اَلْحَمْدُ لِلّٰهِ الَّذِيْ وَهَبَ لِيْ عَلَى الْكِبَرِ اِسْمٰعِيْلَ وَاِسْحٰقَۗ اِنَّ رَبِّيْ لَسَمِيْعُ الدُّعَاۤءِ
Al-ḥamdu lillāhil-lażī wahaba lī ‘alal-kibari ismā‘īla wa isḥāq(a), inna rabbī lasamī‘ud-du‘ā'(i).
Segala puji bagi Allah yang telah menganugerahkan kepadaku di hari tua(-ku) Ismail dan Ishaq. Sesungguhnya Tuhanku benar-benar Maha Mendengar (memperkenankan) doa.
Menyelingi doanya, Nabi Ibrahim memuji Allah seraya berkata, “Segala puji bagi Allah yang telah menganugerahkan kepadaku nikmat yang sangat banyak dan besar di hari tua-ku berupa dua putra, Ismail dan Ishak. Sungguh, Tuhanku benar-benar Maha Mendengar dan mengabulkan doa yang dipanjatkan kepada-Nya dengan tulus.”
Ibrahim a.s. memanjatkan puja kepada Allah, Tuhan Semesta Alam, yang telah menganugerahkan kepadanya dua orang putra yang terbaik, di saat-saat ia dan istrinya telah lanjut usia, tidak mungkin mempunyai putra lagi, bahkan istrinya Sarah telah putus asa dan merasa dirinya tidak mungkin lagi mempunyai anak. Waktu itulah ia dianugerahi putra yang bernama Ishak dan sebelumnya ia telah dianugerahi putra dari istrinya Hajar.
Sekalipun Sarah telah sangat tua dan tidak mungkin lagi melahirkan anak, tetapi keinginan mempunyai putra selalu menjadi idamannya, lebih-lebih setelah mendengar Ismail telah bertambah dewasa, selalu dikunjungi oleh suaminya Ibrahim, ke tempat ia dibesarkan di Mekah yang sangat jauh jaraknya dari Palestina. Timbul rasa iri hatinya kepada Hajar, bekas pembantunya, apalagi setelah dinikahi Ibrahim atas izinnya pula. Ditambah pemikiran Sarah, kenapa pembantunya dikaruniai Allah swt seorang putra, sedangkan dia sendiri belum juga lagi dianugerahi. Rasa iri itu semakin lama semakin besar. Dalam keadaan demikianlah, malaikat datang kepada dua orang suami istri yang telah lanjut usia itu, menyampaikan perintah Allah untuk memberitahukan berita gembira bahwa mereka akan dianugerahi Allah seorang putra yang bernama Ishak, seorang anak laki-laki yang akan diangkat menjadi nabi dan rasul di kemudian hari.
Berita itu diterima oleh Ibrahim, terutama Sarah, dengan rasa heran dan tidak percaya, tetapi penuh harapan. Ia hampir tidak percaya berita itu karena umurnya telah terlalu tua untuk mengandung dan melahirkan anak. Menurut kelaziman, wanita yang seumur dia mustahil melahirkan anak. Sekalipun demikian, ia juga mempunyai harapan karena berita itu berasal dari Tuhan Yang Maha Esa yang disampaikan oleh malaikat pesuruh-Nya. Ia yakin dan percaya bahwa Tuhan kuasa menciptakan yang dikehendaki-Nya, semua mudah bagi Tuhan.
