فَاَوْحَيْنَآ اِلَيْهِ اَنِ اصْنَعِ الْفُلْكَ بِاَعْيُنِنَا وَوَحْيِنَا فَاِذَا جَاۤءَ اَمْرُنَا وَفَارَ التَّنُّوْرُۙ فَاسْلُكْ فِيْهَا مِنْ كُلٍّ زَوْجَيْنِ اثْنَيْنِ وَاَهْلَكَ اِلَّا مَنْ سَبَقَ عَلَيْهِ الْقَوْلُ مِنْهُمْۚ وَلَا تُخَاطِبْنِيْ فِى الَّذِيْنَ ظَلَمُوْاۚ اِنَّهُمْ مُّغْرَقُوْنَ
Fa auḥainā ilaihi aniṣna‘il-fulka bi'a‘yuninā wa waḥyinā fa iżā jā'a amrunā wafārat-tannūr(u), fasluk fīhā min kullin zaujainiṡnaini wa ahlaka illā man sabaqa ‘alaihil-qaulu minhum, wa lā tukhāṭibnī fil-lażīna ẓalamū, innahum mugraqūn(a).
Kami wahyukan kepadanya, “Buatlah kapal dengan pengawasan dan petunjuk Kami. Apabila perintah Kami telah datang dan tungku (dapur) telah memancarkan air, masukkanlah ke dalam (kapal) itu sepasang-sepasang dari setiap jenis (binatang), juga keluargamu, kecuali orang yang lebih dahulu ditetapkan (akan ditimpa siksaan) di antara mereka. Janganlah engkau bicarakan dengan-Ku tentang orang-orang yang zalim. Sesungguhnya mereka itu akan ditenggelamkan.
Allah memperkenankan doa Nabi Nuh tersebut. Lalu Kami wahyukan kepadanya, “Buatlah kapal untuk menyelamatkan dirimu dan para pengikutmu, yang prosesnya di bawah pengawasan dan petunjuk Kami. Maka apabila perintah dan siksa yang Kami siapkan untuk kaummu yang kafir datang, engkau pun telah menyelesaikan perahu itu, dan tanur yakni dapur telah memancarkan air, maka masukanlah ke dalam kapal itu sepasang-sepasang, yakni jantan dan betina, dari setiap jenis hewan, dan naikkan juga keluargamu, kecuali orang yang lebih dahulu ditetapkan sebagai penerima siksa Kami di antara mereka. Dan janganlah engkau bicarakan dengan-Ku tentang orang-orang yang zalim. Jangan kaumohon agar mereka diselamatkan, karena sesungguhnya mereka itu akan ditenggelamkan, dan tidak ada yang dapat mengubah ketetapan-Ku.
Setelah doa Nuh diperkenankan, maka Allah mewahyukan kepada-nya, agar ia mulai membuat perahu di bawah pengawasan dan petunjuk wahyu-Nya, supaya perahu itu kokoh dan tidak mudah mengalami kerusakan dan supaya Nuh mengetahui teknik pembuatannya, sebab pembuatan sebuah perahu yang besar dan kukuh tentu saja memerlukan keahlian. Apabila perintah Allah sudah datang untuk membinasakan kaumnya dengan topan yang besar, dan tanda-tandanya sudah tampak, yaitu tannūr tempat membakar roti di bawah tanah sudah mulai memancarkan air, maka Allah menyuruh Nabi Nuh memasukkan ke dalam perahu itu sepasang jantan dan betina dari tiap-tiap jenis binatang. Dalam perahu dibuat bertingkat-tingkat. Tingkat yang paling bawah untuk binatang buas seperti singa, harimau, dan sebagainya. Di tingkat kedua binatang ternak seperti: sapi, kambing, dan sebagainya. Di tingkat ketiga semua jenis burung sepasang-pasang dan di tingkat yang paling atas sekali Nabi Nuh dengan sekalian keluarganya yang selamat, di antaranya tiga orang putranya: Sām, Hām dan Yafis. Adapun putra beliau yang bernama Kan’an termasuk orang yang tenggelam, karena ia tidak mau ikut bersama ayahnya.
Dengan dimasukkannya setiap jenis binatang yang ada pada waktu itu, maka perahu Nuh merupakan kebun binatang yang lengkap. Semua binatang yang tidak masuk ke dalam perahu dan orang kafir yang tidak mengikuti ajakan Nabi Nuh ditenggelamkan dalam topan besar itu, sesuai dengan ancaman Allah bahwa mereka akan ditimpa azab. Allah sebelumnya melarang Nuh supaya jangan memberitahukan rencana Allah dan maksud pembuatan perahu kepada orang-orang yang zalim itu, karena mereka semuanya akan ditenggelamkan.
1. Jinnah جِنَّةٌ(al-Mu’minū n/23: 25)
Jinnah berasal dari kata kerja janna-yajunnu, yang artinya menyembunyikan. Dari kata ini muncul istilah jinn, yaitu makhluk halus yang tercipta dari api dan tidak dapat dilihat, karena ia tertutup atau tersembunyi dari penglihatan manusia. Orang gila disebut majnun, karena ketika itu akalnya tertutup, sehingga tidak dapat dipergunakan, dan ia disebut sebagai orang yang tidak berakal. Kata jinnah pada ayat ini dimaksudkan sebagai adanya ketertutupan pada akal, yakni terganggu pikirannya. Namun pemuka masyarakat dari umat Nabi Nuh tidak menganggap bahwa Nabi Nuh betul-betul gila, karena mereka tahu betul bahwa ia memang tidak gila.
2. At-Tannūr اَلتَّنُّوْرِ(a l-Mu’minūn/23: 27)
Dari segi bahasa tannūr dapat diartikan sebagai tempat memasak makanan atau periuk. Ulama berbeda pendapat tentang maksud kata tersebut pada ayat ini. Ada yang memahaminya dalam arti permukaan bumi, yakni muka bumi yang memancarkan air yang deras sehingga menyebabkan timbulnya banjir yang besar, dan ada pula yang memahaminya sebagai pegunungan atau dataran tinggi, karena air bah atau banjir itu biasanya datang dari daerah yang tinggi. Kata ini dapat pula dipahami secara majazi (kiasan), yakni murka Allah telah benar-benar menjadi besar.
3. Al-Mubtalīna اَلْمُبْتَلِيْ نَ(Al-Mu’minūn/23: 30)
Al-mubtalīna merupakan bentuk jamak muzakar salim dari al-mubtalī. Kata ini merupakan bentuk ism fa’il dari kata kerja ibtalā-yabtalī yang artinya menguji atau mengetahui. Dengan demikian mubtalī berarti penguji. Dalam ayat ini, kata ini mengisyaratkan bahwa Allah memperlakukan manusia bagaikan perlakuan penguji guna mengetahui siapa yang taat dan siapa pula yang durhaka di antara mereka. Selain itu, hal ini juga untuk menegaskan bahwa hidup ini penuh dengan ujian yang dilakukan Allah kepada hamba-hamba-Nya. Ujian tersebut bermacam-macam, ada ujian yang berkaitan dengan kesabaran atau kesyukuran, ada ujian untuk meningkatkan kualitas diri atau untuk mendidik, ada juga ujian untuk pembersihan batin dan penghapusan dosa.

