وَّسَكَنْتُمْ فِيْ مَسٰكِنِ الَّذِيْنَ ظَلَمُوْٓا اَنْفُسَهُمْ وَتَبَيَّنَ لَكُمْ كَيْفَ فَعَلْنَا بِهِمْ وَضَرَبْنَا لَكُمُ الْاَمْثَالَ
Wa sakantum fī masākinil-lażīna ẓalamū anfusahum wa tabayyana lakum kaifa fa‘alnā bihim wa ḍarabnā lakumul-amṡāl(a).
(Bukankah) kamu pun dulu tinggal di tempat kediaman orang-orang yang menzalimi diri sendiri dan telah nyata bagimu bagaimana Kami telah berbuat terhadap mereka dan telah Kami berikan (pula) kepadamu beberapa perumpamaan?”
Dan padahal kamu telah tinggal dan menetap di tempat orang yang menzalimi diri sendiri ketika itu, dan kamu pun menyaksikan bekas-bekas kehancuran sebagai akibat dari kedurhakaan mereka, dan dengan demikian telah nyata bagimu bagaimana Kami telah berbuat terhadap mereka dengan menjatuhkan siksa, dan telah Kami berikan kepadamu beberapa perumpamaan sebagai peringatan.”
Ayat ini mengingatkan Rasulullah saw dan orang-orang yang beriman bahwa orang-orang yang zalim tersebut pernah tinggal di negeri orang-orang yang pernah menganiaya diri mereka sendiri dan berbuat kebinasaan di muka bumi, seperti yang pernah dilakukan kaum ‘Ād dan Ṡamūd. Telah jelas azab yang ditimpakan Allah kepada mereka dan bekas-bekasnya terdapat di negeri-negeri itu berdasarkan kisah yang tersebut dalam Al-Qur’an. Demikian pula Allah swt telah memberikan perumpamaan-perumpamaan bagi kaum Muslimin tentang akibat yang akan dialami oleh orang-orang yang zalim itu di dunia dan di akhirat kelak. Seandainya kaum Muslimin melakukan tindakan dan perbuatan seperti yang telah dilakukan orang-orang yang zalim itu, pasti mereka akan ditimpa azab pula, seperti azab yang telah ditimpakan kepada orang-orang yang zalim dahulu. Karena itu, hendaknya kaum Muslimin mengambil pelajaran dari kisah-kisah dan peristiwa orang-orang dahulu itu.
Muhṭi‘īn مُهْطِعِيْنَ (Ibrāhīm/14: 43)
Muhṭi‘īn, terulang sebanyak tiga kali dalam Al-Qur’an, yaitu dalam ayat ini, Surah al-Qamar/54: 8, dan dalam Surah al-Ma‘ārij/70: 36. Kata tersebut merupakan isim sifat, dari ahṭa‘a – yuhṭi‘u – ihṭā‘an. Para ulama berbeda pendapat dalam memberi arti kata tersebut. Pertama, al-ihṭā’ artinya melihat dengan tidak berkedip, dengan terbelalak. Ini pendapat Mujahid, al-ahhak, dan Abu al-ūha. Kedua, artinya tergesa-gesa, misalnya: ahṭa’ al-ba’ir fi sairihi, artinya: unta itu tergesa-gesa jalannya. Ini pendapat al-Ḥasan, Said bin Jubair, Qatadah, dan Abu Ubaidah. Ketiga, artinya tidak mengangkat kepala. Dalam kaitan ayat ini, muhṭi‘īn tampaknya lebih sesuai dengan pendapat yang pertama, yakni mereka para orang zalim itu akan terbelalak mata mereka dan tidak berkedip. Pilihan tersebut berdasar pada qarinah (indikator) yang terdapat dalam ayat, la yartaddu ilaihim ṭarfuhum (mata mereka tidak berkedip).

