v2.9
Geligi Animasi
Geligi Semua Satu Platform
Ayat 284 - Surat Al-Baqarah (Sapi)
البقرة
Ayat 284 / 286 •  Surat 2 / 114 •  Halaman 49 •  Quarter Hizb 5.75 •  Juz 3 •  Manzil 1 • Madaniyah

لِلّٰهِ مَا فِى السَّمٰوٰتِ وَمَا فِى الْاَرْضِ ۗ وَاِنْ تُبْدُوْا مَا فِيْٓ اَنْفُسِكُمْ اَوْ تُخْفُوْهُ يُحَاسِبْكُمْ بِهِ اللّٰهُ ۗ فَيَغْفِرُ لِمَنْ يَّشَاۤءُ وَيُعَذِّبُ مَنْ يَّشَاۤءُ ۗ وَاللّٰهُ عَلٰى كُلِّ شَيْءٍ قَدِيْرٌ

Lillāhi mā fis-samāwāti wa mā fil-arḍ(i), wa in tubdū mā fī anfusikum au tukhfūhu yuḥāsibkum bihillāh(u), fayagfiru limay yasyā'u wa yu‘ażżibu may yasyā'(u), wallāhu ‘alā kulli syai'in qadīr(un).

Milik Allahlah apa yang ada di langit dan apa yang ada di bumi. Jika kamu menyatakan apa yang ada di dalam hatimu atau kamu menyembunyikannya, niscaya Allah memperhitungkannya bagimu. Dia mengampuni siapa saja yang Dia kehendaki dan mengazab siapa pun yang Dia kehendaki. Allah Maha Kuasa atas segala sesuatu.

Makna Surat Al-Baqarah Ayat 284
Isi Kandungan oleh Tafsir Wajiz

Allah mengetahui itu semua dan akan meminta pertanggungjawaban manusia, sebab kekuasaan-Nya meliputi seluruh jagat raya. Milik Allah-lah apa yang ada di langit dan apa yang ada di bumi, dan Dialah yang mengatur dan mengelola semua itu. Jika kamu nyatakan apa yang ada di dalam hatimu atau kamu sembunyikan, niscaya Allah memperhitungkannya tentang perbuatan itu bagimu, dan akan memberikan balasan yang setimpal. Dia mengampuni siapa yang Dia kehendaki sesuai dengan sikap dan kehendak hamba-Nya, yaitu yang menyesali perbuatannya, bertekad untuk tidak mengulangi dan memohon ampunan, atau Dia akan mengampuni walau tanpa permohonan ampunan dan mengazab siapa yang Dia kehendaki sesuai sikap hamba-Nya yang selalu melakukan dosa dan maksiat. Pilihan berada di tangan manusia. Siapa yang mau diampuni, maka lakukanlah apa yang ditetapkan Allah guna meraih ampun-an-Nya, dan siapa yang hendak berada dalam siksa, maka silakan langgar ketentuan-Nya. Allah Mahakuasa atas segala sesuatu.

Isi Kandungan oleh Tafsir Tahlili

Dari ayat ini dapat diambil pengertian tentang kesempurnaan keesaan Allah dalam hal:

1. Esa dalam kekuasaannya.

2. Esa dalam mengetahui segala yang terjadi di alam ini.

Allah Esa dalam memiliki seluruh makhluk. Allah saja yang menciptakan, menumbuhkan, mengembangkan dan memiliki seluruh alam ini, tidak ada sesuatu pun yang bersekutu dengan Dia.

Allah Esa dalam mengetahui segala sesuatu di alam ini. Allah mengetahui yang besar dan yang kecil, yang tampak dan yang tidak tampak oleh manusia. Segala yang terjadi, yang wujud di alam ini, tidak lepas dari pengetahuan Allah, tidak ada sesuatu pun yang luput dari pengetahuan-Nya.

Allah Esa dalam kekuasaan-Nya. Apa yang terjadi di alam ini adalah atas kehendak Allah, tidak ada sesuatu pun yang dapat mengubah kehendak-Nya. Apabila Dia menghendaki adanya sesuatu, pasti sesuatu itu terwujud. Sebaliknya apabila Dia menghendaki lenyapnya sesuatu, lenyaplah ia. Hanya Dialah yang dapat mengetahui perbuatan hamba-Nya, serta mengampuni atau mengazabnya, dan keputusan yang adil hanya di tangan-Nya saja.

