v2.9
Geligi Animasi
Geligi Semua Satu Platform
Ayat 36 - Surat Al-Aḥzāb (Golongan Yang Bersekutu)
الاحزاب
Ayat 36 / 73 •  Surat 33 / 114 •  Halaman 423 •  Quarter Hizb 43 •  Juz 22 •  Manzil 5 • Madaniyah

وَمَا كَانَ لِمُؤْمِنٍ وَّلَا مُؤْمِنَةٍ اِذَا قَضَى اللّٰهُ وَرَسُوْلُهٗٓ اَمْرًا اَنْ يَّكُوْنَ لَهُمُ الْخِيَرَةُ مِنْ اَمْرِهِمْ ۗوَمَنْ يَّعْصِ اللّٰهَ وَرَسُوْلَهٗ فَقَدْ ضَلَّ ضَلٰلًا مُّبِيْنًاۗ

Wa mā kāna limu'miniw wa lā mu'minatin iżā qaḍallāhu wa rasūluhū amran ay yakūna lahumul-khiyaratu min amrihim, wa may ya‘ṣillāha wa rasūlahū faqad ḍalla ḍalālam mubīnā(n).

Tidaklah pantas bagi mukmin dan mukminat, apabila Allah dan Rasul-Nya telah menetapkan suatu ketentuan, akan ada pilihan (yang lain) bagi mereka tentang urusan mereka. Siapa yang mendurhakai Allah dan Rasul-Nya, sungguh dia telah tersesat dengan kesesatan yang nyata.

Makna Surat Al-Ahzab Ayat 36
Isi Kandungan oleh Tafsir Wajiz

Ketaatan orang-orang yang beriman kepada Allah tidak cukup dibuktikan dengan memiliki sepuluh sifat yang disebutkan dalam ayat-ayat sebelumnya. Ia harus pula tunduk kepada hukum-hukum yang Allah tetapkan. Dan tidaklah pantas bagi laki-laki yang mukmin dan perempuan yang mukmin, apabila Allah dan Rasul-Nya telah menetapkan suatu ketetapan hukum, maka tidak akan ada pilihan hukum yang lain bagi mereka tentang urusan mereka. Mereka harus menaati hukum yang Allah dan Rasul-Nya tetapkan. Dan barang siapa mendurhakai Allah dan Rasul-Nya dengan menolak hukum-Nya, maka sungguh, dia telah tersesat dengan kesesatan yang nyata. Ayat ini turun berkenaan dengan salah satu wanita terpandang dikalngan Quraisy bernama Zainab binti Jahsy. Ia ialah putri bibi Rasulullah, 'Umaimah binti 'Abdul Muthallib. Rasulullah pernah melamar Zainab untuk dinikahkan dengan Zaid bin Haritsah, budak yang dimerdekakan dan dijadikan anak angkat oleh Rasulullah. Zainab dan keluarganya menolak lamaran itu karena menganggap status sosial keduanya tidak setara. Pasca turunnya ayat ini, Zainab menerima lamaran Rasulullah meski dengan hati terpaksa. Ayat ini menegaskan bahwa status sosial tidak menjadi tolok ukur kedudukan seseorang dimata Allah. Kedudukan dan keutamaan seseorang dimata Allah ditentukan olehketakwaan dan ketaatannya kepada Allah. Dan ingatlah, ketika engkau, wahai Nabi Muhammad, beberapa kali berkata kepada Zaid bin Harisah, yang telah diberi nikmat oleh Allah dengan memeluk agama Islam dan engkau juga telah memberi nikmat kepadanya dengan memerdekakannya dan mengangkatnya menjadi anak, “Pertahankanlah terus istrimu, Zainab binti Jahsy! Jangan kau ceraikan ia, dan bertakwalah kepada Allah dengan bersabar menjalani pernikahanmu meski istrimu kurang menghormatimu.” Allah selalu mengatur Nabi Muhammad “Engkau memberi Zaid nasihat demikian, Zaid, sedang engkau menyembunyikan didalam hati mu apa yang akan dinyatakan, yakni diberitahukan, oleh Allah bahwa Zainab akan menjadi salah satu istrimu, dan engkau menyembunyikan hal itu karena engkau takut kepada manusia, padahal Allah lebih berhak engkau takuti.” Ternyata Zaid tidak mampu mempertahankan pernikahannya sesuai saran rasulullah. Maka ketika Zaid telah mengakhiri keperluan terhadap istrinya, yakni menceraikannya dan telah habis masa 'iddahnya, Kami nikahkan engkau, wahai Nabi Muhammad, dengan dia, Zainab, agar tidak ada keberatan dan perasaan berdosa bagi orang mukmin untuk menikahi istri-istri anak-anak angkat mereka,apabila anak-anak angkat itu telah menyelesaikan keperluannya terhadap istrinya, yakni menceraikannya. Dan ketetapan serta kehendak Allah itu pasti terjadi.

