v2.9
Geligi Animasi
Geligi Semua Satu Platform
Ayat 26 - Surat Al-Ma‘ārij (Tempat-Tempat Naik)
المعارج
Ayat 26 / 44 •  Surat 70 / 114 •  Halaman 569 •  Quarter Hizb 57.75 •  Juz 29 •  Manzil 7 • Makkiyah

وَالَّذِيْنَ يُصَدِّقُوْنَ بِيَوْمِ الدِّيْنِۖ

Wal-lażīna yuṣaddiqūna biyaumid-dīn(i).

yang memercayai hari Pembalasan,

Makna Surat Al-Ma‘arij Ayat 26
Isi Kandungan oleh Tafsir Wajiz

dan orang-orang yang mempercayai hari pembalasan, mereka mengimaninya dengan hati dan perbuatan, sehingga mempersiapkan bekal menghadapinya,

Isi Kandungan oleh Tafsir Tahlili

Orang yang tidak suka berkeluh kesah adalah orang yang menjalankan salat dan menunaikan zakat. Merekalah yang percaya adanya hari kiamat, adanya hidup setelah mati, dan waktu ditimbang semua amal perbuatan yang telah dikerjakan selama hidup di dunia. Amal baik dibalas dengan surga, sedangkan perbuatan jahat, yang tidak diridai Allah akan dibalas dengan neraka.

Orang yang percaya akan adanya hari akhirat sangat yakin bahwa mereka pada hari itu akan mendapat pahala iman dan amal yang telah mereka lakukan selama hidup di dunia. Mereka percaya bahwa hidup di akhiratlah hidup yang sebenarnya; sedangkan hidup di dunia hanyalah hidup sementara, untuk mempersiapkan diri bagi hidup di akhirat itu. Oleh karena itu, segala macam cobaan yang datang kepada mereka selama di dunia, dihadapi dengan tabah dan sabar. Mereka tidak pernah berkeluh-kesah, bagaimana pun cobaan yang diderita. Mereka tidak pula akan kikir untuk menolong sesamanya yang hidup dalam kepapaan dan penderitaan.

Telah menjadi dasar bagi kebahagiaan hidup manusia ialah bahwa usahanya menghindarkan diri dari bahaya dan kemudaratan selalu lebih besar dan lebih didahulukan daripada usahanya untuk memperoleh kebahagiaan dan kemanfaatan. Akan tetapi, manusia dalam kehidupannya sehari-hari kadang-kadang lupa atau lalai terhadap dasar ini. Dia kadang-kadang cepat terpukau oleh sesuatu yang kelihatannya akan mendatangkan kebaikan atau memberi manfaat baginya. Maka dikerjakanlah sesuatu itu dengan tidak memperhitungkan atau mempertimbangkan kemudaratan yang akan ditimbulkannya. Akibatnya ia menderita dan sengsara. Itulah hukuman dan azab dari Tuhan atas kelalaian itu.

Ada kaidah Usul Fikih yang berbunyi:

دَرْءُ اْلمَفَاسِدِ مُقَدَّمٌ عَلَى جَلْبِ الْمَصَالِحِ

Me nolak kemudaratan itu didahulukan daripada mengambil maslahat.

Isi Kandungan Kosakata

1. Halū‘an هَلُوْعًا (al-Ma‘ārij/70: 19)

Halū‘ berasal dari kata hala‘a-yahla‘u-hal‘an wa hala‘an yang memiliki arti cepat gelisah, keluh kesah, atau berkeinginan meluap-luap semacam sifat rakus. Kata ini hanya terulang sekali dalam Al-Qur’an yaitu dalam ayat ini.

Pada ayat ini, Allah menjelaskan tentang salah satu karakter yang dimiliki manusia, yaitu diciptakan bersifat halū‘ yaitu senantiasa gelisah, cemas, dan rakus. Kegelisahan ini dijelaskan selanjutnya oleh Allah bahwa manusia ketika disentuh oleh kesusahan, maka ia akan berkeluh kesah, dan sebaliknya jika ia mendapat kebaikan, maka ia akan kikir. Sifat halū‘ ini sebenarnya tidaklah negatif, karena pada dasarnya sesuatu yang tidak didasarkan pada keinginan yang kuat, tentulah tidak akan bisa tercapai. Sifat tersebut yang merupakan naluri manusia adalah cara untuk meraih kebahagiaan dan kesempurnaan wujudnya. Akan tetapi, naluri ini ketika disentuh oleh keburukan dan tidak bisa menyeimbangkannya maka manusia tersebut akan celaka. Begitu juga ketika kebaikan datang padanya dan tidak bisa menyeimbangkannya, maka ia pun akan celaka. Jadi sifat tersebut tercela akibat ulah manusia yang menggunakan nikmat dan cobaan Allah dengan jalan yang tidak sesuai dengan jalan-Nya.