Yang ada di dalam hati manusia itu ada dua macam, Pertama: Sesuatu yang ada di dalam hati, yang datang dengan sendirinya, tergerak tanpa ada yang menggerakkannya, terlintas di dalam hati dengan sendirinya. Gerak yang demikian tidak berdasarkan irādah (kehendak) dan ikhtiyār (pilihan) manusia, hanya timbul saja dalam hatinya. Hal yang seperti ini tidak dihukum dan dihisab Allah swt, kecuali bila diikuti dengan iradah, niat dan ikhtiar.

Kedua: Sesuatu yang ada di dalam hati yang timbul dengan usaha, pikiran, hasil renungan dan sebagainya. Gerak yang seperti ini berubah menjadi cita-cita dan keinginan yang kuat, sehingga timbullah iradah, niat dan ikhtiar untuk melaksanakannya. Gerak hati yang seperti inilah yang dihisab dan dijadikan dasar dalam menentukan balasan pekerjaan manusia.

Oleh sebab itu Allah memerintahkan agar manusia selalu mengawasi, meneliti dan merasakan apa yang ada di dalam hatinya. Bila yang ada dalam hatinya itu sesuai dengan perintah Allah dan tidak berlawanan dengan larangan-larangan-Nya, maka peliharalah dan hidup suburkanlah, sehingga ia bisa mewujudkan amal yang baik. Sebaliknya, bila yang ada di dalam hati itu bertentangan dengan perintah-perintah Allah atau mendorong seseorang mengerjakan larangan-Nya, hapus segera dan enyahkanlah, sehingga ia tidak sampai mewujudkan perbuatan dosa. Hendaklah manusia waspada terhadap kemungkinan adanya niat atau perasaan yang tidak baik di dalam hati, sehingga bisa menyebabkan perbuatan dosa.

Sebagai contoh ialah: rasa dengki, pada mulanya tumbuh karena rasa tidak senang kepada seseorang. Perasaan itu bertambah ketika melihat kesuksesan orang itu, kesuksesan ini menyuburkan rasa tidak senang. Kemudian timbullah marah, dendam, ingin membalas dan sebagainya. Jika demikian perasaannya, sukar untuk menghilangkannya dengan segera. Bahkan dikhawatirkan dapat melahirkan perbuatan dosa. Tetapi bila dipadamkan perasaan itu pada saat ia mulai tumbuh, maka rasa dengki itu tidak akan timbul, dan kalaupun timbul dapat dihilangkan dengan mudah.

Isi Kandungan Kosakata

Yukallifu يُكَلِّفُ (al-Baqarah/2: 286)

Kata yang berasal dari (كلف) ini mempunyai arti kecintaan atau ketergantungan kepada sesuatu. Al-Kalaf adalah warna kotor di wajah karena kepayahan. Al-Kulfah artinya kesukaran, kesulitan. Dari sinilah muncul arti “beban” .

Lā yukallifullāh, artinya Allah tidak membebani. Hal itu terkait dengan taklīf (pembebanan). Pihak yang dibebani disebut mukallaf. Taklif adalah pembebanan suatu kewajiban kepada seseorang, dengan pengertian menghendaki adanya suatu perbuatan yang mengandung kesukaran atau beban. Bentuk kata kerja dari taklīf, kallafa, dengan segala perubahannya, dengan pesan utama bahwa Allah tidak akan membebani seseorang di luar kesanggupannya. Demikian pula dalam penegasan-Nya bahwa Al-Qur’an diturunkan sebagai petunjuk (hudan) bagi manusia, dalam arti petunjuk Al-Qur’an itu pastilah dalam batas-batas kesanggupan manusia untuk melaksanakannya. Tidak ada satu perintah atau satu larangan pun dalam Al-Qur’an, yang pelaksanaannya sedemikian sangat berat, sehingga di luar kesanggupan manusia melaksanakannya. Bahkan hukum ‘azimah (hukum asal) dalam syariat, jika kondisi seseorang tidak memungkinkan untuk melaksanakannya, bisa diganti dengan hukum rukhṣah (keringanan), sebagaimana telah banyak dibahas oleh para ulama, dalam konteks pelaksanaan syariat.