اِذْ قَالَتِ امْرَاَتُ عِمْرٰنَ رَبِّ اِنِّيْ نَذَرْتُ لَكَ مَا فِيْ بَطْنِيْ مُحَرَّرًا فَتَقَبَّلْ مِنِّيْ ۚ اِنَّكَ اَنْتَ السَّمِيْعُ الْعَلِيْمُ
Iż qālatimra'atu ‘imrāna rabbi innī nażartu laka mā fī baṭnī muḥarraran fataqabbal minnī, innaka antas-samī‘ul-‘alīm(u).
(Ingatlah) ketika istri Imran89) berkata, “Wahai Tuhanku, sesungguhnya aku menazarkan kepada-Mu apa yang ada di dalam kandunganku murni untuk-Mu (berkhidmat di Baitulmaqdis). Maka, terimalah (nazar itu) dariku. Sesungguhnya Engkaulah Yang Maha Mendengar lagi Maha Mengetahui.”
Sebelum menjelaskan tentang peristiwa kelahiran Isa yang di luar kewajaran, Allah terlebih dahulu menuturkan siapa sebenarnya Maryam, sekaligus sebagai jawaban terhadap mereka yang memperdebatkan siapa sesungguhnya Isa itu. Ingatlah, ketika istri Imran sedang mengandung, ia berkata, “Tuhanku, sesungguhnya aku bernazar kepadaMu, bahwa apa yang dalam kandunganku, berupa janin, kelak menjadi hamba yang mengabdi kepada-Mu dengan mencurahkan segala kemampuan untuk mengurus rumah-Mu, maka terimalah nazar itu dariku. Sungguh, Engkaulah Yang Maha Mendengar segala perkataan hamba-Mu, termasuk nazarku, Maha Mengetahui segala apa yang diniatkan, termasuk niatku untuk mempersembahkan anakku demi mengabdi kepada-Mu.”
Pada ayat yang lalu diterangkan bahwa antara dua keluarga besar itu yakni keluarga Ibrahim dan keluarga Imran yang satu sama lain jalin-menjalin, maka pada ayat ini diterangkan mengenai kisah salah seorang keturunan mereka yang terkemuka, yakni istri Imran yang sedang hamil. Ia menazarkan anak yang masih dalam kandungannya untuk dijadikan pelayan yang selalu berkhidmat dan beribadah di Baitulmakdis. Dia tidak akan membebani sesuatu pada anaknya nanti, karena anak itu semata-mata telah diikhlaskan untuk mengabdi di sana.
Pada akhir ayat 34 telah dijelaskan bahwa Allah mendengar apa yang diucapkan oleh istri Imran, mengetahui niat yang suci, dan mendengar pujiannya kepada Allah ketika ia bermunajat. Hal-hal inilah yang menyebabkan doanya terkabul, dan harapannya terpenuhi sebagai karunia dan kebaikan dari Allah.
Di dalam beberapa ayat ini dua kali disebut nama Imran. Yang pertama dalam ayat 33, yaitu Imran ayah Nabi Musa a.s.; sedang yang kedua adalah pada ayat 35, yaitu Imran ayah Maryam. Rentang waktu antara kedua orang itu sangat panjang. Ayat ini menunjukkan bahwa ibu boleh menazarkan anaknya, dan boleh mengambil manfaat dengan anaknya itu untuk dirinya sendiri. Pada ayat ini terdapat pula pelajaran, yaitu hendaknya kita berdoa kepada Allah agar anak kita menjadi orang yang rajin beribadah dan berguna bagi agamanya, seperti doa Nabi Zakaria yang dikisahkan dalam Al-Qur′an.
Setelah istri Imran melahirkan, dan ternyata yang lahir itu anak perempuan padahal yang diharapkan anak laki-laki, tampaklah diwajahnya kesedihan dan putuslah harapannya untuk melaksanakan nazarnya, dia berkata, “Ya Tuhanku, aku melahirkan anak perempuan.” Seolah-olah dia memohon ampun kepada Tuhan, bahwa anak perempuan itu tidak patut memenuhi nazarnya yaitu berkhidmat di Baitulmakdis. Tetapi Allah lebih mengetahui martabat bayi perempuan yang dilahirkan itu, bahkan dia jauh lebih baik dari bayi laki-laki yang dimohonkannya.
Āla ‘Imrān (Ālu ‘Imrān) adalah keluarga Imran. Keluarga Imran dalam ayat ini termasuk ayah Maryam, yang punya silsilah panjang sebagai pemuka-pemuka agama. Imran sendiri, ayah Maryam, dikenal sebagai orang besar yang saleh di kalangan pemuka agama Bani Israil. Istrinya bernazar kepada Tuhan bahwa bayi yang dalam kandungannya akan dibiarkan mengabdi kepada Tuhan dengan harapan akan mendapat anak laki-laki. Tetapi yang lahir ternyata anak perempuan Maryam (Āli ‘Imrān/3: 34-36), yang dalam syariat Musa tidak dapat diabdikan untuk pelayan rumah suci. Diduga Imran meninggal ketika putrinya belum lahir, sehingga harus dipelihara oleh orang lain dengan cara diundi, Maryam kemudian dipelihara oleh Zakaria, ayah Yahya Pembaptis. Mereka semua termasuk keluarga Imran. Imran sendiri adalah anak Masan, kakek Nabi Isa dari pihak ibu, tapi tidak kita temukan silsilahnya yang berurutan, selain disebutkan bahwa ujungnya sampai kepada Nabi Sulaiman dan bermuara pada Nabi Ibrahim melalui Yehuda, Yaqub anak Ishak.
Adapun Imran (dalam Bibel Amran) ayah Musa, anak Lewi, juga bermuara pada Nabi Ibrahim melalui Yaqub anak Ishak. Dan “Sebagai keturunan yang satu dengan yang lain....” (Āli ‘Imrān/3:34), maka rasul-rasul Allah sejak Adam sampai Nuh dan Ibrahim, sampai ke rasul terakhir, Muhammad saw, membentuk suatu persaudaraan dari keturunan Israil dan Ismail melalui Ibrahim, masing-masing dari Ishak dan dari Ismail. Jarak waktu antara kedua Imran itu 1800 tahun.
Walaupun kita tidak banyak menemukan data mengenai Maria dan ayahnya dalam Perjanjian Baru, di dalam Al-Qur′an Maryam disebutkan: “… para malaikat berkata: ‘Wahai Maryam! Sesungguhnya Allah telah memilihmu, menyucikanmu dan melebihkanmu di atas segala perempuan di seluruh alam (pada masa itu)…” (Āli ‘Imrān/3:42).

