Sungguh beruntung pula) orang-orang yang memelihara amanat dan janji mereka
Perkawinan adalah amanat, maka setiap orang harus memeliharanya dengan baik. Meski begitu, tidak hanya amanat perkawinan yang harus dipelihara, melainkan semua amanat. Dan beruntunglah orang yang memelihara amanat-amanat yang dipikulkan atas mereka dan memelihara janjinya yang dijalin dengan pihak lain.
Memelihara amanat-amanat yang dipikulnya dan menepati janjinya. Dalam ayat ini Allah menerangkan sifat keenam dari orang mukmin yang beruntung itu, ialah suka memelihara amanat-amanat yang dipikulnya, baik dari Allah ataupun dari sesama manusia, yaitu bilamana kepada mereka dititipkan barang atau uang sebagai amanat yang harus disampaikan kepada orang lain, maka mereka benar-benar menyampaikan amanat itu sebagaimana mestinya, dan tidak berbuat khianat. Demikian pula bila mereka mengadakan perjanjian, mereka memenuhinya dengan sempurna. Mereka menjauhkan diri dari sifat kemunafikan seperti tersebut dalam sebuah hadis yang masyhur, yang menyatakan bahwa tanda-tanda orang munafik itu ada tiga, yaitu kalau berbicara suka berdusta, jika menjanjikan sesuatu suka menyalahi janji dan jika diberi amanat suka berkhianat.
1. Aflaḥa أَفْلَحَ (Al-Mu’minūn/23: 1)
Aflaḥ ( أفلح ) artinya sukses bisa mencapai yang diinginkan. Kata aflaḥa terambil dari akar kata ف ل ح , artinya membelah, dari sini petani disebut الفلاّح (al-fallāḥ), karena dia mencangkul untuk membelah tanah untuk ditanami benih, benih ini akan tumbuh dan memberi hasil yang sangat diharapkan, dari sini maka memperoleh apa yang diharapkan juga dinamai al-falāḥ.
Layak diperhatikan penamaan al-fallāḥ pada petani dan kaitannya dengan kesuksesan memberi kesan bahwa suatu perbuatan baik membutuhkan proses dan waktu yang panjang dan juga usaha keras sampai tiba waktu menuai hasil. Tanpa usaha keras dan waktu yang panjang, kesuksesan sulit dicapai.
2. Khāsyi’ūn خَاشِعُوْنَ (al-Mu’minūn/23: 2)
Khāsyi’ūn (خاشعون) artinya orang-orang yang khusyuk. Terambil dari kata خ ش ع , berarti tenang atau tunduk (الخضوع). Namun menurut Ibnu Faris tunduk digunakan untuk anggota badan, sedangkan khusyuk digunakan pada suara (Ṭāhā/20:108 وخشعت الأصوات ) dan pandangan (al-Qalam/68: 43 خاشعة أبصارهم).
Al-Aṣfahānī menafsirkan khusyū’ dengan ضراعة artinya diam. Khusyū’ digunakan untuk ketenangan anggota tubuh, sedangkan الضراعة digunakan untuk ketenangan hati (al-Isrā’/17: 109 ويزيدهم خشوعا).
Pepatah mengatakan إذا ضرع القلب خشعت الجوارح , jika hati sudah khusyuk maka anggota tubuh diam, tidak bergerak.
Dari dua definisi ini dapat dipahami bahwa khusyuk dalam ayat ini adalah kesan khusus dalam hati orang yang sedang menunaikan salat dengan mengerahkan seluruh pikiran dan isi hatinya pada bacaan salat dan mengabaikan hal-hal selainnya.
Sementara itu ulama mengatakan bahwa khusyuk yang dimaksud dalam ayat ini adalah rasa takut jangan sampai salat yang dilakukannya tertolak. Rasa takut ini antara lain ditandai dengan ketundukan mata ke tempat sujud. Rasa takut itu bercampur dengan kesigapan dan kerendahan hati serta harapan agar salatnya diterima.