Isi Kandungan oleh Tafsir Tahlili

Pada ayat ini, Allah menjelaskan bahwa tidak patut bagi orang-orang yang beriman baik laki-laki maupun perempuan, apabila Allah dan rasul-Nya telah menetapkan ketentuan, mereka memilih ketentuan lain yang bertentangan dengan ketetapan keduanya. Menentukan pilihan sendiri yang tidak sesuai dengan ketentuan dari Allah dan rasul-Nya berarti mendurhakai perintah keduanya, dan tersesat dari jalan yang benar. Hal seperti itu diancam pula oleh Allah dengan firman-Nya:

فَلْيَح ذَرِ الَّذِيْنَ يُخَالِفُوْنَ عَنْ اَمْرِهٖٓ اَنْ تُصِيْبَهُمْ فِتْنَةٌ اَوْ يُصِيْبَهُمْ عَذَابٌ اَلِيْمٌ

Maka hendaklah orang-orang yang menyalahi perintah Rasul-Nya takut akan mendapat cobaan atau ditimpa azab yang pedih. (an-Nūr/24: 63)

Isi Kandungan Kosakata

1. Al-Khiyarah اَلْخِيَرَة (al-Aḥzāb/33: 36)

Kata al-khiyarah disebut dua kali dalam Al-Qur’an, dalam Surah al-Qaṣaṣ/28: 68, dan dalam ayat ini. Dalam Surah al-Qaṣaṣ/28: 68 terkandung penjelasan bahwa Allah yang menciptakan segala sesuatu sesuai kehendak-Nya dan Dia yang menentukan pilihan. Tidak ada bagi manusia pilihan jika Tuhan telah menetapkan pilihan-Nya. Demikian pula dalam ayat ini, kata al-khiyarah artinya pilihan, dalam arti: tidak sepantasnya seorang mukmin, baik laki-laki atau perempuan, melakukan pilihan, kalau Allah dan rasul-Nya telah menetapkan pilihannya dalam suatu perkara yang penting, karena ketetapan atau pilihan itu akan menjadi ajaran yang harus diikuti oleh orang-orang beriman di belakang hari.

2. Waṭarā وَطَرًا (al-Aḥzāb/33: 37)

Kata waṭar hanya disebutkan dalam ayat ini. Kata waṭar merupakan kata mufrad, jamaknya awṭar, dalam kamus diartikan sebagai hajat dan keinginan (al-hajat wa al-bugyah). Menurut al-Ḥajjāj, al-waṭar adalah puncak kebutuhan yang mengandung cita-cita. Kemudian, kata ini telah menjadi ungkapan yang lazim dalam masalah talak. Seseorang menceraikan istrinya karena tidak membutuhkannya lagi. Jadi, penggunaan kata waṭar dalam rangkaian ayat ini dimaksudkan dengan arti: ketika Zaid bin Ḥariṡah tidak membutuhkan lagi Zainab binti Jahsy (mentalaknya), barulah Allah mengawinkan Nabi Muhammad saw dengannya untuk diketahui dan dimengerti oleh umat Islam bahwa menurut syariat Islam mengawini mantan istri anak angkat adalah halal atau boleh.

3. Khātam al-Nabiyyīn خَاتَم النَّبِيِّيْنَ (al-Aḥzāb/33: 40)

Ada dua qiraat mutawatirah pada kalimat ini, yaitu khātam dan khātim. Kata khātam artinya cincin yang biasa dipakai untuk keindahan. Ada juga unsur menonjol. Sedangkan kata khātim adalah isim fā’il dari khātam. Para mufasir sepakat, bacaan khātam al-nabiyyīn artinya akhir atau pemuncak para nabi (akhir al-nabiyyīn). Nabi Muhammad ditegaskan Allah dalam ayat ini, sebagai nabi terakhir atau penutup. Dengan demikian, ayat ini menyatakan bahwa tidak ada nabi setelah Nabi Muhammad, yang berarti pula tidak ada rasul setelah kerasulan Muhammad, karena kedudukan kerasulan lebih khusus dibandingkan maqam kenabian; rasul lebih istimewa daripada nabi.