الَّذِيْٓ اَطْعَمَهُمْ مِّنْ جُوْعٍ ەۙ وَّاٰمَنَهُمْ مِّنْ خَوْفٍ ࣖ
Allażī aṭ‘amahum min jū‘(in), wa āmanahum min khauf(in).
yang telah memberi mereka makanan untuk menghilangkan lapar dan mengamankan mereka dari rasa takut.
Hendaklah mereka menyembah Tuhan Yang telah memberi makanan kepada mereka untuk menghilangkan lapar, memenuhi kebutuhan dasar mereka, dan mengamankan mereka dari rasa ketakutan. Terpenuhinya kebutuhan akan makanan dan rasa aman merupakan dua prasyarat penting yang menjamin kesejahteraan suatu masyarakat.
Kemudian Allah menjelaskan sifat Tuhan Pemilik Ka‘bah yang disuruh untuk disembah itu, yaitu Tuhan yang membuka pintu rezeki yang luas bagi mereka dan memudahkan jalan untuk mencari rezeki itu. Jika tidak demikian, tentu mereka berada dalam kesempitan dan kesengsaraan. Dia mengamankan jalan yang mereka tempuh dalam rangka mereka mencari rezeki, serta menjadikan orang-orang yang mereka jumpai dalam perjalanan senang dengan mereka. Mereka tidak menemui kesulitan. Kalau tidak, tentu mereka selalu berada dalam ketakutan yang mengakibatkan hidup sengsara.
Surah Quraisy ini mengandung pedoman yang singkat tetapi padat dalam bidang ekonomi. Jika pedoman itu diikuti dengan seksama, maka dapat membawa kemakmuran bagi perorangan, masyarakat dan negara serta menyebabkan sukses dalam bidang pembangunan. Syarat-syaratnya secara garis besar ada 4 yaitu:
1. Membiasakan dagang yang dihasilkan dengan latihan, didikan, tradisi secara turun-temurun yang menghasilkan pengalaman, sebab pengalaman itu adalah sebaik-baiknya guru (experience is the best teacher). Syarat pertama ini diambil dari kalimat li īlāf yang artinya karena kebiasaan.
2. Memelihara nama baik, yang diambil dari kalimat Quraisy sebab suku atau kabilah Quraisy itu termasuk kabilah yang paling mulia yang nantinya melahirkan Nabi Muhammad. Maka seorang pedagang pun harus selalu memelihara nama baiknya sehingga dapat kepercayaan yang penuh dari sekalian langganannya, karena tidak pernah dusta atau menipu, tidak pernah menyalahi janji atau menimbun barang-barang yang dibutuhkan oleh rakyat dan lain-lain.
3. Mengadakan misi perniagaan ke luar daerahnya, bahkan ke luar negeri untuk melebarluaskan daerah lingkungan perniagaannya dan syarat ini diambil dari kalimat riḥlah yang artinya bepergian. Seorang pedagang tidak akan maju jika tidak mengadakan misi perniagaan ke luar daerahnya.
4. Memperhatikan situasi keadaan yang menguntungkan. Ia harus memperhatikan iklim, situasi, dan kondisi tempat di sekitarnya. Syarat ini diambil dari kalimat asy-syitā’i wa aṣ-ṣaif yang artinya: pada musim dingin dan musim panas. Orang-orang Quraisy pun mengatur arah perniagaannya yaitu di musim dingin mereka pergi ke sebelah selatan yaitu negeri Yaman, dan di musim panas ke utara yaitu negeri Syam.
Jika keempat syarat ini diperhatikan dengan seksama niscaya akan mendatangkan kemakmuran yang merata dan kemakmuran itu jangan sekali-kali hanya untuk memuaskan hawa nafsu. Akan tetapi, harus dijadikan bekal untuk beribadah kepada Allah yang mempunyai Baitullah dan digunakan untuk menyukuri segala nikmat pemberian-Nya, agar menghasilkan kesejahteraan, cukup sandang-pangan dan keamanan dari ketakutan seperti diisyaratkan dalam kalimat: “Yang telah memberi makanan kepada mereka untuk menghilangkan lapar dan mengamankan mereka dari ketakutan.”
Jadi yang harus disembah dan disyukuri itu ialah Allah Pemilik Ka‘bah sebab di dekat Ka‘bah itu ada satu macam ibadah yang tidak terdapat di luar kota Mekah yaitu tawaf di Baitullah.
