قُلْ اِنْ كَانَتْ لَكُمُ الدَّارُ الْاٰخِرَةُ عِنْدَ اللّٰهِ خَالِصَةً مِّنْ دُوْنِ النَّاسِ فَتَمَنَّوُا الْمَوْتَ اِنْ كُنْتُمْ صٰدِقِيْنَ
Qul in kānat lakumud-dārul-ākhiratu ‘indallāhi khāliṣatam min dūnin-nāsi fatamannawul-mauta in kuntum ṣādiqīn(a).
Katakanlah (Nabi Muhammad), “Jika negeri akhirat di sisi Allah khusus untukmu, bukan untuk orang lain, mintalah kematian jika kamu orang-orang benar.”
Selain kedurhakaan-kedurhakaan itu, mereka juga selalu menganggap diri sebagai bangsa pilihan Tuhan, meyakini tidak akan masuk neraka kecuali sebentar, dan mengklaim surga sebagai tempat yang Allah khususkan bagi mereka. Untuk membuktikan kebenaran ucapan mereka, Katakanlah, wahai Nabi Muhammad, “Jika kenikmatan negeri akhirat di sisi Allah kamu anggap khusus untukmu saja, bukan untuk orang lain, maka mintalah kematian. Itu karena semakin percaya seseorang terhadap indah dan nikmatnya sesuatu, semakin besar pula keinginannya untuk cepat-cepat menemui sesuatu tersebut. Karena keinginan mati dapat menjadi bukti hubungan baik kamu dengan Allah, maka kamu pasti ingin segera mati dan menemuinya. Mintalah kematian jika kamu orang yang benar dalam perkataanmu bahwa kenikmatan akhirat hanya untuk kamu.” Tetapi, mendapat tantangan seperti itu, ternyata tidak seorang pun bersedia cepat mati. Mereka sekali-kali tidak akan mengingin kan kematian itu sama sekali,
Allah memerintahkan kepada Nabi Muhammad saw agar mengatakan kepada orang-orang Yahudi apabila memang benar perkataan dan dugaan mereka bahwa surga itu hanya untuk mereka saja, maka mintalah mati dengan segera. Kenyataan mereka tidak mau menginginkan kematian, tetapi malah sebaliknya, mereka mengejar dan berjuang terus untuk memperoleh kenikmatan dunia. Karena itu ucapan mereka itu tidak benar.
Mīṡāqakum مِيْثَاقَكُمْ (al-Baqarah/2: 93)
Kata mīṡāqakum dapat diartikan “ikrarmu”, “janjimu”, atau “perjanjian yang kamu buat”. Terambil dari kata wiṡaq atau waṡaq yaitu ikatan, atau nama dari sesuatu yang bisa mengikat yang lain. Oleh karena itu, mīṡāq diperuntukkan bagi janji yang dikukuhkan dengan sumpah. Orang Israil pengikut-pengikut Nabi Musa diberi peringatan mengenai ikrar (janji yang sungguh-sungguh dan khidmat) di kaki Gunung Sinai (Ṭūr Sinīn) yang menjulang tinggi di atas kepala sebagai saksi atas ikrar itu. Tetapi tidak lama kemudian perjanjian khidmat itu mereka langgar. Mereka sudah mendengar, tetapi tidak akan menaati. Padahal seharusnya mereka berkata, “Kami dengar, dan kami taat.” (al-Baqarah/2:285).