Penyampaian berita oleh malaikat kepada Ibrahim dan Sarah bahwa mereka akan mempunyai putra, dilukiskan dalam firman Allah swt:
وَامْرَاَتُ هٗ قَاۤىِٕمَةٌ فَضَحِكَتْ فَبَشَّرْنٰهَا بِاِسْحٰقَۙ وَمِنْ وَّرَاۤءِ اِسْحٰقَ يَعْقُوْبَ ٧١ قَالَتْ يٰوَيْلَتٰىٓ ءَاَلِدُ وَاَنَا۠ عَجُوْزٌ وَّهٰذَا بَعْلِيْ شَيْخًا ۗاِنَّ هٰذَا لَشَيْءٌ عَجِيْبٌ ٧٢ قَالُوْٓا اَتَعْجَبِيْنَ مِنْ اَمْرِ اللّٰهِ رَحْمَتُ اللّٰهِ وَبَرَكٰتُهٗ عَلَيْكُمْ اَهْلَ الْبَيْتِۗ اِنَّهٗ حَمِيْدٌ مَّجِيْدٌ ٧٣ (هود)
Dan istrinya berdiri lalu dia tersenyum. Maka Kami sampaikan kepadanya kabar gembira tentang (kelahiran) Ishak dan setelah Ishak (akan lahir) Yakub. Dia (istrinya) berkata, ”Sungguh ajaib, mungkinkah aku akan melahirkan anak padahal aku sudah tua, dan suamiku ini sudah sangat tua? Ini benar-benar sesuatu yang ajaib.” Mereka (para malaikat) berkata, ”Mengapa engkau merasa heran tentang ketetapan Allah? (Itu adalah) rahmat dan berkah Allah, dicurahkan kepada kamu, wahai ahlulbait! Sesungguhnya Allah Maha Terpuji, Maha Pengasih.” (Hūd/11: 71-73)
Dan firman Allah swt:
قَالُوْا لَا تَوْجَلْ اِنَّا نُبَشِّرُكَ بِغُلٰمٍ عَلِيْمٍ ٥٣ قَالَ اَبَشَّرْتُمُو ْنِيْ عَلٰٓى اَنْ مَّسَّنِيَ الْكِبَرُ فَبِمَ تُبَشِّرُوْنَ ٥٤ قَالُوْا بَشَّرْنٰكَ بِالْحَقِّ فَلَا تَكُنْ مِّنَ الْقٰنِطِيْنَ ٥٥ قَالَ وَمَنْ يَّقْنَطُ مِنْ رَّحْمَةِ رَبِّهٖٓ اِلَّا الضَّاۤلُّوْنَ ٥٦ (الحجر)
(Mereka) berkata, ”Janganlah engkau merasa takut, sesungguhnya kami memberi kabar gembira kepadamu dengan (kelahiran seorang) anak laki-laki (yang akan menjadi) orang yang pandai (Ishak).” Dia (Ibrahim) berkata, ”Benarkah kamu memberi kabar gembira kepadaku padahal usiaku telah lanjut, lalu (dengan cara) bagaimana kamu memberi (kabar gembira) tersebut?” (Mereka) menjawab, ”Kami menyampaikan kabar gembira kepadamu dengan benar, maka janganlah engkau termasuk orang yang berputus asa.” Dia (Ibrahim) berkata, ”Tidak ada yang berputus asa dari rahmat Tuhannya, kecuali orang yang sesat.” (al-Ḥijr/15: 53-56)
Ibrahim memanjatkan puji dan syukur kepada Allah, yang Maha Pemurah atas anugerah-Nya yang lain, yaitu mengabulkan doa-doanya, seperti menjadikan tanah Mekah dan sekitarnya sebagai tanah haram, menjadikan dia dan sebagian keturunannya orang yang saleh bahkan mengangkat dua orang putranya, Ismail dan Ishak, menjadi nabi dan rasul.
Apa yang dirasakan Ibrahim a.s. waktu memanjatkan puji dan syukur kepada Tuhan ini dapat dimaklumi, betapa bahagianya ia dan keluarganya setelah berusaha dengan keras, mengalami cobaan-cobaan yang sangat berat, mendapat halangan dan rintangan dari bapak dan kaumnya, kemudian pada saat umurnya dan istrinya semakin tua, ia melihat semua hasil usahanya itu, hampir semua yang pernah dimohonkannya kepada Tuhan dahulu, dikabulkan. Bahkan cita-citanya memperoleh keturunan, yang semula dirasakannya tidak akan mungkin terwujud, kemudian atas kehendak Tuhan Yang Maha Pemurah, akhirnya terkabul juga, sehingga lahirlah putra yang kedua, yaitu Ishak.
Ibrāhīm إِبْرَاهِيْم (Ibrāhīm/14: 35)
Dalam Al-Qur’an (al-An‘ām/6: 74) disebutkan “Ibrahim berkata kepada ayahnya Azar…” Di antara para mufasir ada yang berpendapat bahwa kata “abīhi” dalam ayat ini berarti nenek moyang, seperti dalam banyak ayat dalam Al-Qur’an, dan juga berarti paman: “Kami akan menyembah Tuhanmu dan Tuhan nenek moyangmu Ibrahim, Ismail, dan Ishak...” (al-Baqarah2: 133). Ismail adalah paman Yakub. Para mufasir umumnya berpendapat bahwa Azar adalah ayah Ibrahim. Tetapi para sejarawan, genealogi, dan ulama mengatakan, bahwa Azar adalah nama berhala, yang juga menjadi sembahan Terah, ayah Ibrahim, dan sekaligus penjaganya. Pendapat orang yang mengatakan bahwa kata “azar” adalah sebuah seruan untuk mencela, yang berarti “si pincang,” atau “si durhaka dan si pikun” dan sebagainya, oleh beberapa kalangan dibantah, karena Ibrahim yang selalu lemah lembut dan mendoakan ayahnya, tidak mungkin akan mengatakan demikian. Sementara menurut Eusebius Pamphili, seorang sejarawan gerejani dalam abad ke-4 Masehi, nama ayah Ibrahim adalah Aêar.
