لِيَكْفُرُوْا بِمَآ اٰتَيْنٰهُمْۙ وَلِيَتَمَتَّعُوْاۗ فَسَوْفَ يَعْلَمُوْنَ
Liyakfurū bimā ātaināhum wa liyatamatta‘ū, fasaufa ya‘lamūn(a).
Biarkanlah mereka mengingkari nikmat yang telah Kami anugerahkan kepada mereka dan biarkanlah mereka (hidup) bersenang-senang (dalam kekafiran). Kelak mereka akan mengetahui (akibat perbuatannya).
Allah membiarkan mereka bergelimang dalam kenikmatan penuh dosa sebagai istidraj. Biarlah mereka mengingkari nikmat yang telah Kami berikan kepada mereka, seperti selamat dari bencana, sukses setelah kegagalan, sembuh dari sakit, dan silakan mereka hidup bersenang-senang dalam kekafiran dan dosa. Maka, di akhirat kelak mereka akan mengetahui akibat perbuatan mereka dan merasakan penyesalan yang tidak berguna lagi.
Ayat ini menerangkan akibat dari perilaku kaum musyrik memper-sekutukan Allah sesudah mereka diselamatkan dari bencana, dan merupakan ancaman atas kekafiran mereka kepada nikmat-Nya. Pada ayat yang lalu, Allah menerangkan bahwa setelah mereka selamat, tiba-tiba mereka kembali mempersekutukan-Nya, maka timbullah pertanyaan kenapa Ia menyelamatkan mereka dari bahaya tenggelam itu? Kenapa kapal itu beserta semua penumpangnya tidak dibiarkan tenggelam ke dasar laut, sehingga selesailah persoalan mereka?
Jawabannya adalah bahwa wajar kalau Allah Yang Maha Pengasih lagi Maha Penyayang itu memperkenankan doa dari hamba-Nya yang memohon dengan tulus ikhlas. Mereka diselamatkan adalah sebagai ujian bagi keimanan mereka; apakah mereka akan tetap dalam keimanan itu atau akan musyrik kembali.
Ternyata ujian ini tidak membawa hasil. Sesudah diselamatkan Allah, mereka musyrik kembali. Mereka bersikap demikian karena kemusyrikan telah berurat dan berakar dalam jiwa mereka. Hal itu mengakibatkan mereka kafir kepada nikmat Allah yang telah menyelamatkan mereka dari bencana tenggelam dalam laut dan membuat mereka hidup bersenang-senang dalam kekafiran. Oleh karena itu, Allah mengancam mereka dengan mengatakan bahwa kelak mereka akan mengetahui akibat dari perbuatan itu.
Kalimat “maka kelak mereka akan mengetahui (akibat perbuatan mereka)” ini mempunyai nada ancaman kepada orang-orang musyrik, karena tanda-tanda kekuasaan dan keesaan Allah serta nikmat yang telah dilimpahkan kepada mereka, tidak dapat meyakinkan mereka, bahkan menambah keingkaran mereka. Seakan-akan dikatakan kepada mereka, “Apabila mereka lalai dan tidak mengubah tindak tanduk mereka, mereka akan mengetahui dengan yakin bahwa azab yang dijanjikan itu pasti menimpa mereka.” Apabila azab itu telah menimpa mereka, maka semua pintu tobat telah tertutup bagi mereka.
al-Ḥayawān اَلْحَيَوَان (al-Ankabūt/29: 64).
Kata ini terambil dari akar kata ḥa’-ya’-ya’ yang berarti kehidupan, demikian juga kata ḥayāt. Ungkapan kata al-ḥayawān dalam hubungan penegasan Allah bahwa negeri akhirat adalah al-ḥayawān disebutkan hanya sekali dalam Al-Qur’an. Menurut Ibnu al-Jauzī, yang dimaksud al-ḥayawān di sini ialah bahwa al-ḥayāt wāḥid (hidup itu satu). Artinya bahwa negeri akhirat adalah negeri di mana manusia akan tetap hidup, di sana tidak ada kematian dan hidup yang terjadi tidak mengarah ke penuaan. Ini berarti bahwa negeri akhirat merupakan tempat hidup yang sebenarnya, dan di sana tidak ada kematian (lā mauta fīhā). Jadi, akhirat itu merupakan tempat/peluang hidup yang sejati dan sebenarnya, tidak seperti di dunia yang hanya tempat senda gurau dan permainan.

