وَاَذِنَتْ لِرَبِّهَا وَحُقَّتْۗ
Wa ażinat lirabbihā wa ḥuqqat.
serta patuh kepada Tuhannya, dan sudah semestinya patuh.
Dan apabila bumi patuh kepada Tuhan yang telah menciptakan-nya, dan sudah semestinya bumi itu dan alam semesta tunduk patuh dalam kekuasaan dan genggaman-Nya. Ketika kejadian-kejadian luar biasa ini tiba, manusia akan mengetahui balasan atas semua perbuatannya.
Selanjutnya Allah menerangkan bahwa bila bumi dan gunung-gunung hancur berkeping-keping sehingga menjadi rata dan mengeluarkan apa yang ada di dalam “perut”-nya, maka hal itu adalah karena ketundukannya pada perintah Allah dan kepatuhan melakukan kehendak-Nya.
Dalam ayat-ayat lain, Allah berfirman:
اِذَا زُلْزِلَتِ الْاَرْضُ زِلْزَالَهَاۙ ١ وَاَخْرَجَتِ الْاَرْضُ اَثْقَالَهَاۙ ٢
Apabila bumi diguncangkan dengan guncangan yang dahsyat, dan bumi telah mengeluarkan beban-beban berat (yang dikandung)nya. (az-Zalzalah/99: 1-2)
وَاِذَا الْقُبُوْرُ بُعْثِرَتْۙ ٤
Dan apabila kuburan-kuburan dibongkar. (al-Infiṭār/82: 4)
اَفَلَا يَعْلَمُ اِذَا بُعْثِرَ مَا فِى الْقُبُوْرِۙ ٩
Maka tidakkah dia mengetahui apabila apa yang di dalam kubur dikeluarkan. (al-‘Ādiyāt/100: 9)
Untuk tafsir pada kalimat “langit terbelah” di atas, dapat dilihat kembali pada telaah ilmiah Surah al-Insyiqāq/84:1-5, lihat pula telaah ilmiah Surah al-Ḥāqqah/69:16 dan Surah al-Infiṭār/82:1. Kemudian, kalimat yang mengikutinya: “…dan patuh kepada Tuhannya, dan sudah semestinya langit itu patuh”, mengandung pengertian bahwa kejadian itu berlangsung menurut sunatullah, yaitu menurut hukum-hukum Allah yang ada di alam semesta ini. Pengertian “bumi diratakan, dan memuntahkan apa yang ada di dalamnya dan menjadi kosong” adalah bahwa bumi benar-benar luluh lantak, baik terjadinya benturan dengan planet atau benda langit lainnya, karena hilang atau kacaunya gaya gravitasi. Luluh lantaknya bumi inilah yang juga menyebabkan seluruh isi bumi dimuntahkan dan menjadikan isi bumi kosong. Kemudian, kalimat yang mengikutinya: “…dan patuh kepada Tuhannya, dan sudah semestinya bumi itu patuh”, mengandung pengertian bahwa kejadian itu berlangsung menurut sunatullah, yaitu menurut hukum-hukum Allah yang ada di alam semesta ini.
1. Ḥuqqat حُقَّتْ (al-Insyiqāq/84: 2)
Kata ḥuqqat adalah fi‘il māḍī (kata kerja lampau) dengan mabnī majhūl, dari ḥaqqa-yaḥiqqu-ḥaqqan. Kata ḥaqqa di-mu’annaṡ-kan (difemininkan) menjadi ḥaqqat. Ḥaqqat mabnī majhūl-nya ḥuqqat. Kata al-ḥaqq artinya berhak atau pantas. Dengan demikian, kata ḥuqqat dalam ayat ini, langit diberi hak atau langit itu dibuat pantas untuk patuh dan taat kepada perintah Tuhannya. Menurut penafsiran Ibnu al-Jauzī, ḥuqqat maksudnya memang berhaklah langit untuk mematuhi perintah Tuhannya yang telah menciptakannya. Artinya, memang menjadi kodrat langitlah untuk taat dan berserah diri sepenuhnya kepada perintah Tuhan, yang menciptakan dan mengendalikannya.
2. Kadḥ an كَدْحًا (al-Insyiqāq/84: 6)
Kadḥ adalah isim maṣdar dari kadiḥa-yakdaḥu-kadḥan. Isim fā‘il-nya kādiḥ. Kadḥ pada mulanya berarti “usaha sungguh-sungguh hingga letih dalam melakukan kegiatan”. Menurut az-Zajjāj, secara bahasa, al-kadḥ sama maksudnya dengan as-sa‘yu (berusaha). Manusia dalam bekerja pada dasarnya berusaha dengan sungguh-sungguh, dengan melihat masa yang akan datang baik pendek maupun panjang. Demikian yang dilakukannya hingga berakhir umurnya dengan kematian dan perjumpaan dengan Allah. Atas dasar itulah sehingga ayat ini menyatakan bahwa usaha manusia berlanjut hingga akhirnya ia pasti berjumpa dengan Allah, dan bahwa perjalanan menuju Allah adalah sesuatu yang pasti dan tak dapat dihindari.
3. Ṡubūran ثُبُوْرًا (al-Insyiqāq/84: 11)
Ṡubūr adalah isim maṣdar yang kedudukannya sebagai ḥāl (menerangkan keadaan). Menurut az-Zajjāj, kata ṡubūr dalam penuturan orang Arab sering disamakan dengan ungkapan yā wailah yā ṡubūrah (aduh celaka, aduh celaka), dan hal itu sering dikatakan oleh setiap orang yang jatuh dalam kebinasaan. Setiap orang yang nasibnya buruk di akhirat dan menerima catatannya dari belakangnya, nanti akan berseru (berteriak), ṡabartu ṡubūran, ”celakalah aku”.
4. Yaḥūra يَحُوْرَ (al-Insyiqāq/84: 14)
Kata yaḥūr adalah fi‘il muḍāri‘ (kata kerja berkelanjutan), dari ḥāra-yaḥūru-hūran. Ahli bahasa Arab berkata bahwa kata al-ḥūr secara bahasa artinya kembali (ar-rujū‘). Lan yaḥūra maksudnya tidak lain adalah lan yarji‘a. Ayat ini maksudnya “dia menduga bahwa dia sekali-kali tidak akan kembali ke akhirat dan tidak pula dibangkitkan. Itu merupakan pandangan orang kafir. Kata yaḥūru maknanya kembali hidup setelah kematian. Yang dimaksud adalah bahwa yang bersangkutan (orang kafir) mengingkari hari kebangkitan. Bagi orang kafir, hidup dan kehidupan hanyalah di dunia, setelah itu semua makhluk hidup akan mati dan habis ditelan masa. Tidak ada yang namanya “kembali”.