Nama Ibrahim dalam bahasa Ibrani adalah Avraham, dalam Bibel Abram, nama lama, atau Abraham, “…Engkau akan menjadi sejumlah besar bangsa. Karena itu, namamu bukan lagi Abram, melainkan Abraham (Kej. 17: 4-5). Nama ayahnya Terah anak Nahor anak Serug anak Rehu anak Peleg anak Eber anak Selah anak Arpakhsad anak Sem anak Nuh. Nuh berumur 600 tahun ketika terjadi air bah dan ia masih hidup 350 tahun sesudah itu. Jadi ia mencapai umur 950 tahun (Kej. 9: 28-29). Dengan begitu Ibrahim masih mengalami hidup dengan Nuh selama 60 tahun.
Selain Abram, dua anak Terah yang lain adalah Nahor dan Haran. Haran memperanakkan Lot. (Kej. 11: 24-28). Jadi Lut kemenakan Ibrahim. Dari sini kemudian lahir keluarga besar Ibrahim, terdiri atas kaum Ismail, Israil, Midian, Moabi dan Amoni.
Ibrahim lahir di Ur, Kaldea, sebuah kota sebelah barat Sungai Furat (Efrat) di Mesopotamia (Irak). Ibrahim dipandang sebagai cikal bakal ras Arab dan Yahudi, masing-masing dari Ismail dan Ishak. Menurut Perjanjian Lama (Kej. 12), Ibrahim adalah pendiri bangsa Ibrani (Yahudi). Tetapi di dalam Al-Qur’an disebutkan, bahwa “Ibrahim bukanlah seorang Yahudi dan bukan seorang Nasrani, tetapi dia adalah orang yang lurus, muslim, dan dia tidaklah termasuk orang-orang musyrik.” (Āli ‘Imrān/3: 67). Dia orang yang ḥanīf, jauh dari syirik dan kesesatan. Allah telah memberi gelar Khalīlullāh kepada Ibrahim, (an-Nisā'/4: 125). Dia adalah mata air dan sumber yang memancarkan tiga pemikiran agama yang kemudian terwujud dalam agama-agama yang dibawa oleh Musa, Isa, dan Muhammad al-Mustafa.
Tokoh Ibrahim sangat dihormati oleh tiga agama besar samawi itu: Yahudi, Kristen, dan Islam. Ia lahir pada awal milenium kedua. Masa mudanya di Padan-aram atau Aram-Mesopotamia, yang dalam bahasa Ibrani disebut Aram-naharain (Aram dari dua sungai) di perbatasan Irak dengan Suria. Masa kecilnya tidak banyak diketahui. Diperkirakan dia semasa dengan Hammurabi, raja Babilon yang masyhur itu. Ayahnya tukang kayu pembuat patung. Patung-patung itu kemudian dijual, lalu disembah oleh masyarakatnya. Ibrahim dibesarkan di tengah-tengah masyarakat penyembah berhala itu. Setelah memasuki usia remaja, ia melihat masyarakatnya yang sangat mengagungkan dan menganggap suci sekeping kayu yang dibuat ayahnya, tentulah karena mereka sudah sesat. Mulai timbul rasa ragu dalam hatinya. Sejak awal hati nuraninya memang sudah mendapat hidayah dan bimbingan Allah. Dia sadar bahwa patung-patung yang mereka sembah itu berhala itu tidak memberi arti apa-apa. Firman Allah:
۞ وَلَقَدْ اٰتَيْنَآ اِبْرٰهِيْمَ رُشْدَهٗ مِنْ قَبْلُ وَكُنَّا بِهٖ عٰلِمِيْنَ ٥١ اِذْ قَالَ لِاَبِيْهِ وَقَوْمِهٖ مَا هٰذِهِ التَّمَاثِيْلُ الَّتِيْٓ اَنْتُمْ لَهَا عٰكِفُوْنَ ٥٢ قَالُوْا وَجَدْنَآ اٰبَاۤءَنَا لَهَا عٰبِدِيْنَ ٥٣ قَالَ لَقَدْ كُنْتُمْ اَنْتُمْ وَاٰبَاۤؤُكُمْ فِيْ ضَلٰلٍ مُّبِيْنٍ ٥٤ قَالُوْٓا اَجِئْتَنَا بِالْحَقِّ اَمْ اَنْتَ مِنَ اللّٰعِبِيْنَ ٥٥ قَالَ بَلْ رَّبُّكُمْ رَبُّ السَّمٰوٰتِ وَالْاَرْضِ الَّذِيْ فَطَرَهُنَّۖ وَاَنَا۠ عَلٰى ذٰلِكُمْ مِّنَ الشّٰهِدِيْنَ ٥٦ (الانبياۤء)
Dan sungguh, sebelum dia (Musa dan Harun) telah Kami berikan kepada Ibrahim petunjuk, dan Kami telah mengetahui dia. (Ingatlah), ketika dia (Ibrahim) berkata kepada ayahnya dan kaumnya, ”Patung-patung apakah ini yang kamu tekun menyembahnya?” Mereka menjawab, ”Kami mendapati nenek moyang kami menyembahnya.” Dia (Ibrahim) berkata, ”Sesungguhnya kamu dan nenek moyang kamu berada dalam kesesatan yang nyata.” Mereka berkata, ”Apakah engkau datang kepada kami membawa kebenaran atau engkau main-main?” Dia (Ibrahim) menjawab, ”Sebenarnya Tuhan kamu ialah Tuhan (pemilik) langit dan bumi; (Dialah) yang telah menciptakannya; dan aku termasuk orang yang dapat bersaksi atas itu.” (al-Anbiyā'/21: 51-56).