2. Jazū‘an جَزُوْعًا (al-Ma‘ārij/70: 20)

Kata jazū‘ berasal dari kata al-jaz‘, terambil dari kata jazi‘a-yajza‘u-jaza‘an , yang berarti kesedihan yang mendalam. Kata ini merupakan bagian dari kata al-huzn (kesedihan), al-huzn lebih umum sedangkan al-jaz‘ menunjukkan arti sangat (mubālagah). Al-Jaz‘ adalah kesedihan yang bisa memutuskan harapan seseorang dan bisa menimbulkan sifat berkeluh kesah. Asal maknanya adalah memutuskan tali dari tengah-tengahnya. Jaz‘u al-wādi diartikan dengan sungai yang terputus. Al-Jaz‘ juga digunakan untuk kharaj yang berubah warna, seakan-akan warna aslinya terputus. Lahm mujazza‘ diistilahkan untuk daging yang memiliki dua warna. Al-Jāzi‘ sebutan untuk tiang penyangga yang berada di tengah rumah, dinamakan demikian seakan-akan kayu tersebut terpotong. Dari makna-makna ini bisa disimpulkan bahwa kata al-jaz‘ berkisar pada arti keterputusan baik bersifat fisik atau non fisik.

Dalam konteks ayat ini, seperti yang dijelaskan di atas bahwa sifat manusia ketika dia mendapatkan kesusahan atau keburukan maka dia akan berkeluh kesah, merasa sedih dan berputus asa. Ia beranggapan bahwa apa yang dia lakukan, tidak memiliki arti sama sekali tatkala harapannya tidak tercapai. Berkeluh kesah ketika disentuh oleh keburukan akan berakibat pada ketidakseimbangan sifat manusia, dan yang muncul adalah perasaan-perasaan minor dan sikap apatis terhadap sesuatu.

3. Manū‘an مَنُوْعًا (al-Ma‘ārij/70 : 21)

Kata manū‘ berasal dari kata mana‘a-yamna‘u-man‘an yang berarti melarang, antonim dari kata ‘aṭiyyah (pemberian). Rajul māni‘ atau rajul mannā‘ berarti seseorang yang sangat kikir. Māni‘ adalah sesuatu yang terlarang, makān māni‘ (tempat terlarang). Fulan żū manā‘ah berarti seseorang yang memiliki kekuatan untuk bisa melarang). Imraat māni‘ah berarti perempuan yang bisa menjaga dirinya (afifah) dari perbuatan terlarang. Dari sini juga lahir makna mencegah, menampik, dan menghalangi. Sesuatu yang sangat kukuh dan tidak dapat dimasuki disifati dengan māni‘. Dalam Al-Qur’an, kata ini dengan berbagai bentuk turunannya terulang sebanyak 17 kali. Semuanya cenderung negatif, seperti menghalang-halangi mengingat Allah di masjid (al-Baqarah/2: 114), menghalangi orang lain untuk beriman (al-Isrā’/17: 94), enggan melakukan sujud (al-A‘rāf/7: 12), membela orang-orang kafir, tidak mau mengikuti seruan para nabi dan lain-lain. Ada satu kata yang dikemukakan dalam bentuk positif (al-Wāqi‘ah/56: 33), tetapi ini pun diungkapkan dalam bentuk negatif.

Dalam konteks ayat ini, Allah menjelaskan sisi negatif dari manusia yaitu jika ia mendapatkan kebaikan, maka ia akan bersikap kikir (manū‘). Dan memang itulah sifat manusia, jika mendapat kenikmatan atau rezeki, dia akan lupa bersedekah untuk orang lain. Atau ketika kenikmatan didapat, dia lupa bahwa kenikmatan itu datangnya dari Allah sehingga penggunaannya pun tidak sesuai dengan apa yang telah diperintahkan-Nya. Atau dia merasa bahwa segala kenikmatan yang didapat adalah hasil dari upayanya sendiri sehingga ia pun menjadi kikir.