لَمْ يَلِدْ وَلَمْ يُوْلَدْۙ
Lam yalid wa lam yūlad.
Dia tidak beranak dan tidak pula diperanakkan
Dia tidak beranak; tidak ada yang sejenis dengan Allah sehingga bisa menikah dengan-Nya dan melahirkan anak; dan Dia tidak pula diperanakkan karena Dia kekal dan tidak bermula. Sesatlah orang Yahudi yang meyakini ‘Uzair sebagai putra Allah, orang Nasrani yang meyakini Nabi Isa sebagai putra Allah, dan orang musyrik Arab yang meyakini malaikat sebagai putri Allah.
Allah lalu menegaskan bahwa Mahasuci Ia dari mempunyai anak. Ayat ini juga menentang dakwaan orang-orang musyrik Arab yang mengatakan bahwa malaikat-malaikat adalah anak perempuan Allah dan dakwaan orang Nasrani bahwa Isa anak laki-laki Allah. Dalam ayat lain, Allah berfirman:
فَاسْتَف ْتِهِمْ اَلِرَبِّكَ الْبَنَاتُ وَلَهُمُ الْبَنُوْنَۚ ١٤٩ اَمْ خَلَقْنَا الْمَلٰۤىِٕكَة َ اِنَاثًا وَّهُمْ شٰهِدُوْنَ ١٥٠ اَلَآ اِنَّهُمْ مِّنْ اِفْكِهِمْ لَيَقُوْلُوْنَ ۙ ١٥١ وَلَدَ اللّٰهُ ۙوَاِنَّهُمْ لَكٰذِبُوْنَۙ ١٥٢
Maka tanyakanlah (Muhammad) kepada mereka (orang-orang kafir Mekah), “Apakah anak-anak perempuan itu untuk Tuhanmu sedangkan untuk mereka anak-anak laki-laki?” Atau apakah Kami menciptakan malaikat-malaikat berupa perempuan sedangkan mereka menyaksikan(nya)? Ingatlah, sesungguhnya di antara kebohongannya mereka benar-benar mengatakan, “Allah mempunyai anak.” Dan sungguh, mereka benar-benar pendusta. (aṣ-Ṣāffāt/37: 149-152)
Allah tidak beranak, dan tidak pula diperanakkan. Dengan demikian, Dia tidak sama dengan makhluk. Dia berada tidak didahului oleh tidak ada. Mahasuci Allah dari apa yang mereka sebutkan.
Ibnu ‘Abbās berkata, “Dia tidak beranak sebagaimana Maryam melahirkan Isa dan tidak pula diperanakkan. Ini adalah bantahan terhadap orang-orang Nasrani yang mengatakan Isa al-Masih adalah anak Allah dan bantahan terhadap orang-orang Yahudi yang mengatakan Uzair adalah anak Allah.
1. Aḥad اَحَد (al-Ikhlāṣ/112: 1)
Kata aḥad terambil dari kata waḥdah, yang artinya kesatuan. Kata aḥad menurut pendapat sebagian ulama berbeda dari wāḥid, yang artinya satu. Kata ini merupakan kata bilangan yang selalu akan diikuti dengan bilangan selanjutnya, yaitu dua, tiga, dan seterusnya. Sedangkan aḥad bukan kata bilangan, yang hanya menunjuk kepada sesuatu yang khusus dan tidak dapat menerima penambahan, baik dalam pikiran maupun dalam kenyataan. Oleh karena itu, makna aḥad yang tepat adalah esa atau tunggal.
Kata ini dapat digunakan sebagai nama atau yang menunjuk sifat. Bila digunakan dalam fungsi yang kedua, yaitu sifat, maka hal itu hanya tepat untuk menyifati Allah saja. Pada ayat ini, kata aḥad digunakan untuk menunjuk pada sifat, yaitu sifat Allah. Hal ini berarti bahwa Allah memiliki sifat tersendiri yang unik dan tidak dimiliki oleh yang lain.
Dalam Al-Qur’an Allah juga disifati dengan term wāḥid (lihat al-Baqarah ayat 163). Ulama berpendapat bahwa sifat ini menunjukkan keesaan Zat-Nya yang disertai dengan keragaman sifat-sifat-Nya, seperti Maha Pengasih, Maha Pemurah, Mahakuat, dan lainnya. Sedang kata aḥad (seperti dalam ayat ini) menunjuk hanya pada keesaan Zat tanpa disertai dengan keragaman sifat.
2. Aṣ-Ṣamad الصَّمَد (al-Ikhlāṣ/112: 2)
Kata aṣ-ṣamad terambil dari kata kerja ṣamada-yaṣmadu, yang artinya menuju. Sedang aṣ-ṣamad sendiri maknanya adalah yang dituju. Ada dua pengertian yang populer dari kata ini yang banyak dimaksudkan oleh para penggunanya, yaitu sesuatu yang tidak memiliki rongga, dan sesuatu yang paling tinggi yang menjadi tumpuan harapan. Para ulama yang cenderung pada makna pertama selanjutnya mengembangkan pengertiannya agar sesuai dengan kebesaran yang ada pada Allah. Mereka mengatakan bahwa hal ini berarti sesuatu itu sedemikian padat sehingga ia tidak membutuhkan sesuatu lain untuk dimasukkan ke dalam dirinya, seperti makanan atau minuman. Sedang yang lebih memilih makna kedua kemudian merujuk pada riwayat yang disandarkan kepada Ibnu ‘Abbās yang mengatakan bahwa sesuatu itu merupakan tokoh yang telah sempurna ketokohannya, mulia dan telah mencapai puncak kemuliaan, yang agung dan telah mencapai puncak keagungan, yang penyantun dan telah mencapai puncak kesantunan, yang mengetahui dan telah sempurna pengetahuannya, yang bijaksana dan tidak ada cacat pada kebijaksanaannya.
Di antara kedua makna ini, yang lebih disepakati oleh mayoritas ulama dan mufasir adalah pengertian yang kedua, yaitu bahwa Allah adalah Zat yang menjadi tujuan harapan semua makhluk, Dia yang didambakan dalam pemenuhan kebutuhan semua makhluk dan penanggulangan semua kesulitan mereka.