Kisah Ibrahim dapat kita teruskan lanjutannya dalam Surah al-Anbiya’/21: 57-73. Ibrahim gelisah dan bersumpah demi Allah, di depan mereka, “…aku akan mengadakan tipu muslihat terhadap berhala-berhalamu—setelah kamu pergi.” Mereka ingin tahu apa yang akan dilakukan Ibrahim. Lalu mereka pergi. Ibrahim menghancurkan berhala-berhala itu jadi berkeping-keping, kecuali yang terbesar. Setelah mereka kembali melihat yang demikian, mereka marah dan mengancam Ibrahim dan membawanya ke depan orang banyak supaya menjadi saksi. Ketika Ibrahim dihadapkan kepada mereka dan ditanya, Ibrahim menjawab, “Tidak, itu dilakukan oleh berhala yang terbesar dari mereka! Tanyakanlah kepada mereka kalau mereka dapat berbicara!” Mereka sadar bahwa itu kesalahan mereka sendiri, mereka terkejut dan merasa malu. Tetapi jawaban tegas, bahwa yang mereka sembah adalah benda mati yang tak ada gunanya. Ibrahim mengutuk mereka dan yang mereka sembah itu. Puncak kemarahan mereka Ibrahim harus dibakar dan berhala-berhala itu harus diselamatkan. Tetapi dengan firman Allah, api itu menjadi dingin buat Ibrahim (al-Anbiyā'/21: 57-71). Selain dengan mereka, Ibrahim juga berdebat dengan orang, yang tampaknya seorang raja yang bersama dengan dewa menjadi sembahan rakyatnya. Siapa orang itu dan di mana, di dalam Al-Qur’an tidak disebutkan, selain dikatakan, bahwa “Tidakkah kamu memperhatikan orang yang mendebat Ibrahim mengenai Tuhannya, karena Allah telah memberinya kerajaan (kekuasaan). Ketika Ibrahim berkata, ”Tuhanku ialah Yang menghidupkan dan mematikan,” dia berkata, ”Aku pun dapat menghidupkan dan mematikan.” Ibrahim berkata, ”Allah menerbitkan matahari dari timur, maka terbitkanlah ia dari barat.” Maka bingunglah orang yang kafir itu. Allah tidak memberi petunjuk kepada orang-orang zalim.” (al-Baqarah/2: 258).
Para mufasir tidak sependapat tentang siapa orang yang berdebat dengan Ibrahim itu. Mungkin Namrud atau penguasa lain di Babilonia tempat kelahiran Ibrahim, atau di tempat lain. Kisah Ibrahim dalam menghadapi pikiran-pikiran syirik semacam itu memang beragam. Sebagai bapak tauhid, ia sangat peka terhadap segala yang berbau syirik dan ia harus meluruskan ajaran tauhid itu, seperti yang dapat kita lihat dalam beberapa bagian dalam Al-Qur’an. Ibrahim berusaha sungguh-sungguh meyakinkan dan mengajak masyarakatnya kepada agama tauhid, tetapi tidak berhasil. Mereka bahkan membakarnya dengan api, sekalipun gagal karena pertolongan Allah kepada Ibrahim. Mereka menjauhinya, dan bapaknya pun mengancam pula akan merajamnya jika Ibrahim tidak mau ikut menyembah berhala, apalagi tetap memusuhinya. Tak ada orang yang mau beriman kepada Ibrahim selain Sarah, istrinya, dan Lut, kemenakannya. Tak ada jalan lain, Ibrahim harus hijrah bersama mereka. Mula-mula ke Haran (Harran), kemudian ke Palestina. Ibrahim lepas tangan dari perbuatan bapaknya, karena sesudah ia memintakan pengampunan bagi bapaknya, sang bapak telah menyalahi janjinya. “Adapun permohonan ampunan Ibrahim (kepada Allah) untuk bapaknya, tidak lain hanyalah karena suatu janji yang telah diikrarkannya kepada bapaknya. Maka ketika jelas bagi Ibrahim bahwa bapaknya adalah musuh Allah, maka Ibrahim berlepas diri darinya. Sungguh, Ibrahim itu seorang yang sangat lembut hatinya lagi penyantun.” (at-Taubah:/9: 114).