Jika diperhatikan cara tawaf itu memang aneh sekali, sebab menurut hukum alam setiap benda yang mengelilingi benda lain, lama-lama akan bertambah jauh dari markasnya atau titik putarnya sesuai dengan daya sentrivical atau daya lompatan ke luar. Jika sebuah batu diikat dengan tali lalu diputarkan maka bila batu itu terlepas mesti terlempar jauh ke luar. Demikian pula dalam bidang kerohanian, seorang pedagang yang tadinya rajin salat berjamaah dan menghadiri pengajian pada ulama di kampungnya setelah sering bepergian ke luar daerah maka ia bertambah jauh dari masjid dan ulamanya.
Jika ia bepergian ke luar negeri tentu akan bertambah jauh lagi dari sumber agamanya. Tidak demikian keadaan orang yang sedang tawaf di Baitullah. Walaupun ia berkeliling sampai tujuh kali, tetapi ia tetap berada di samping Baitullah. Demikian pula hendaknya setiap pedagang yang telah menjadi hartawan atau jutawan tetap saja tekun melaksanakan ibadahnya kepada Allah secara terus-menerus (istikamah).
Quraisy قُرَيْشٍ (Quraisy/106: 1)
Jauh sebelum kemunculan Quraisy atau Kuraisy, mula-mula sekali Mekah sudah dihuni oleh kabilah Jurhum, Arab purba generasi kedua yang berasal dari Yaman. Mungkin mereka menetap di Mekah sebelum Nabi Ibrahim dan anaknya, Ismail, datang ke daerah itu. Ibrahim kemudian bersemenda dengan Jurhum melalui perkawinan Ismail dengan salah seorang putri mereka. Pada zaman Jahiliah itu dan pada masa Nabi Muhammad, Quraisy merupakan kabilah terbesar yang paling terkenal dan berpengaruh di Mekah. Mereka yang memegang pimpinan Mekah, di samping 10 kabilah lainnya, seperti Hāsyim, kabilah Nabi Muhammad; Zuhrah, kabilah ibunda nabi; Taim dan ‘Ādi masing-masing kabilah Abū Bakar aṣ-Ṣiddīq dan ‘Umar bin al-Khaṭṭāb, Umayyah, kabilah Uṡmān bin ‘Affān, dan Hāsyim yang juga kabilah Ali bin Abī Ṭālib. Keempatnya kemudian menjadi al-Khulafā’ ar-Rāsyidīn. Beberapa kabilah besar lainnya adalah Makhzūm, Asad, Naufal, Jumah, Sahm, dan al-Ḥariṡ kabilah Abū ‘Ubaidah bin al-Jarrah. Pimpinan Ka‘bah memang selalu di tangan Bani Hāsyim sejak dipegang oleh Qusai (480 M), leluhur mereka. Kedudukan kabilah-kabilah ini penting sekali dalam masyarakat Arab, khususnya Mekah, dan yang sangat menonjol dalam kehidupan mereka dalam agama. Keluarga atau kabilah besar yang lain, yaitu Bani Umayyah, tetapi mereka sudah terlalu disibukkan dengan urusan perdagangan.
Kedudukan kota yang terletak di tengah-tengah memudahkan perdagangan dan hubungan antarsuku, yang memberikan kehormatan dan keuntungan kepada mereka. Daerah Mekah dalam adat Arab tidak boleh diganggu dan dirusak oleh perang dan permusuhan pribadi. Dengan demikian, kedudukan mereka aman serta bebas dari rasa takut dan bahaya. Kehormatan dan keuntungan ini karena mereka sebagai pemelihara tempat suci Ka‘bah.
Lanjutan ayat di atas menyebutkan bahwa mereka sudah terbiasa mengadakan perjalanan musim dingin dan musim panas. Di antara mereka ada ikatan yang kuat dalam menjalankan perniagaan dengan sistem kafilah, yang dijalankan dari utara di musim dingin ke daerah Yaman yang panas di selatan, dan di musim panas ke utara, ke daerah dingin di Syam, dan sebaliknya; dari barat ke timur di Persia sampai ke Abisinia di Afrika. Menurut adat Arab, daerah Mekah harus dihormati, tidak boleh dirusak dan terganggu oleh perang atau permusuhan. Quraisy memang dikenal sebagai pengembara dan pedagang yang tangguh, cakap dan terlatih.
