۞ وَاِنْ كُنْتُمْ عَلٰى سَفَرٍ وَّلَمْ تَجِدُوْا كَاتِبًا فَرِهٰنٌ مَّقْبُوْضَةٌ ۗفَاِنْ اَمِنَ بَعْضُكُمْ بَعْضًا فَلْيُؤَدِّ الَّذِى اؤْتُمِنَ اَمَانَتَهٗ وَلْيَتَّقِ اللّٰهَ رَبَّهٗ ۗ وَلَا تَكْتُمُوا الشَّهَادَةَۗ وَمَنْ يَّكْتُمْهَا فَاِنَّهٗٓ اٰثِمٌ قَلْبُهٗ ۗ وَاللّٰهُ بِمَا تَعْمَلُوْنَ عَلِيْمٌ ࣖ
Wa in kuntum ‘alā safariw wa lam tajidū kātiban fa riḥānum maqbūḍah(tun), fa'in amina ba‘ḍukum ba‘ḍan falyu'addil-lażi'tumina amānatahū walyattaqillāha rabbah(ū), wa lā taktumusy syahādah(ta), wa may yaktumhā fa'innahū āṡimun qalbuh(ū), wallāhu bimā ta‘malūna ‘alīm(un).
Jika kamu dalam perjalanan, sedangkan kamu tidak mendapatkan seorang pencatat, hendaklah ada barang jaminan yang dipegang. Akan tetapi, jika sebagian kamu memercayai sebagian yang lain, hendaklah yang dipercayai itu menunaikan amanatnya (utangnya) dan hendaklah dia bertakwa kepada Allah, Tuhannya. Janganlah kamu menyembunyikan kesaksian karena siapa yang menyembunyikannya, sesungguhnya hatinya berdosa. Allah Maha Mengetahui apa yang kamu kerjakan.
Tuntunan pada ayat yang lalu mudah dilaksanakan jika seseorang tidak sedang dalam perjalanan. Jika kamu dalam perjalanan dan melakukan transaksi keuangan tidak secara tunai, sedang kamu tidak mendapatkan seorang penulis yang dapat menulis utang piutang sebagaimana mestinya, maka hendaklah ada barang jaminan yang dipegang oleh yang berpiutang atau meminjamkan. Tetapi menyimpan barang sebagai jaminan atau menggadaikannya tidak harus dilakukan jika sebagian kamu mempercayai sebagian yang lain. Maka hendaklah yang dipercayai itu menunaikan amanatnya, utang atau apa pun yang dia terima, dan hendaklah dia yang menerima amanat tersebut bertakwa kepada Allah, Tuhan Pemelihara-nya. Dan wahai para saksi, janganlah kamu menyembunyikan kesaksian, yakni jangan mengurangi, melebihkan, atau tidak menyampaikan sama sekali, baik yang diketahui oleh pemilik hak maupun yang tidak diketahuinya, karena barang siapa menyembunyikannya, sungguh, hatinya kotor, karena bergelimang dosa. Allah Maha Mengetahui apa yang kamu kerjakan, sekecil apa pun itu, yang nyata maupun yang tersembunyi, yang dilakukan oleh anggota badan maupun hati.
Ayat ini menerangkan tentang muamalah (transaksi) yang dilakukan tidak secara tunai, yang dilakukan dalam perjalanan dan tidak ada juru tulis yang akan menuliskannya.
Dalam hal muamalah yang tidak tunai, yang dilakukan dalam perjalanan dan tidak ada seorang juru tulis yang akan menuliskannya, maka hendaklah ada barang tanggungan (agunan/jaminan) yang diserahkan kepada pihak yang berpiutang. Kecuali jika masing-masing saling mempercayai dan menyerahkan diri kepada Allah, maka muamalah itu boleh dilakukan tanpa menyerahkan barang jaminan.
Ayat ini tidak menetapkan bahwa jaminan itu hanya boleh dilakukan dengan syarat dalam perjalanan, muamalah tidak dengan tunai, dan tidak ada juru tulis. Tetapi ayat ini hanya menyatakan bahwa dalam keadaan tersebut boleh dilakukan muamalah dengan memakai jaminan. Dalam situasi yang lain, boleh juga memakai jaminan sesuai dengan hadis yang diriwayatkan al-Bukhārī bahwa Nabi Muhammad saw pernah menggadaikan baju besinya kepada orang Yahudi di Medinah.
Pada ayat yang lalu Allah memperingatkan bahwa manusia jangan enggan menjadi juru tulis atau memberikan persaksian bila diminta. Kemudian pada ayat ini Allah menegaskan kembali agar jangan menyembunyikan kesaksian. Penegasan yang demikian mengisyaratkan bahwa penulisan dan kesaksian itu menolong manusia dalam menjaga hartanya, dan jangan lengah melakukan keduanya. Demikian pula pemilik harta tidak disusahkan karena meminjamkan hartanya, dan tidak dibayar pada waktunya.
Dengan keterangan di atas bukan berarti bahwa semua perjanjian muamalah wajib ditulis oleh juru tulis dan disaksikan oleh saksi-saksi, tetapi maksudnya agar kaum Muslimin selalu memperhatikan dan meneliti muamalah yang akan dilakukannya. Bila muamalah itu muamalah yang biasa dilakukan setiap hari, seperti jual beli yang dilakukan di pasar dan tidak menimbulkan akibat yang tidak diinginkan di kemudian hari serta dilandasi rasa saling mempercayai, maka muamalah yang demikian tidak perlu ditulis dan disaksikan. Sebaliknya bila muamalah itu diduga akan menimbulkan hal-hal yang tidak diinginkan di kemudian hari, maka muamalah itu wajib ditulis dan disaksikan oleh dua orang saksi.
Dain دَيْن (al-Baqarah/2: 282)
Lafal dain (utang) berasal dari kata dāna-yadīnu yang berarti memberi-kan (meminjamkan) kepada seseorang uang yang harus dikembalikan (dibayarkan kembali) dalam waktu tertentu yang disepakati bersama antara yang meminjamkan dan yang meminjam. Asal kata ad-dain dalam bahasa Arab adalah ganti yang diakhirkan atau ditunda. Dalam ayat ini Allah swt mensyariatkan adanya at-tadāyun (utang piutang) di antara sesama muslim agar tidak ada yang mengatakan bahwa utang piutang itu haram, sebagaimana riba diharamkan, karena utang piutang atau pinjam meminjam itu menjadi sebab beredarnya uang, dimana orang yang hanya bisa meminjamkan uangnya kepada pedagang yang membutuhkan suntikan dana, tanpa pinjaman dia tidak bisa mengembangkan usahanya. Untuk menjamin hak si pemberi pinjaman dan si peminjam, agar keduanya merasa aman maka Allah mensyariatkan supaya utang piutang itu ditulis dan disaksikan oleh dua orang saksi.