Pengalaman ini kemudian berlaku juga seperti yang dialami Rasulullah terhadap kerabatnya seperti dalam ayat sebelumnya (at-Taubah/9: 113): “Tidak pantas bagi Nabi dan orang-orang yang beriman memohonkan ampunan (kepada Allah) bagi orang-orang musyrik, sekalipun orang-orang itu kaum kerabat(nya), setelah jelas bagi mereka, bahwa orang-orang musyrik itu penghuni neraka Jahanam.”
Kelembutan hati Ibrahim sama dengan kelembutan hati Rasulullah.
Menurut Perjanjian Lama (Kej. 12), Ibrahim dalam usia 75 tahun bersama istrinya, Sarah (kadang Sara atau Sarai), dan Lot meninggalkan Haran (Harran) di Mesopotamia mengembara ke Kanaan (Palestina) atas perintah Tuhan, dan akan membuatnya menjadi bangsa yang besar, dan Dia menampakkan diri kepada Abram dan berfirman, “Aku akan memberikan negeri ini kepada keturunanmu.” (Kej. 12. 7); Kepadamu dan kepada keturunanmu akan Kuberikan negeri ini yang kau diami sebagai orang asing, yakni seluruh tanah Kanaan akan Kuberikan menjadi milikmu untuk selama-lamanya; dan Aku akan menjadi Allah mereka (17: 8). Inilah yang kemudian dijadikan alasan oleh Yahudi menuntut kawasan itu sebagai “tanah yang dijanjikan” untuk mereka. Di dalam Al-Qur’an Allah hanya berfirman dalam pengertian yang lebih umum tanpa menyebut-nyebut soal ras dan tanah air: “Maka Lut membenarkan (kenabian Ibrahim). Dan dia (Ibrahim) berkata, “Sesungguhnya aku harus berpindah ke (tempat yang diperintahkan) Tuhanku…” (39: 26).
Pengembaraan Ibrahim ke Mesir
Karena terjadi kekeringan yang luar biasa di tempatnya yang baru itu, ia dan istrinya bersama Lut meninggalkan negeri itu dan pergi ke Mesir. Abram mengatakan kepada Sarah istrinya supaya ia mengatakan adiknya, bukan istrinya, karena istrinya yang dilukiskan sangat cantik itu akan diambil oleh Fir‘aun. Punggawa-punggawa istana memuji kecantikan Sarah kepada Fir‘aun dan perempuan itu dibawa ke istananya. Fir‘aun menyambut Abram dengan baik karena mengingini perempuan itu, dan Abram mendapat kambing, sapi, keledai, budak laki-laki, dan perempuan. Tetapi Tuhan menimpakan tulah yang hebat kepada Fir‘aun dan kepada seisi istananya, karena Sarah. Setelah muslihat itu diketahui, Fir‘aun memanggil Ibrahim dan menegurnya, mengapa ia tidak memberitahukan bahwa Sarah istrinya, dan mengapa dikatakan ia adiknya, “sehingga aku mengambilnya menjadi istriku? Sekarang, inilah istrimu, ambillah dan pergilah!” kata Fir‘aun kepada Ibrahim. Dan Ibrahim pun dibolehkan keluar meninggalkan Mesir bersama Sarah istrinya dan Lot kemenakannya, (Kej. 12: 10-20).
Cerita yang hampir sama terdapat dalam Kej. 20. 1-18 dengan tempat dan penguasa yang berbeda. Ia tinggal di Gerar—kerajaan Abimelekh (Abi Malik), yang mungkin juga sama dengan Hyksos atau Amalek pada masa Nabi Yusuf—sebagai orang asing. Karena Abraham sudah mengatakan, bahwa Sara saudaranya, maka raja bermaksud akan mengawininya. Tetapi Abimelekh bermimpi Tuhan datang kepadanya dan berfirman, bahwa perempuan itu sudah bersuami, maka terjadi dialog dengan Tuhan, bahwa dia tak bersalah. Abimelekh menegur Abraham karena tidak mengatakan yang sebenarnya.
Ibrahim dan istrinya kemudian meninggalkan Mesir dengan membawa kekayaan yang tidak sedikit, ditemani oleh Lot kembali ke perkemahannya yang dulu di dekat Betel dan Ai. (Kej. 13. 1-18). Cerita demikian terjadi juga terhadap Ishak (Kej. 26: 1-11), dengan sedikit perbedaan.
