اَللّٰهُ يَبْسُطُ الرِّزْقَ لِمَنْ يَّشَاۤءُ مِنْ عِبَادِهٖ وَيَقْدِرُ لَهٗ ۗاِنَّ اللّٰهَ بِكُلِّ شَيْءٍ عَلِيْمٌ
Allāhu yabsuṭur-rizqa limay yasyā'u min ‘ibādihī wa yaqdiru lah(ū), innallāha bikulli syai'in ‘alīm(un).
Allah melapangkan rezeki bagi orang yang Dia kehendaki di antara hamba-hamba-Nya dan Dia (pula) yang menyempitkan (rezeki) baginya. Sesungguhnya Allah Maha Mengetahui segala sesuatu.
Allah pula yang melapangkan rezeki, baik material maupun nonmaterial, bagi orang yang Dia kehendaki di antara hamba-hamba-Nya, dan Dia pula yang membatasi baginya semata demi kemaslahatan hamba-Nya itu. Sungguh, Allah Maha Mengetahui segala sesuatu, antara lain, mana bentuk pekerjaan yang memberi maslahat atau tidak, juga rezeki mana yang maslahat dan yang tidak maslahat.
Pada ayat ini, Allah menyatakan bahwa Dialah yang melapangkan rezeki bagi siapa yang dikehendaki-Nya dan menyempitkan rezeki bagi siapa yang dikehendaki-Nya. Dia sendiri yang berkuasa untuk menentukan rezeki, sehingga orang-orang yang beriman tidak perlu enggan berhijrah karena takut miskin. Allah memberi rezeki di mana saja mereka berada, baik di negeri sendiri, maupun di negeri orang atau dalam perjalanan, bahkan ketika mereka ditawan musuh.
Allah berfirman:
اِنَّ اللّٰهَ هُوَ الرَّزَّاقُ ذُو الْقُوَّةِ الْمَتِيْنُ ٥٨ (الذّٰريٰت)
Sunggu h Allah, Dialah Pemberi rezeki Yang Mempunyai Kekuatan lagi Sangat Kokoh. (aż-żāriyāt/51: 58)
Ayat ini selanjutnya menyatakan bahwa Allah mengetahui segala kemaslahatan makhluk-Nya. Dia juga mengetahui orang-orang yang mengerjakan amal saleh karena banyak dianugerahi rezeki, dan mengetahui orang-orang yang membuat kerusakan dan kemungkaran dengan kekayaan yang telah dianugerahkan Allah kepada mereka.”
Ayat ini dapat pula dihubungkan dengan pernyataan orang-orang musyrik pada ayat sebelum ini (ayat 61) di mana Allah menyatakan kepada orang-orang musyrik, “Siapa yang menciptakan dan menguasai alam semesta ini?” Mereka tidak mendapatkan jawaban, kecuali tunduk dengan menetapkan bahwa Allah Yang Maha Esa yang menciptakan dan menguasai seluruh makhluk. Jika mereka telah mengakui hal itu, mengapa mereka masih ragu siapa yang menanggung rezeki seluruh makhluk itu. Jika mereka mengatakan bahwa Allah-lah yang melapangkan dan menyempitkan rezeki kepada makhluk-Nya, tidak ada yang lain, kenapa mereka masih menyembah dan meminta rezeki itu kepada berhala-berhala?
Allah selanjutnya menjelaskan bahwa Dia membedakan hamba-hamba-Nya dalam hal pemberian rezeki karena Ia lebih mengetahui kemaslahatan mereka. Pemberian itu harus disesuaikan dengan keadaan mereka masing-masing.
Lā Ya‘qilūn لاَيَعْقِلُوْن َ (al-‘Ankabūt/29: 63).
Kata lā ya‘qilūn dalam kitab suci Al-Qur’an disebutkan berulang-ulang. Secara harfiah lā ya‘qilūn artinya “mereka tidak mengerti.” Kata dasarnya adalah ‘ain-qaf-lam yang artinya ikatan. ‘Iqal ba‘ir artinya ikatan yang ada pada leher unta. Dari sini kata akal muncul. Orang yang berakal adalah orang yang mengikat dirinya untuk tidak berbuat buruk.
Pada ayat di atas, ketika orang kafir Mekah ditanya tentang siapa yang menurunkan air hujan yang telah menyuburkan bumi setelah matinya, mereka menjawab bahwa Allah yang menurunkannya. Jawaban mereka belum menunjukkan jawaban atas dasar akidah tauhid karena pada umumnya mereka masih menyembah patung, berhala, dan benda-benda lain dalam rangka mendekatkan diri kepada Allah. Oleh karena itu, jawaban mereka masih dikategorikan belum benar, yakni jawaban yang tidak berdasarkan akidah tauhid. Mereka tetap dikategorikan sebagai lā ya‘qilūn, sebagian mereka tidak mengerti dan belum menampilkan tauhid yang sesungguhnya. Mereka masih terjebak oleh apa yang disebut syirik at-taqrīb, yaitu syirik yang disebabkan oleh pelaksanaan ibadah yang tujuannya mendekatkan diri kepada Allah, tetapi masih melalui penyembahan kepada berhala.

