يَحْسَبُوْنَ الْاَحْزَابَ لَمْ يَذْهَبُوْا ۚوَاِنْ يَّأْتِ الْاَحْزَابُ يَوَدُّوْا لَوْ اَنَّهُمْ بَادُوْنَ فِى الْاَعْرَابِ يَسْاَلُوْنَ عَنْ اَنْۢبَاۤىِٕكُمْ ۗوَلَوْ كَانُوْا فِيْكُمْ مَّا قٰتَلُوْٓا اِلَّا قَلِيْلًا ࣖ
Yaḥsabūnal-aḥzāba lam yażhabū, wa iy ya'til aḥzābu yawaddū lau annahum bādūna fil a‘rābi yas'alūna ‘an ambā'ikum, wa lau kānū fīkum mā qātalū illā qalīlā(n).
Mereka mengira (bahwa) golongan-golongan (yang bersekutu) itu belum pergi. Jika golongan-golongan itu datang kembali, mereka pasti ingin berada di dusun-dusun bersama-sama orang Arab Badui, sambil menanyakan berita tentangmu. Seandainya mereka berada bersamamu, niscaya mereka tidak akan berperang, kecuali sebentar saja.
Sifat pengecut, kikir, dan penakut itu mendarah daging dalam jiwa mereka dan bukan sesuatu yang baru. Mereka mengira bahwa golongan-golongan Yahudi Bani Quraizah dan kafir Mekah yang bersekutu itu belum benar-benar pergi dan akan kembali untuk membalas dendam. Dan karenanya, jika golongan-golongan yang bersekutu itu datang kembali untuk menyerang kaum mukmin, niscaya mereka yang munafik itu ingin berada di dusun-dusun dan rumah-rumah mereka bersama-sama orang Arab Badui dan tidak mau ikut perang, sambil terus menanyakan dan mengikuti perkembangan berita tentang kamu di medan perang tersebut. Dan sekiranya mereka berada bersamamu di medang perang, mereka tidak akan berperang melainkan sebentar saja karena mereka pengecut dan takut mati.
Karena sangat ketakutan, orang-orang munafik mengira bahwa tentara sekutu masih berada di medan pertempuran, padahal tentara-tentara itu telah lari berserakan, kembali ke negeri masing-masing. Hal ini menun-jukkan bahwa orang-orang munafik adalah orang-orang pengecut dan tidak beriman sehingga tidak ikut berperang, seakan-akan mereka tidak hadir di sana. Oleh karena itu, mereka tidak mengetahui gerak gerik musuh. Dalam pada itu, jika tentara sekutu itu kembali lagi menyerang, mereka menginginkan agar mereka berada di Badiyah (padang pasir) yang jauh dari kota bersama-sama Arab Badui dan penduduk padang pasir, agar mereka tidak terkena bahaya peperangan. Bagi mereka cukuplah kiranya bila dapat bertanya kepada orang-orang yang datang ke tempat mereka tentang keadaan Nabi dan kaum Muslimin.
Selanjutnya Allah menerangkan bahwa pada peperangan yang telah lewat itu, andaikata orang-orang munafik tidak meninggalkan medan peperangan dan tetap bersama kaum Muslimin di garis depan, kemudian terjadi pertempuran yang dahsyat, maka mereka juga tidak akan ikut berperang. Kalaupun ikut berperang, mereka berperang dengan tidak sepenuh hati dan keimanan. Mereka akan melawan musuh sekedar memenuhi permintaan Nabi saja.
1. Al-Mu’awwiqīn الْمُعَوِّقِيْ نَ (al-Aḥzāb/33: 18)
Al-Mu’awwiqīn artinya orang-orang penghalang. Kata al-mu’awwiqīn terambil dari kata ‘awwaqa yang menunjukkan pekerjaan berulang kali, dalam hal ini berulang-ulang kali mencegah dan merintangi atau menghalangi. Kata tersebut digunakan dalam ayat ini menunjukkan kemantapan upaya itu dari pelakunya.
2. al-Aḥzāb اَلْاَحْزَاب (al-Aḥzāb/33: 20)
Kata al-aḥzāb merupakan bentuk jamak dari kata ḥizb, yang artinya golongan atau kelompok. Dengan demikian, al-aḥzāb berarti golongan-golongan atau kelompok-kelompok. Dalam hal ini, kata tersebut digunakan untuk menyebut kelompok-kelompok musuh Islam yang berkoalisi untuk menyerang kaum Muslimin di kota Medinah. Mereka yang bersekutu untuk memerangi umat Islam terdiri dari kaum kafir Mekah, Bani Gaṭafān, Bani Murrah, Bani Asyja’, kelompok Yahudi yang terdiri dari Bani Quraiẓah dan Bani an-Naḍīr. Untuk menahan serangan mereka, atas usul Salmān al-Fārisī, umat Islam kemudian membuat parit (khandaq) di bagian utara kota Medinah, yang diduga kuat akan dijadikan sebagai arah serangan musuh. Oleh karena itu, selain disebut Perang Ahzab (perang melawan pasukan koalisi), peristiwa ini juga dinamakan Perang Khandaq (Perang Parit).
Perang Ahzab ini terjadi pada bulan Syawal tahun ke-5 Hijriah. Pada perang ini, Bani Gaṭafān bersama penduduk Nejed dan orang-orang Yahudi dari Bani Quraiẓah dan Bani an-Naḍīr datang dari arah timur melalui lembah, sedang orang kafir Mekah bersama penduduk Tihāmah dan Kinānah serta berbagai suku Arab datang dari arah barat. Kekuatan tentara koalisi jauh lebih besar dari pasukan Muslimin. Oleh karena itu, Rasulullah dan tentaranya hanya bersikap menunggu di sebelah parit yang dalam yang telah mereka gali sebelumnya. Karena terhalang oleh parit ini, pasukan koalisi tidak dapat menyeberanginya. Mereka kemudian mengepung umat Islam, dan ini berlangsung lebih dari sebulan lamanya. Pengepungan ini telah menjadikan umat Islam menderita, namun mereka tetap tabah dan kompak dalam menghadapi musuh. Tidak lama kemudian terjadi perpecahan di kalangan pasukan koalisi, sehingga kekompakan mereka tidak dapat dipertahankan lagi. Selain itu, tiba-tiba terjadi badai topan yang sangat kencang yang mengakibatkan perkemahan mereka tumbang dan porak-poranda. Suasana yang menimbulkan ketakutan dan kepanikan ini memaksa Abū Sufyān sebagai pimpinan tertinggi pasukan koalisi memerintahkan tentaranya untuk mengundurkan diri dan kembali ke Mekah. Dengan mundurnya pasukan sekutu tersebut, selesailah Perang Ahzab ini, dan terlepaslah umat Islam dari kepungan mereka.