Kelahiran Ismail
Ketika sudah 10 tahun tinggal di Kanaan Sarah (Sarai) yang sudah tua belum punya anak juga. Ia memberikan Hajar (Hagar), hambanya, orang Mesir, kepada Abram sebagai istri. Dengan Hagar, Abram mendapatkan seorang anak laki-laki dan Abram menamainya Ismael. “Abram berumur 86, ketika Hagar melahirkan Ismael baginya” (Kej. xvi. 16). Tetapi kemudian Sarah jadi cemburu dan dengki lalu menindas Hajar sehingga ia meninggalkannya dan lari ke arah Mesir. Kata Sarah karena Hajar memandang rendah kepadanya. Cerita-cerita begini tidak ada di dalam Al-Qur’an, sebaliknya Bibel tidak menyinggung perjalanan Ibrahim dan Hajar ke kawasan Mekah. Atas permintaan Sarah, Ibrahim mengusir istrinya Hajar dan anaknya Ismail dan keduanya mengembara di padang gurun Bersyeba. Ketika kehabisan air, dibuangnya anaknya itu ke bawah semak-semak, sebab ia tidak tahan akan melihat anaknya mati. Lalu Tuhan membuka mata Hajar dan ia melihat sumur, sehingga anaknya dapat diberi minum. Setelah itu Ismail tinggal di padang gurun Paran menjadi pemanah (Kej. 16: 1-16 dan 21: 9-21).
Tetapi, yang perlu kita ingat, ada tiga sifat Ibrahim yang menonjol, seperti Rasulullah: lembut hati, kasih sayang yang sangat besar pengorbanannya, dan menanggung penderitaan karena kesalahan orang lain, jika menghadapi setiap kesulitan kembali hanya kepada Allah dan meminta pertolongan-Nya.
Ibrahim dan Ismail dikhitan
“Karena perjanjian Allah dengan Ibrahim dan keturunannya, maka setiap laki-laki di antara kamu harus disunat…anak berumur delapan hari haruslah disunat, yakni setiap laki-laki di antara kamu, turun-temurun…dan yang tidak melakukan itu harus dilenyapkan”… ”Abraham berumur 99 tahun ketika dikerat kulit khatannya. Dan Ismail, anaknya berumur 13 tahun ketika dikerat kulit khatannya. Pada hari itu juga Abraham dan Ismail, anaknya, disunat” (Kej. 17).
Berita kelahiran Ishak
Dimulai dari ketika Ibrahim tinggal di Kanaan. Ia memanggil kemenakannya, Lut supaya berdakwah ke kota-kota maksiat di dataran timur Laut Mati, yang disebut juga Bahr Lut. Kisah indah yang singkat ini dapat kita baca dalam Al-Qur’an (Hūd/11: 69-76). Ibrahim cemas melihat tamu-tamunya tidak mau menjamah hidangannya. Para tamu yang tak lain adalah para malaikat utusan Allah kepada kaum Lut, dan membawa berita gembira bagi Ibrahim dan Sarah tentang putra Ishak, dan sesudah Ishak Yakub. Istrinya tertawa—mungkin karena gembira atau merasa aneh—bagaimana mungkin Ibrahim yang sudah berumur 100 tahun dan Sarah yang sudah berumur sekitar 90 tahun masih akan punya anak (Kej. 21:1-7). Tetapi tak lama sesudah itu Sarah pun mengandung dan lahirlah Ishak. Kekuasaan Allah memang di luar bayangan manusia.
Ibrahim sekeluarga di Lembah Mekah
Perjalanan Ibrahim sekeluarga ke lembah Mekah tidak disebutkan kisahnya dalam Al-Qur’an, selain dari doa Ibrahim (14:37): “Ya Tuhan sesungguhnya Aku telah menempatkan sebagian keturunanku di lembah yang tidak mempunyai tanaman, di dekat rumah Engkau (Baitullah) …” Dalam Sejarah Hidup Muhammad Haekal menyebutkan, bahwa Ibrahim, istrinya Hajar dan anaknya Ismail berangkat menuju ke arah selatan. Mereka sampai ke suatu lembah, letak Mekah yang sekarang, lembah yang merupakan tempat para kafilah dari Syam ke Yaman, atau dari Yaman ke Syam memasang kemah. Tetapi pada waktu itu adalah saat paling sepi sepanjang tahun. Ismail dan ibunya oleh Ibrahim ditinggalkan dan ditinggalkannya pula segala keperluannya. Hajar membuat gubuk sebagai tempat berteduh, dia dan anaknya. Dan Ibrahim pun kembali ke tempat semula.
Sesudah kehabisan air dan perbekalan, Hajar melihat ke kanan kiri. Ia tidak melihat sesuatu. Ia terus berlari dan turun ke lembah mencari air. Dalam berlari-lari itu—menurut cerita orang—antara Safa dengan Marwah, sampai tujuh kali, ia kembali kepada anaknya, putus asa. Tetapi ketika itu dilihatnya anaknya sedang mengorek-ngorek tanah dengan kaki, yang kemudian dari dalam tanah itu air memancar. Dia dan Ismail dapat melepaskan dahaga. Disumbatnya mata air itu supaya jangan mengalir terus dan menyerap ke dalam pasir. Anak yang bersama ibunya itu membantu orang-orang Arab yang sedang dalam perjalanan, dan mereka pun mendapat imbalan yang akan cukup menjamin hidup mereka sampai pada musim kafilah yang akan datang. Mata air yang memancar itu berasal dari sumur Zamzam.
