لِّلسَّاۤىِٕلِ وَالْمَحْرُوْمِۖ
Lis-sā'ili wal-maḥrūm(i).
untuk orang (miskin) yang meminta-minta dan orang (miskin) yang menahan diri dari meminta-minta,
Untuk diserahkan bagi orang miskin yang meminta dan orang miskin yang tidak meminta karena menjaga kehormatannya.
Di samping mengerjakan salat untuk mengingat dan menghambakan diri kepada Allah, manusia diperintahkan agar selalu meneliti harta yang telah dianugerahkan Allah kepadanya; apakah dalam harta itu telah atau belum ada hak orang miskin yang meminta-minta, dan orang miskin yang tidak mempunyai sesuatu apa pun. Jika ada hak mereka, ia segera mengeluarkannya karena dia percaya bahwa selama ada hak orang lain dalam hartanya itu, berarti hartanya belum suci.
خُذْ مِنْ اَمْوَالِهِمْ صَدَقَةً تُطَهِّرُهُمْ وَتُزَكِّيْهِم ْ بِهَا وَصَلِّ عَلَيْهِمْۗ
Ambillah zakat dari harta mereka, guna membersihkan dan menyucikan mereka, dan berdoalah untuk mereka. (at-Taubah/9: 103)
Dari perkataan ḥaqq ma‘lūm (bagian tertentu) dipahami bahwa yang dimaksud dalam ayat ini ialah sedekah wajib, yaitu zakat. Hal ini diperkuat dengan penyebutannya dalam ayat ini diiringi dengan penyebutan salat. Di dalam Al-Qur’an terdapat dua puluh tujuh tempat yang menyebutkan secara beriringan perintah mengerjakan salat dengan perintah mengerjakan zakat. Hal ini menunjukkan bahwa keduanya mempunyai hubungan yang erat. Dengan salat, seorang dapat menyucikan dirinya dari segala perbuatan syirik dan terlarang, serta menyerahkan dan menghambakan diri hanya kepada Allah. Sedangkan dengan zakat, seseorang dapat menyucikan hartanya dari milik orang lain serta menanamkan keyakinan dalam dirinya bahwa harta yang dikaruniakan Allah itu harus digunakan dan dimanfaatkan untuk jalan yang diridai-Nya. Harta itu hanya sebagai alat untuk mencari keridaan-Nya, bukan sebagai tujuan hidup. Dengan perkataan lain bahwa zakat adalah hasil dan perwujudan dari berhasilnya salat yang dikerjakan seseorang.
1. Halū‘an هَلُوْعًا (al-Ma‘ārij/70: 19)
Halū‘ berasal dari kata hala‘a-yahla‘u-hal‘an wa hala‘an yang memiliki arti cepat gelisah, keluh kesah, atau berkeinginan meluap-luap semacam sifat rakus. Kata ini hanya terulang sekali dalam Al-Qur’an yaitu dalam ayat ini.
Pada ayat ini, Allah menjelaskan tentang salah satu karakter yang dimiliki manusia, yaitu diciptakan bersifat halū‘ yaitu senantiasa gelisah, cemas, dan rakus. Kegelisahan ini dijelaskan selanjutnya oleh Allah bahwa manusia ketika disentuh oleh kesusahan, maka ia akan berkeluh kesah, dan sebaliknya jika ia mendapat kebaikan, maka ia akan kikir. Sifat halū‘ ini sebenarnya tidaklah negatif, karena pada dasarnya sesuatu yang tidak didasarkan pada keinginan yang kuat, tentulah tidak akan bisa tercapai. Sifat tersebut yang merupakan naluri manusia adalah cara untuk meraih kebahagiaan dan kesempurnaan wujudnya. Akan tetapi, naluri ini ketika disentuh oleh keburukan dan tidak bisa menyeimbangkannya maka manusia tersebut akan celaka. Begitu juga ketika kebaikan datang padanya dan tidak bisa menyeimbangkannya, maka ia pun akan celaka. Jadi sifat tersebut tercela akibat ulah manusia yang menggunakan nikmat dan cobaan Allah dengan jalan yang tidak sesuai dengan jalan-Nya.
