الَّذِيْ لَهٗ مُلْكُ السَّمٰوٰتِ وَالْاَرْضِ ۗوَاللّٰهُ عَلٰى كُلِّ شَيْءٍ شَهِيْدٌ ۗ
Allażī lahū mulkus-samāwāti wal-arḍ(i), wallāhu ‘alā kulli syai'in syahīd(un).
yang memiliki kerajaan langit dan bumi. Allah Maha Menyaksikan segala sesuatu.
Dialah Tuhan yang memiliki kerajaan langit dan bumi; dan Allah Maha Menyaksikan segala sesuatu yang terjadi di alam semesta karena semua itu masuk dalam wilayah kekuasaan-Nya. Allah menyaksikan perbuatan orang mukmin dan kafir untuk memberi mereka balasan yang sesuai.
Pada akhir ayat ini, Allah menerangkan bahwa Ia telah menyaksikan segala sesuatunya dan dengan demikian akan memberikan balasan yang setimpal atas kekejaman yang telah dilakukan oleh orang-orang kafir itu.
1. Al-Burūj الْبُرُوْج (al-Burūj/85: 1)
Kata al-burūj (dengan alif-lām) disebutkan hanya sekali dalam Al-Qur’an (al-Burūj/85: 1). Namun, kata burūj (tanpa alif-lām) disebutkan tidak kurang dari tiga kali, yaitu dalam Surah an-Nisā/4: 78, dalam arti “benteng,” Surah al-Ḥijr/15: 16 yang artinya “gugusan bintang di langit yang Tuhan jadikan indah bagi yang memandangnya,” dan Surah al-Furqān/25: 61 yang juga berarti “gugusan bintang di langit.” Kata al-burūj adalah bentuk jamak dari kata al-burj yang pada mulanya berarti “sesuatu yang tampak”. Kata ini sering digunakan dalam arti “bangunan besar” seperti benteng atau istana yang tinggi sehingga karena besar dan tingginya, bangunan menjadi tampak dengan jelas. Kebanyakan ulama memahami kata al-burūj di sini dalam arti “gugusan bintang di langit”. Yakni bintang yang tampak di langit dalam bentuk yang beragam dan terbagi atas dua belas macam yang masing-masing disebut “rasi”. Bumi dan benda-benda langit lain akan melewati gugusan-gugusan bintang itu setiap kali berputar mengelilingi matahari. Secara berurutan, nama-nama gugusan bintang yang berjumlah 12 buah itu adalah: Aries, Taurus, Gemini, Cancer, Leo, Virgo, Libra, Scorpio, Sagitarius, Capricornus, Aquarius dan Pisces.
2. Al-Ukhdūd الأُخْدُوْد (al-Burūj/85: 4)
Kata al-ukhdūd adalah bentuk tunggal yang artinya “belahan dalam tanah” atau dalam kata lain “parit”. Bentuk jamaknya adalah akhādid. Para pakar berbeda pendapat tentang siapa yang dimaksud dengan aṣḥābul-ukhdūd. Tidak sedikit ulama menyatakan bahwa mereka adalah sekelompok kaum beriman pemeluk agama Nasrani yang hidup di wilayah Najran, suatu lembah di perbatasan antara Saudi Arabia dan Yaman. Peristiwa itu konon terjadi pada tahun 523 M, pada masa kekuasaan Żū Nuwas. Informasi versi lain menyatakan bahwa mereka adalah penduduk Habasyah (Ethiopia). Siapa pun mereka, yang jelas bahwa penguasa pada waktu itu melakukan penyiksaan dalam bentuk melemparkan mereka ke dalam parit yang berkobar, karena mereka enggan murtad dari keimanan mereka.
Penyiksaan dengan pembakaran memang dikenal pada masa lalu. Nabi Ibrahim misalnya juga pernah dilempar ke dalam kobaran api, tetapi diselamatkan Allah (baca Surah al-Anbiyā’/21: 68-69). Nabi Muhammad melarang penyiksaan dengan api.
Ungkapan aṣḥābul-ukhdūd mencakup semua yang terlibat dalam penyiksaan, mulai dari yang memerintahkan pembuatan parit, yang menggali, menyalakan api, menjerumuskan orang mukmin ke dalamnya, serta pihak yang merestui perbuatan itu. Jadi, kalau merujuk cerita tersebut, al-ukhdūd berarti kubangan yang dibuat untuk menyiksa orang-orang beriman pada masa lalu dengan membakar mereka dalam api yang berkobar.

