تَعْرُجُ الْمَلٰۤىِٕكَةُ وَالرُّوْحُ اِلَيْهِ فِيْ يَوْمٍ كَانَ مِقْدَارُهٗ خَمْسِيْنَ اَلْفَ سَنَةٍۚ
Ta‘rujul-malā'ikatu war-rūḥu ilaihi fī yaumin kāna miqdāruhū khamsīna alfa sanah(tin).
Para malaikat dan Rūḥ (Jibril) naik (menghadap) kepada-Nya dalam sehari yang kadarnya lima puluh ribu tahun.722)
Para malaikat dan Jibril naik menghadap kepada Tuhan, dalam sehari yang kadarnya setara dengan lima puluh ribu tahun dari tahun-tahun di dunia, hal ini menunjukkan betapa dahsyatnya azab yang akan dialami oleh kaum kafir, karena terasa amat panjang.
Malaikat-malaikat dan Jibril menghadap Allah memakan waktu yang sangat singkat dan jika dilakukan manusia akan memakan waktu lima puluh ribu tahun. Angka 50.000 tahun yang disebutkan dalam ayat ini bukanlah bilangan yang sebenarnya, tetapi untuk menerangkan bahwa Arasy Allah itu sangat jauh dan tinggi, tidak akan dapat dicapai oleh hamba-hamba-Nya yang mana pun. Di sini ada beberapa makhluk Tuhan yang lain yang berbeda-beda tingkat dan kemampuannya.
Dalam firman Allah yang lain, diterangkan bahwa Dia mengatur urusan dari langit ke bumi dalam suatu saat yang kadarnya sama dengan seribu tahun menurut perhitungan manusia:
يُدَبِّرُ الْاَمْرَ مِنَ السَّمَاۤءِ اِلَى الْاَرْضِ ثُمَّ يَعْرُجُ اِلَيْهِ فِيْ يَوْمٍ كَانَ مِقْدَارُهٗٓ اَلْفَ سَنَةٍ مِّمَّا تَعُدُّوْنَ ٥
Dia mengatur segala urusan dari langit ke bumi, kemudian (urusan) itu naik kepada-Nya dalam satu hari yang kadarnya (lamanya) adalah seribu tahun menurut perhitunganmu. (as-Sajdah/32: 5)
Sebenarnya persoalan berapa lama umur dunia ini, dan berapa lama waktu yang diperlukan malaikat naik kepada Allah kemudian turun kembali ke dunia ini melaksanakan perintah-perintah-Nya, termasuk perkara gaib. Hanya Allah yang mengetahuinya dengan pasti. Bagi kita sebagai hamba Allah, cukup percaya bahwa ada azab Allah yang akan ditimpakan kepada yang mereka yang mengingkari hari Kiamat.
Dalam Surah aż-Żāriyāt/51: 7, Allah bersumpah demi langit yang mempunyai jalan-jalan. Jalan-jalan ini secara ilmiah, dapat ditafsirkan sebagai wormhole, yakni jalan pintas yang menghubungkan satu tempat dengan tempat lain di jagad raya ini. Kemudian Allah menegaskan dalam Surah al-Ma‘ārij/70: 4 bahwa Ia memiliki ma‘ārij, di mana malaikat-malaikat dan Jibril naik (menghadap) kepada Tuhan dalam sehari yang kadarnya lima puluh ribu tahun.
Seperti telah dijelaskan dalam penafsiran Surah aż-Żāriyāt/51: 7 bahwa dalam teori fisika relativitas umum, dikenal mengenai mekanisme pemendekan jarak yang sangat jauh menjadi hanya beberapa meter saja yang saat ini oleh para ilmuwan disebut sebagai wormhole (lubang cacing). Jalan-jalan itu boleh jadi adalah ma‘ārij, di mana Allah memperinci lebih jauh bahwa para malaikat dan Jibril naik menghadap Allah melalui jalan tersebut dan digambarkan bahwa mereka naik dalam sehari yang kadarnya lima puluh ribu tahun.
Meski belum satu pun para ahli fisika menggunakannya, dalam wormhole kita bergerak tanpa membutuhkan energi. Begitu kita masuk ke dalamnya, medan gaya berat menarik kita dan tahu-tahu kita telah terlempar ke suatu tempat yang lain. Dalam wormhole, arloji kita bergerak lebih lambat dan tongkat yang kebetulan kita bawa juga memendek. Namun, begitu keluar semua kembali seperti sediakala termasuk jam dan tongkat yang kita bawa. Siapa saja melewati ma‘ārij ini akan mengalami pemanjangan (dilation) waktu yakni sehari yang kadarnya lima puluh ribu tahun di bumi. Hal ini bukan berarti berapa lama kita melalui ma‘ārij, tetapi jika kita melalui jalan ini kita akan menjadi lebih tua dengan perbandingan tersebut.