Ibrahim dan Ismail membangun Ka‘bah
Sekalipun Ibrahim sudah kembali dan meninggalkan Ismail dan ibunya di lembah yang sekarang disebut Mekah itu, pada waktu-waktu tertentu datang juga ia ke sana menengok mereka. Dalam salah satu kunjungannya ke lembah itu Allah memerintahkan kepada Ibrahim dan Ismail agar membangun Rumah Suci sebagai tempat ibadah pertama. Maka segera mereka mengangkat sendi-sendi untuk membangunnya (2: 127; 3: 96-97). Disebut sebagai rumah ibadah pertama, karena di seluruh dunia rumah-rumah ibadah digunakan untuk penyembahan berhala dan semacamnya. Setelah bangunan selesai, kepada mereka diperintahkan agar Rumah Suci bersih dari segala berhala dan patung, dan beribadah semata-mata hanya kepada Allah Yang Maha Esa, dan bersifat semesta, tanpa ada perbedaan untuk bangsa atau ras tertentu, dan agar diumumkan kepada segenap umat manusia (2: 125-129, 22: 26-33). Barangkali setelah itu Ibrahim berdoa, agar negeri ini menjadi aman dan makmur serta dijauhkan dari penyembahan berhala, karena manusia sudah banyak yang disesatkan, “barang siapa mengikuti aku, maka ia dari aku, dan barang siapa berdurhaka kepadaku, maka Engkau Maha Pengampun, Maha Pengasih.” (14: 35-41). Dalam rangkaian itu juga Ibrahim berdoa agar diutus seorang rasul dari mereka, yang kelak akan menyampaikan pesan-pesan Allah kepada umat manusia (2: 129).
Kisah penyembelihan putra Ibrahim
Tatkala Ibrahim hijrah kepada Tuhan setelah dianiaya oleh masyarakatnya sendiri, ia berdoa memohonkan karunia Tuhan dengan anak laki-laki yang saleh, dan Allah mengabulkan doanya dengan anak laki-laki (Ismail) yang tabah siap menderita. Setelah anak itu mencapai usia dapat berusaha, ayahnya berkata bahwa ia bermimpi menyembelihnya untuk kurban. Bagaimana pendapatnya. Anak itu menjawab, agar perintah itu dilaksanakan. Insya Allah ia akan tetap sabar dan tabah. Sesudah keduanya siap melaksanakan perintah itu, Allah berfirman kepada Ibrahim, bahwa ia telah melaksanakan mimpinya dan sekarang Allah menebus anak itu dengan kurban yang besar. Tuhan mengabadikan Ibrahim dalam kenangan yang baik bagi generasi yang akan datang, dan Allah memberi salam sejahtera bagi Ibrahim sebagai balasan, sebab ia termasuk hamba yang beriman (Q. 37: 99-111).
Demikianlah ikhtisar kisah penyembelihan dalam Al-Qur’an yang dirangkum dalam 13 ayat. Di mana mimpi itu terjadi. Ada yang berpendapat di Mekah dan sekitarnya, ada yang berpendapat di lembah Mina, dan ada pula yang berpendapat di Marwah, tempat Ismail masa kecil. Pengorbanan itu dituntut dari keduanya, dari Ibrahim dan Ismail sebagai ujian bagi mereka.
Siapa yang Disembelih?
Perbedaan pendapat tentang penyembelihan Ismail serta kurban yang dipersembahkan oleh Ibrahim, sebelum atau sesudah kelahiran Ishak, kadang masih dipertanyakan. Adakah itu terjadi di Palestina atau di Hijaz? Kalangan Muslimin meyakini bahwa yang disembelih adalah Ismail. Dalam Surah aṣ-¢affāt/37: 100 disebutkan bahwa setelah Ibrahim berdoa kepada Allah agar dikaruniai keturunan yang saleh. Lalu Allah memberi kabar gembira yaitu menganugerahinya dengan anak yang santun (gulām ḥalīm, aṣ-¢āffāt/37: 101). Anak inilah yang menjadi kurban penyembelihan, namun diganti dengan domba (aṣ-¢āffāt/37: 107). Setelah itu Allah memberitakan kabar gembira lagi kepada Ibrahim dengan mengaruniainya anak yang bernama Ishak (aṣ-¢āffāt/37: 112). Dengan demikian, kabar gembira yang pertama jelas bukan untuk Ishak, tapi Ismail yang disebut dengan gulām ḥalīm.