2. Jazū‘an جَزُوْعًا (al-Ma‘ārij/70: 20)
Kata jazū‘ berasal dari kata al-jaz‘, terambil dari kata jazi‘a-yajza‘u-jaza‘an , yang berarti kesedihan yang mendalam. Kata ini merupakan bagian dari kata al-huzn (kesedihan), al-huzn lebih umum sedangkan al-jaz‘ menunjukkan arti sangat (mubālagah). Al-Jaz‘ adalah kesedihan yang bisa memutuskan harapan seseorang dan bisa menimbulkan sifat berkeluh kesah. Asal maknanya adalah memutuskan tali dari tengah-tengahnya. Jaz‘u al-wādi diartikan dengan sungai yang terputus. Al-Jaz‘ juga digunakan untuk kharaj yang berubah warna, seakan-akan warna aslinya terputus. Lahm mujazza‘ diistilahkan untuk daging yang memiliki dua warna. Al-Jāzi‘ sebutan untuk tiang penyangga yang berada di tengah rumah, dinamakan demikian seakan-akan kayu tersebut terpotong. Dari makna-makna ini bisa disimpulkan bahwa kata al-jaz‘ berkisar pada arti keterputusan baik bersifat fisik atau non fisik.
Dalam konteks ayat ini, seperti yang dijelaskan di atas bahwa sifat manusia ketika dia mendapatkan kesusahan atau keburukan maka dia akan berkeluh kesah, merasa sedih dan berputus asa. Ia beranggapan bahwa apa yang dia lakukan, tidak memiliki arti sama sekali tatkala harapannya tidak tercapai. Berkeluh kesah ketika disentuh oleh keburukan akan berakibat pada ketidakseimbangan sifat manusia, dan yang muncul adalah perasaan-perasaan minor dan sikap apatis terhadap sesuatu.
3. Manū‘an مَنُوْعًا (al-Ma‘ārij/70 : 21)
Kata manū‘ berasal dari kata mana‘a-yamna‘u-man‘an yang berarti melarang, antonim dari kata ‘aṭiyyah (pemberian). Rajul māni‘ atau rajul mannā‘ berarti seseorang yang sangat kikir. Māni‘ adalah sesuatu yang terlarang, makān māni‘ (tempat terlarang). Fulan żū manā‘ah berarti seseorang yang memiliki kekuatan untuk bisa melarang). Imraat māni‘ah berarti perempuan yang bisa menjaga dirinya (afifah) dari perbuatan terlarang. Dari sini juga lahir makna mencegah, menampik, dan menghalangi. Sesuatu yang sangat kukuh dan tidak dapat dimasuki disifati dengan māni‘. Dalam Al-Qur’an, kata ini dengan berbagai bentuk turunannya terulang sebanyak 17 kali. Semuanya cenderung negatif, seperti menghalang-halangi mengingat Allah di masjid (al-Baqarah/2: 114), menghalangi orang lain untuk beriman (al-Isrā’/17: 94), enggan melakukan sujud (al-A‘rāf/7: 12), membela orang-orang kafir, tidak mau mengikuti seruan para nabi dan lain-lain. Ada satu kata yang dikemukakan dalam bentuk positif (al-Wāqi‘ah/56: 33), tetapi ini pun diungkapkan dalam bentuk negatif.
Dalam konteks ayat ini, Allah menjelaskan sisi negatif dari manusia yaitu jika ia mendapatkan kebaikan, maka ia akan bersikap kikir (manū‘). Dan memang itulah sifat manusia, jika mendapat kenikmatan atau rezeki, dia akan lupa bersedekah untuk orang lain. Atau ketika kenikmatan didapat, dia lupa bahwa kenikmatan itu datangnya dari Allah sehingga penggunaannya pun tidak sesuai dengan apa yang telah diperintahkan-Nya. Atau dia merasa bahwa segala kenikmatan yang didapat adalah hasil dari upayanya sendiri sehingga ia pun menjadi kikir.

