۞ مَا نَنْسَخْ مِنْ اٰيَةٍ اَوْ نُنْسِهَا نَأْتِ بِخَيْرٍ مِّنْهَآ اَوْ مِثْلِهَا ۗ اَلَمْ تَعْلَمْ اَنَّ اللّٰهَ عَلٰى كُلِّ شَيْءٍ قَدِيْرٌ
Mā nansakh min āyatin au nunsihā na'ti bi khairim minhā au miṡlihā, alam ta‘lam annallāha ‘alā kulli syai'in qadīr(un).
Ayat yang Kami nasakh (batalkan) atau Kami jadikan (manusia) lupa padanya, pasti Kami ganti dengan yang lebih baik atau yang sebanding dengannya. Apakah engkau tidak mengetahui bahwa Allah Maha Kuasa atas segala sesuatu?
Kaum musyrik berkata, “Tidakkah kalian perhatikan Muhammad? Ia menyuruh para sahabatnya melakukan sesuatu, kemudian ia menyuruh mereka melakukan sebaliknya. Hari ini ia mengatakan satu hal, besok ia mengatakan hal yang berbeda. Al-Qur'an itu pastilah karangan Muhammad. Ia mengatakan sesua tu yang bersumber dari dirinya sendiri, yang satu sama lain saling bertentangan.” Menjawab celaan mereka ini, Allah mengatakan bahwa ayat yang Kami batalkan atau Kami hilangkan dari ingatan-mu, wahai Muhammad dan orang beriman, pasti Kami ganti dengan yang lebih baik, lebih bermanfaat bagimu dengan mengangkat kesulitan darimu atau dengan menambahkan pahala bagimu, atau yang sebanding dengannya. Tidakkah kamu tahu, wahai Muhammad, bahwa Allah Mahakuasa atas segala sesuatu dengan mendatang kan segala kebaikan dan kebajikan bagi manusia?
Dijelaskan bahwa ayat mana pun yang dinasakh[12] hukumnya, atau diganti dengan ayat yang lain, atau ayat yang ditinggalkan, akan diganti-Nya dengan ayat yang lebih baik dan lebih sesuai dengan kemaslahatan hamba-hamba-Nya, atau diganti-Nya dengan ayat yang sama nilainya dengan hukum yang lalu.
Adapun hikmah diadakannya pergantian atau perubahan ayat ialah karena nilai kemanfaatannya berbeda-beda menurut waktu dan tempat, kemudian dihapuskan, atau diganti dengan hukum yang lebih baik, atau dengan ayat yang sama nilainya, adalah karena ayat yang diubah atau diganti itu tidak sesuai lagi dengan kepentingan masyarakat, sehingga apabila diadakan perubahan atau pergantian termasuk suatu tindakan yang bijaksana.
Bagi yang berpendapat bahwa ayat ini ialah tanda kenabian (mukjizat) yang dijadikan penguat kenabian, maka ayat ini diartikan bahwa Allah tidak akan menghapuskan tanda kenabian yang digunakan untuk penguat kenabiannya, atau tidak akan mengubah tanda kenabian yang terdahulu dengan tanda kenabian yang datang kemudian, atau meninggalkan tanda-tanda kenabian itu, karena telah berselang beberapa abad lamanya. Terkecuali Allah yang mempunyai kekuasaan tidak terbatas memberikan tanda kenabian yang lebih baik, ditinjau dari segi kemantapannya maupun dari tetapnya kenabian itu. Karena kekuasaan-Nya yang tidak terbatas, maka hak untuk memberikan tanda kenabian kepada para nabi-Nya tidak dapat dihalang-halangi.
Pengganti an ayat adakalanya terjadi dengan ayat yang lebih ringan hukumnya, seperti dihapusnya idah wanita yang ditinggal mati suaminya dari setahun menjadi 4 bulan 10 hari, atau dengan ayat yang sama hukumnya seperti perintah untuk menghadapkan muka ke Baitulmakdis pada waktu melaksanakan salat diubah menjadi menghadapkan muka ke Ka‘bah. Atau dengan hukum yang lebih berat, seperti perang yang tadinya tidak diwajibkan pada orang Islam, menjadi diwajibkan.
Ayat ini tidak hanya ditujukan kepada Nabi Muhammad saw tetapi juga ditujukan kepada kaum Muslimin, yang merasa sakit hatinya mendengar cemoohan orang-orang Yahudi kepada Nabi Muhammad saw. Orang-orang yang tipis imannya tentu mudah dipengaruhi, sehingga hatinya mudah menjadi ragu-ragu. Itulah sebabnya, Allah menegaskan bahwa Dia Mahakuasa atas segala sesuatu, dan apabila berkehendak untuk menasakh hukum tidak dapat dicegah, karena masalah hukum itu termasuk dalam kekuasaan-Nya.
Nansakh نَنْسَخْ (al-Baqarah/2: 106)
Akar kata dari kalimat ini adalah “nasakha” (نسخ) yang berarti “menghapuskan” (al-Ḥajj/22: 52) atau “mengalihkan”, “menyalin” (al-Jāṡiyah/45: 29). Kebanyakan mufasir mengartikan ayat ini dengan “menasakhkan” atau “menghapus” ayat Al-Qur’an yang ada dan mengganti-nya dengan ayat yang lain dalam Al-Qur’an. Al-Qāsimī (1/217) menafsirkan ayat ini dengan “mengganti sebuah ayat dengan ayat lain—seperti penggantian ayat-ayat Taurat dengan ayat-ayat Al-Qur’an”. Uraian tentang hal ini akan dikemukakan kemudian.
Sementara itu ada sebagian ulama tidak mengartikan naskh dengan "menghapus" atau "mengalihkan". Abdullah Yusuf Ali yang menerjemahkan kata āyah di atas dengan revelation, “wahyu”, dan menafsirkannya bahwa pada dasarnya ajaran Allah dari waktu ke waktu selalu sama, tetapi caranya yang mungkin berbeda sesuai dengan keperluan dan keadaan waktu itu, seperti yang diberikan kepada Musa, kepada Isa dan kemudian kepada Muhammad, masing-masing berbeda.
Muhammad Asad menerjemahkannya dengan message, “risālah” (“ajaran suci”) dan menafsirkan bahwa dasarnya adalah ketentuan agama dalam Bibel diganti dengan syariat dalam Al-Qur’an. “Inilah yang menimbulkan kesalahan penafsiran oleh kebanyakan ulama kita”, katanya. Beberapa ulama menyimpulkan bahwa ayat-ayat tertentu dalam Al-Qur’an sudah “dihapus” atas perintah Allah sebelum wahyu itu lengkap. Anggapan ini tidak didukung oleh hadis yang sahih. Ringkasnya, menurut pendapat ini, “paham nasikh-mansukh” itu tak punya dasar dalam kenyataan sejarah, dan harus ditolak. Ayat yang artinya risālah (ajaran suci) itu harus dibaca bahwa yang dihapus dan yang diganti itu adalah Bibel. Baik pihak Yahudi maupun Kristen tidak dapat menerima wahyu apa pun yang akan menggantikan Bibel. (Muhammad Asad, hlm. 23/C. 87). Kedua mufasir ini tidak menerjemahkan verse di bagian ini dengan “ayat” melainkan masing-masing dengan revelation, “wahyu” dan dengan message, “pesan”, “ajaran suci”. Meskipun ada perbedaan di antara ulama seputar nasakh, namun ayat ini menjelaskan apa yang Allah nasakh dari ayat-ayat Al-Qur’an akan digantikan dengan ayat-ayat yang lebih baik dan bermanfaat bagi manusia.

