v2.9
Geligi Animasi
Geligi Semua Satu Platform
Ayat 4 - Surat Al-Ikhlāṣ (Ikhlas)
الاخلاص
Ayat 4 / 4 •  Surat 112 / 114 •  Halaman 604 •  Quarter Hizb 60.75 •  Juz 30 •  Manzil 7 • Makkiyah

وَلَمْ يَكُنْ لَّهٗ كُفُوًا اَحَدٌ ࣖ

Wa lam yakul lahū kufuwan aḥad(un).

serta tidak ada sesuatu pun yang setara dengan-Nya.”

Makna Surat Al-Ikhlas Ayat 4
Isi Kandungan oleh Tafsir Wajiz

Dan tidak ada sesuatu yang setara dengan Dia, baik dari segi zat, sifat, maupun tidakan-Nya.

Isi Kandungan oleh Tafsir Tahlili

Dalam ayat ini, Allah menjelaskan lagi bahwa tidak ada yang setara dan sebanding dengan Dia dalam zat, sifat, dan perbuatan-Nya. Ini adalah tantangan terhadap orang-orang yang beritikad bahwa ada yang setara dan menyerupai Allah dalam perbuatannya, sebagaimana pendirian orang-orang musyrik Arab yang menyatakan bahwa malaikat itu adalah sekutu Allah.

Surah ini meliputi dasar yang paling penting dari risalah Nabi Muhammad yaitu menauhidkan dan menyucikan Allah serta meletakkan pedoman umum dalam beramal sambil menerangkan amal perbuatan yang baik dan yang jahat, menyatakan keadaan manusia sesudah mati mulai dari sejak berbangkit sampai dengan menerima balasannya berupa pahala atau dosa. Telah diriwayatkan dalam hadis bahwa surah ini sebanding dengan sepertiga Al-Qur’an, karena barang siapa menyelami artinya dengan bertafakur yang mendalam, akan menjadi jelas baginya bahwa semua penjelasan dan keterangan yang terdapat dalam Islam tentang tauhid dan kesucian Allah dari segala macam kekurangan merupakan perincian dari isi surah ini.

Dalam sebuah hadis disebutkan:

عَنْ عَائِشَةَ أَنَّ رَسُوْلَ اللّٰهِ صَلَّى اللّٰهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ بَعَثَ رَجُلًا عَلَى سَرِيَّةٍ وَكَانَ يَقْرَأُ لِأَصْحَابِهِ فِيْ صَلاَتِهِمْ فَيَخْتِمُ بِـ ﴿قُلْ هُوَ اللّٰهُ اَحَدٌ﴾ فَلَمَّا رَجَعُوْا ذُكِرَ ذٰلِكَ لِرَسُوْلِ اللّٰهِ صَلَّى اللّٰهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فَقَالَ سَلُوْهُ لِأَيِّ شَيْءٍ يَصْنَعُ ذٰلِكَ فَسَأَلُوْهُ فَقَالَ لِأَنَّهَا صِفَةُ الرَّحْمٰنِ فَأَنَا أُحِبُّ أَنْ أَقْرَأَ بِهَا فَقَالَ رَسُوْلُ اللّٰهِ صَلَّى اللّٰهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ أَخْبِرُوْهُ أَنَّ اللّٰهَ يُحِبُّهُ. (رواه مسلم)

Dari ‘Aisyah, bahwasanya Rasulullah saw. pernah mengutus seorang laki-laki dalam suatu peperangan. Ketika salat bersama sahabat-sahabatnya, laki-laki itu membaca surah dan mengakhirinya dengan “Qul Huwallahu Aḥad.” Pada saat mereka kembali, hal itu disampaikan kepada Rasulullah saw. Rasul berkata, “Tanyakan kepadanya apa maksud dari perbuatannya itu.” Mereka pun menanyakannya. Laki-laki itu menjawab, “Itu adalah sifat Allah Yang Maha Penyayang. Saya suka membacanya.” Rasulullah saw. bersabda, “beritahukanlah dia, bahwa Allah mencintainya.” (Riwayat Muslim)

Isi Kandungan Kosakata

1. Aḥad اَحَد (al-Ikhlāṣ/112: 1)

Kata aḥad terambil dari kata waḥdah, yang artinya kesatuan. Kata aḥad menurut pendapat sebagian ulama berbeda dari wāḥid, yang artinya satu. Kata ini merupakan kata bilangan yang selalu akan diikuti dengan bilangan selanjutnya, yaitu dua, tiga, dan seterusnya. Sedangkan aḥad bukan kata bilangan, yang hanya menunjuk kepada sesuatu yang khusus dan tidak dapat menerima penambahan, baik dalam pikiran maupun dalam kenyataan. Oleh karena itu, makna aḥad yang tepat adalah esa atau tunggal.

Kata ini dapat digunakan sebagai nama atau yang menunjuk sifat. Bila digunakan dalam fungsi yang kedua, yaitu sifat, maka hal itu hanya tepat untuk menyifati Allah saja. Pada ayat ini, kata aḥad digunakan untuk menunjuk pada sifat, yaitu sifat Allah. Hal ini berarti bahwa Allah memiliki sifat tersendiri yang unik dan tidak dimiliki oleh yang lain.

Dalam Al-Qur’an Allah juga disifati dengan term wāḥid (lihat al-Baqarah ayat 163). Ulama berpendapat bahwa sifat ini menunjukkan keesaan Zat-Nya yang disertai dengan keragaman sifat-sifat-Nya, seperti Maha Pengasih, Maha Pemurah, Mahakuat, dan lainnya. Sedang kata aḥad (seperti dalam ayat ini) menunjuk hanya pada keesaan Zat tanpa disertai dengan keragaman sifat.

2. Aṣ-Ṣamad الصَّمَد (al-Ikhlāṣ/112: 2)

Kata aṣ-ṣamad terambil dari kata kerja ṣamada-yaṣmadu, yang artinya menuju. Sedang aṣ-ṣamad sendiri maknanya adalah yang dituju. Ada dua pengertian yang populer dari kata ini yang banyak dimaksudkan oleh para penggunanya, yaitu sesuatu yang tidak memiliki rongga, dan sesuatu yang paling tinggi yang menjadi tumpuan harapan. Para ulama yang cenderung pada makna pertama selanjutnya mengembangkan pengertiannya agar sesuai dengan kebesaran yang ada pada Allah. Mereka mengatakan bahwa hal ini berarti sesuatu itu sedemikian padat sehingga ia tidak membutuhkan sesuatu lain untuk dimasukkan ke dalam dirinya, seperti makanan atau minuman. Sedang yang lebih memilih makna kedua kemudian merujuk pada riwayat yang disandarkan kepada Ibnu ‘Abbās yang mengatakan bahwa sesuatu itu merupakan tokoh yang telah sempurna ketokohannya, mulia dan telah mencapai puncak kemuliaan, yang agung dan telah mencapai puncak keagungan, yang penyantun dan telah mencapai puncak kesantunan, yang mengetahui dan telah sempurna pengetahuannya, yang bijaksana dan tidak ada cacat pada kebijaksanaannya.

Di antara kedua makna ini, yang lebih disepakati oleh mayoritas ulama dan mufasir adalah pengertian yang kedua, yaitu bahwa Allah adalah Zat yang menjadi tujuan harapan semua makhluk, Dia yang didambakan dalam pemenuhan kebutuhan semua makhluk dan penanggulangan semua kesulitan mereka.