Kalangan sejarawan Yahudi berpendapat, bahwa yang disembelih itu Ishak (Kej. xxii: 9-12), bukan Ismail. Abdullah Yusuf Ali dalam Al-Qur’an, Terjemahan dan Tafsirnya antara lain menyebutkan: "Versi kita ini mungkin dapat dibandingkan dengan versi Yahudi dan Kristen menurut Perjanjian Lama yang sekarang. Untuk mengagungkan cabang keluarga yang lebih muda, yakni keturunan dari Ishak leluhur Yahudi, sebagai lawan cabang yang lebih tua keturunan dari Ismail leluhur orang Arab, maka cerita turun-menurun orang Yahudi itu menyebutkan bahwa sang kurban itu adalah Ishak. Ishak lahir tatkala Ibrahim berusia 100 tahun (Kej. xxi. 5), dan Ismail lahir ketika Ibrahim berusia 86 tahun (Kej. xvi. 16). Ini berarti Ismail lebih tua 14 tahun dari Ishak. Selama dalam umur 14 tahun itu Ismail sebagai anak tunggal, anak Ibrahim satu-satunya; jadi Ishak tak pernah menjadi anak Ibrahim satu-satunya. Namun dalam membicarakan kurban itu, Perjanjian Lama mengatakan (Kej. xxii. 2): Firman-Nya, "Ambillah anakmu yang tunggal itu, yang engkau kasihi, yakni Ishak, pergi ke tanah Moria dan persembahkanlah dia di sana sebagai korban bakaran pada salah satu gunung yang akan Kukatakan kepadamu." Betapapun juga kesilapan ini menunjukkan mana terjemahan yang lebih tua, dan bagaimana hal itu sampai tidak terlihat, seperti halnya dengan naskah-naskah Yahudi dewasa ini, hanya untuk kepentingan suatu agama suku. 'Tanah Moria' itu tak jelas; daerah itu jaraknya tiga hari perjalanan dari tempat Ibrahim (Kej. xxii. 4). Untuk menyamakannya dengan bukit Moria yang di tempat itu kemudian didirikan Yerusalem, tak ada bukti, selain bukit Marwah yang dalam tradisi Arab ada hubungannya dengan Ismail." Dalam kesan yang hampir sama kita baca juga dalam The New American Encyclopedia, “Abram kawin dengan Sarah, saudara tirinya, tidak beroleh anak. Lalu kawin dengan Hajar dari Mesir, seorang dayang Sarah, sebagai istri kedua. Dengan demikian ia menjadi ayah Ismail. Setelah itu kemudian Sarah melahirkan Ishak.”
Setelah Sarah meninggal, Ibrahim kawin dengan Keturah dan mem-peroleh 6 anak laki-laki. Ibrahim hidup selama 175 tahun dan dikuburkan oleh kedua anaknya Ishak dan Ismail di gua Makhpela di dekat kuburan Sarah, istrinya (Kej. 25. 7-9). Ismail masih mengalami hidup dengan Ibrahim selama 89 tahun dan Ishak selama 75 tahun. Cerita-cerita tentang Ibrahim dan keluarganya dalam Bibel itu, tidak terdapat dalam Al-Qur’an.
Di dalam Al-Qur’an Ibrahim ditampilkan sebagai orang yang sangat dihormati—seperti halnya dengan nabi-nabi yang lain—dan ditekankan sebagai bapak tauhid yang ḥanīf, yang sangat menentang penyembahan berhala, seperti yang dapat kita lihat lebih terinci antara lain dalam Surah al-An‘ām/6: 71-82, Surah an-Naḥl/16: 120-123, Surah Maryam/19: 41-48 dan beberapa surah lagi. Nama Ibrahim dalam Al-Qur’an disebutkan dalam 25 surah dan 69 ayat, kadang sangat ringkas, kadang cukup panjang, terbanyak dalam Surah al-Baqarah.
Selain dari Al-Qur’an, dan beberapa hadis, sumber satu-satunya mengenai sejarah dan keberadaan agama samawi itu hanya dari Bibel, terutama Perjanjian Lama. Tetapi Bibel dan Al-Qur’an, keduanya bukanlah kitab sejarah. Kisah-kisah dalam Bibel sering dilengkapi dengan data sejarah, genealogi dan geografi sampai pada angka tahun, sementara Al-Qur’an hanya merekam inti dan arti kerohaniannya. Dalam hal ini orang masih perlu berhati-hati, seperti diterangkan dalam Encyclopedia Britannica, dan kalangan ilmuwan juga mengingatkan. Studi mengenai Ibrahim ini didasarkan pada dokumentasi Bibel, terutama Kitab Kejadian, yang harus dilihat secara kritis terjemahan kitab pertama Perjanjian Lama itu, seperti yang ditulis oleh E. A. Speiser dan beberapa ilmuwan lain, berdasarkan data arkeologis yang mereka lakukan.