Perjalanan Rasulullah dalam peristiwa Isrā’ Mi‘rāj, boleh jadi melewati mekanisme pemendekan jarak sehingga jarak yang demikian jauhnya ditempuh Rasulullah hanya dalam bilangan jam. Ketika Rasulullah menceritakan peristiwa yang dialaminya, orang-orang kafir jelas tidak mempercayainya. Padahal itu adalah tanda-tanda kebesaran Allah. Menarik disimak dalam Surah al-Ḥijr/15: 13-15:
لَا يُؤْمِنُوْنَ بِهٖ وَقَدْ خَلَتْ سُنَّةُ الْاَوَّلِيْنَ ١٣ وَلَوْ فَتَحْنَا عَلَيْهِمْ بَابًا مِّنَ السَّمَاۤءِ فَظَلُّوْا فِيْهِ يَعْرُجُوْنَۙ ١٤ لَقَالُوْٓا اِنَّمَا سُكِّرَتْ اَبْصَارُنَا بَلْ نَحْنُ قَوْمٌ مَّسْحُوْرُوْن َ ࣖ ١٥
Mereka tidak beriman kepadanya (Al-Qur’an) padahal telah berlalu sunatullah terhadap orang-orang terdahulu. Dan kalau Kami bukakan kepada mereka salah satu pintu langit, lalu mereka terus menerus naik ke atasnya, tentulah mereka berkata, “Sesungguhnya pandangan kamilah yang dikaburkan, bahkan kami adalah orang yang terkena sihir.” (al-Ḥijr/15: 13-15)
Dengan demikian, Allah menyatakan bahwa bagi mereka yang tidak beriman, sampai seandainya pintu langit dibuka dan mereka melaluinya, mereka akan tetap berdalih bahwa itu sebuah ilusi.
Subḥānallāh, Allah memberikan gambaran bagaimana mengatur makhluk-Nya. Para malaikat lalu lalang dari satu tempat ke tempat dengan menggunakan jalan khusus yang disebut ma‘ārij, dan Rasulullah, Sang Kekasih Allah, mendapat kesempatan melalui ma‘ārij-jalan istimewa- tersebut pada suatu malam yang sangat mengguncangkan, yakni Isrā’ Mi‘rāj.
1. Al-Ma‘ārij الْمَعَارِجُ (al-Ma‘ārij/70: 3)
Al-Ma‘ārij adalah bentuk jamak (plural) dari kata mi‘raj yang berasal dari kata ‘araja-ya‘ruju yang berarti naik ke atas. Dengan demikian, mi‘raj adalah alat yang digunakan untuk naik. Mi‘raj adalah peristiwa naiknya Nabi Muhammad dari Masjidil Aqsa ke Sidratul Muntaha. ‘Araja juga diartikan dengan bertempat tinggal sehingga aṭ-Ṭabāṭabā‘ī dalam tafsirnya al-Mīzān memahami al-ma‘ārij dengan maqam (derajat/tempat) para malaikat. Dalam Al-Qur’an, kata ini dengan berbagai bentuk derivasinya terulang sebanyak 9 kali. Kesemuanya digunakan dalam arti naik, sinonim dengan lafal ṣu‘ūd dan antonim dari inzāl (turun), kecuali dalam an-Nūr/24: 61 dan al-Fatḥ/48: 17. Dalam kedua surat tersebut diungkapkan dengan kata al-a‘raj dalam arti orang yang pincang. Dinamakan demikian karena al-a‘raj cara berjalannya seperti seseorang sedang naik atau mendaki.
Dalam konteks ayat ini, Allah menjelaskan bahwa Dia adalah Pemilik tempat-tempat naik (al-ma‘ārij), yaitu pemilik semua langit yang merupakan sumber kekuatan dan keputusan. Pelakunya adalah para malaikat dan rūḥ untuk menggambarkan betapa sulit dan jauh tempat itu, serta betapa agung Allah. Dari tempat tersebut, malaikat-malaikat dan rūḥ naik kepada-Nya dalam sehari yang kadarnya lima puluh ribu tahun dalam hitungan manusia. Para ulama mengartikan kata rūḥ di sini dengan Malaikat Jibril atau jiwa seorang mukmin yang dengan amal salehnya, ia naik kepada-Nya yakni ke tempat turunnya perintah Allah, atau ketinggian yang mampu dicapai makhluk masing-masing sesuai dengan maqam mereka di sisi Allah.
2. Laẓā لَظَى (al-Ma‘ārij/70: 15)
Laẓā terambil dari kata laẓiya-yalẓā-laẓan, yang berarti api murni yang bergejolak. Sifat api ini sangat panas dan bisa membakar apa yang ada atau membakar dirinya sendiri jika tidak ada sesuatu yang dibakar. Laẓa menjadi sebuah nama untuk neraka Jahanam, karena sifat apinya yang bergejolak dan sangat panas. Kata laẓā terulang hanya dua kali yaitu dalam ayat ini dan Surah al-Lail/92: 14 (faanżartukum nāran talaẓẓā).
Pada ayat ini, Allah menjelaskan tentang siksa yang akan dialami orang-orang kafir. Pada ayat sebelumnya digambarkan mengenai keadaan hari kiamat. Langit yang kelihatan luas dan kokoh akan terburai pada hari itu seperti luluhan perak. Gunung-gunung yang menancap kuat dan kukuh akan hancur seperti kapas yang beterbangan. Pada saat itu, tidak ada seorang pun yang bisa menjadi penyelamat walaupun teman akrab saat di dunia. Para pendurhaka itu bahkan berharap seandainya anak-anak, teman, istri, dan keturunannya bisa dijadikan sebagai tebusan, tentu akan mereka serahkan asal bisa selamat dari siksaan tersebut. Pada ayat ini, Allah menegaskan bahwa sekali-kali hal tersebut tidak bisa dilakukan, karena pada hari itu tidak ada tawar menawar dan negosiasi. Penyesalan tidak akan ada artinya sama sekali. Bahkan sebaliknya, mereka akan dimasukkan ke dalam neraka yang bergejolak, yang bisa mengelupaskan kulit kepala dan kulit tubuh mereka. Neraka ini disediakan bagi mereka yang membelakangi keimanan dan kebenaran serta yang berpaling dari ajakan Rasul, juga mereka yang mengumpulkan harta dan enggan untuk menafkahkannya.