Asal-usul Quraisy yang banyak berperan dalam sejarah masyarakat kota itu, dimulai dari abad ke-5. Qusai (480 M), salah seorang anak cucu Fihr, menjadi penguasa Mekah dan daerah-daerah sekitarnya di Hijaz. Sebagai pemimpin yang arif, ia mampu mempersatukan semua kabilah Quraisy. Dilanjutkan dengan usahanya membangun balai pertemuan (Dārun-Nadwah) tempat yang terbukti dapat menyelesaikan perselisihan yang timbul dalam kabilah-kabilah Quraisy, setelah dikonsultasikan dengan pemimpin-pemimpin mereka. Dia juga yang mendapat kepercayaan mengurus Ka‘bah, suatu jabatan yang dipandang paling terhormat di Semenanjung Arab. Dia pula yang menyediakan air (siqāyah) dan persediaan makanan (rifādah) bagi para tamu yang datang berziarah ke sana.
Sebelum meninggal, Qusai sudah menyerahkan tanggung jawab kepengurusan Ka‘bah kepada anaknya yang tertua, ‘Abdud-Dār (kabilah Mus‘ab bin Umair). Tetapi sesudah orang tua itu meninggal, kepemimpinan Quraisy berada di tangan adiknya ‘Abdu-Manaf, dan dari ‘Abdu-Manaf turun kepada Hāsyim anaknya, sebagai penerus. Anak-anak ‘Abdud-Dār memang tidak mampu menjalankan segala pekerjaan yang ditinggalkan para pendahulunya. Karenanya pekerjaan penyediaan air dan makanan dipegang oleh anak-anak ‘Abdu-Manāf. Pada mulanya kepengurusan Ka‘bah ini diserahkan kepada ‘Abdu-Syams bin ‘Abdu-Manāf, kakak Hāsyim, tetapi karena kesibukannya dalam bisnis, tidak lama kemudian ia menyerahkan tugas itu kepada adiknya, Hāsyim.
Mereka tiga bersaudara kandung: ‘Abdu-Syams, Hāsyim, dan Muṭallib dan seorang lagi saudara tiri, Naufal (kabilah Mut‘im bin ‘Ādi). Akan tetapi, Hāsyim tidak ditakdirkan hidup lebih lama. Beberapa tahun kemudian dalam suatu perjalanan niaga musim panas, ia jatuh sakit di Gaza, Palestina, dan meninggal di kota itu. Kedudukannya digantikan oleh adiknya, Muṭallib, yang masih adik ‘Abdu-Syams. Akan tetapi, seperti disebutkan di atas, ‘Abdu-Syams selalu sibuk mengurus perdagangan di Yaman dan di Suria, sementara Naufal sibuk di Irak. Mereka sudah tidak sempat lagi mengurus Ka‘bah di Mekah. Selain itu, Muṭalib memang sangat dihormati oleh masyarakat Mekah. Karena sikapnya yang suka menenggang, lapang dada, pemurah, dan murah hati, oleh Kabilah Quraisy ia dijuluki al-Faiḍ (yang banyak jasanya, pemurah).
Dalam kehidupan politik, sosial, dan ekonomi kedudukan kabilah-kabilah itu sangat menentukan. Quraisy merupakan kabilah atau suku yang sangat menentukan, jauh sebelum kelahiran Nabi Muhammad. Sebagai ganti sebutan “kabilah” kemudian lebih dikenal dengan sebutan “Banu” atau “Bani” yang berarti “anak-anak atau keturunan” sebagai identitas nama sebuah keluarga besar, seperti Bani Hāsyim, Bani Umayyah, Bani Makhzūm, dan seterusnya.
Kabilah Quraisy bukan pendatang dari luar. Ia lahir dari dalam rahim masyarakat Mekah sendiri. Nama Quraisy merupakan eponim yang diambil dari Quraisy, nama dari salah seorang leluhur mereka yang bernama Fihr. Menurut para ahli nasab (geneaologi), Fihr sebenarnya bernama Quraisy yang kemudian menjadi eponim nama kabilah. Ada pula yang mengatakan namanya memang Fihr dan Quraisy julukannya. Fihr atau Quraisy ini berada dalam garis ke-9 dari Hasyim dan dalam garis ke-12 dari Nabi Muhammad. Seterusnya, Fihr berada dalam garis ke-20 dari Nabi Ibrahim. Demikian catatan para genealogis Arab. Menurut Ibnu Hisyām dalam Sīrah an-Nabī, semua orang Arab keturunan Ismail dan Qahtan. Akan tetapi, ada orang Yaman yang mengatakan bahwa Qahtān adalah putra Ismail, dan Ismail bapak semua orang Arab
Bagaimanapun juga, dalam kehidupan masyarakat Arab soal nasab dipandang sangat penting. Rata-rata orang dapat mengenal nenek moyangnya sampai beberapa generasi, bahkan ada yang mengenal sampai 10 generasi atau lebih.

