اِنَّ فِيْ ذٰلِكَ لَاٰيٰتٍ وَّاِنْ كُنَّا لَمُبْتَلِيْنَ
Inna fī żālika la'āyātiw wa in kunnā lamubtalīn(a).
Sesungguhnya pada (kejadian) itu benar-benar terdapat tanda-tanda (kebesaran Allah). Sesungguhnya Kami benar-benar menimpakan cobaan (kepada kaum Nuh itu).
Sungguh, pada kisah Nabi Nuh itu benar-benar terdapat tanda-tanda kebesaran Allah dan kesempurnaan kekuasaan-Nya; dan sesungguhnya Kami benar-benar menguji hamba-hamba Kami dengan menimpakan siksaan kepada yang ingkar, di antaranya kaum Nabi Nuh yang mendustakan risalahnya.
Sesungguhnya dalam peristiwa topan besar yang membinasakan kaum Nuh yang mendustakan Rasul-Nya, dengan mengingkari keesaan Allah dan menyembah berhala-berhala, terdapat pelajaran bagi kaum Quraisy yang mendustakan kerasulan Muhammad saw, bahwa peristiwa yang menimpa kaum Nuh itu dapat pula menimpa kaum Quraisy yang berani mendustakan Rasulullah dan memusuhinya. Pada kejadian itu benar-benar terdapat beberapa azab yang sangat besar kepada kaum Nuh itu, supaya orang-orang yang datang kemudian mengambil pelajaran daripadanya, sesuai dengan firman Allah:
وَلَقَدْ تَّرَكْنٰهَآ اٰيَةً فَهَلْ مِنْ مُّدَّكِرٍ ١٥
Dan sungguh, kapal itu telah Kami jadikan sebagai tanda (pelajaran). Maka adakah orang yang mau mengambil pelajaran? (al-Qamar/54: 15)
1. Jinnah جِنَّةٌ(al-Mu’minū n/23: 25)
Jinnah berasal dari kata kerja janna-yajunnu, yang artinya menyembunyikan. Dari kata ini muncul istilah jinn, yaitu makhluk halus yang tercipta dari api dan tidak dapat dilihat, karena ia tertutup atau tersembunyi dari penglihatan manusia. Orang gila disebut majnun, karena ketika itu akalnya tertutup, sehingga tidak dapat dipergunakan, dan ia disebut sebagai orang yang tidak berakal. Kata jinnah pada ayat ini dimaksudkan sebagai adanya ketertutupan pada akal, yakni terganggu pikirannya. Namun pemuka masyarakat dari umat Nabi Nuh tidak menganggap bahwa Nabi Nuh betul-betul gila, karena mereka tahu betul bahwa ia memang tidak gila.
2. At-Tannūr اَلتَّنُّوْرِ(a l-Mu’minūn/23: 27)
Dari segi bahasa tannūr dapat diartikan sebagai tempat memasak makanan atau periuk. Ulama berbeda pendapat tentang maksud kata tersebut pada ayat ini. Ada yang memahaminya dalam arti permukaan bumi, yakni muka bumi yang memancarkan air yang deras sehingga menyebabkan timbulnya banjir yang besar, dan ada pula yang memahaminya sebagai pegunungan atau dataran tinggi, karena air bah atau banjir itu biasanya datang dari daerah yang tinggi. Kata ini dapat pula dipahami secara majazi (kiasan), yakni murka Allah telah benar-benar menjadi besar.
3. Al-Mubtalīna اَلْمُبْتَلِيْ نَ(Al-Mu’minūn/23: 30)
Al-mubtalīna merupakan bentuk jamak muzakar salim dari al-mubtalī. Kata ini merupakan bentuk ism fa’il dari kata kerja ibtalā-yabtalī yang artinya menguji atau mengetahui. Dengan demikian mubtalī berarti penguji. Dalam ayat ini, kata ini mengisyaratkan bahwa Allah memperlakukan manusia bagaikan perlakuan penguji guna mengetahui siapa yang taat dan siapa pula yang durhaka di antara mereka. Selain itu, hal ini juga untuk menegaskan bahwa hidup ini penuh dengan ujian yang dilakukan Allah kepada hamba-hamba-Nya. Ujian tersebut bermacam-macam, ada ujian yang berkaitan dengan kesabaran atau kesyukuran, ada ujian untuk meningkatkan kualitas diri atau untuk mendidik, ada juga ujian untuk pembersihan batin dan penghapusan dosa.

