فَلَمَّا رَآٰ اَيْدِيَهُمْ لَا تَصِلُ اِلَيْهِ نَكِرَهُمْ وَاَوْجَسَ مِنْهُمْ خِيْفَةً ۗقَالُوْا لَا تَخَفْ اِنَّآ اُرْسِلْنَآ اِلٰى قَوْمِ لُوْطٍۗ
Falammā ra'ā aidiyahum lā taṣilu ilaihi nakirahum wa aujasa minhum khīfah(tan), qālū lā takhaf innā ursilnā ilā qaumi lūṭ(in).
Ketika (Ibrahim) melihat tangan mereka tidak menjamahnya, dia mencurigai dan memendam rasa takut kepada mereka. Mereka (malaikat) berkata, “Jangan takut! Sesungguhnya kami diutus kepada kaum Lut (untuk menghancurkan mereka).”
Ketika hidangan itu tersaji, Nabi Ibrahim menyodorkannya ke hadapan mereka seraya meminta agar hidangan itu dimakan. Maka ketika dilihatnya tangan mereka tidak menjamah hidangan yang disodorkan-nya itu, dia -Nabi Ibrahim- mencurigai perihal kedatangan mereka, dan merasa takut kepada mereka karena khawatir kedatangan mereka akan membawa berita buruk. Menyaksikan sikap Nabi Ibrahim yang demikian itu mereka para malaikat itu pun berkata, “Jangan takut, sesungguhnya kami diutus oleh Allah kepada kaum Lut untuk membinasakan mereka.” Ayat ini memberi pelajaran tentang etika bertamu, hendaknya memberi rasa tenteram dan tenang ketika bertamu, terutama ketika seseorang menaruh curiga dan takut terhadap orang yang belum dikenal, hendaknya tamu segera menjelaskan identitas dirinya.
Karena para tamu tidak mau menyentuh makanan lezat yang dihidangkan itu, maka Nabi Ibrahim a.s. merasa curiga atas niat baik mereka. Di kalangan orang Arab bila tamu tidak makan makanan yang dihidangkan itu adalah suatu tanda tamunya bermaksud jahat terhadapnya. Berbagai macam perasaan seperti curiga, takut, dan lain sebagainya timbul dari hati Nabi Ibrahim a.s. dan istrinya, melihat sikap tamu-tamunya itu. Hal ini jelas tampak pada air mukanya yang tadinya berseri-seri, lantas berubah menjadi pucat pasi. Akhirnya para malaikat itu menjelaskan bahwa mereka adalah malaikat yang diutus Allah kepada kaum Luṭ untuk membinasakan mereka karena mereka adalah kaum yang terkutuk yang tidak mengindahkan peringatan Allah supaya mereka meninggalkan perbuatan maksiat dan terkutuk dan beriman kepada Allah swt serta kepada risalah yang dibawa Nabi Lut a.s.
Ba’lī بَعْـلِى (Hūd/11: 72)
Ba’l adalah sebutan untuk pasangan laki-laki yang sudah berkeluarga. Bentuk jamaknya adalah bu’ūlat. Ba’l pada mulanya bermakna sesuatu yang tinggi. Orang Arab menamakan sesembahannya dengan kata ba’al karena lebih tinggi dari mereka. Mereka juga menyebut dataran yang paling tinggi dengan ba’1. Kemudian lafaz ba’l ini dinisbahkan kepada seseorang yang menangani secara sempurna kebutuhan setiap orang yang menjadi tang-gungannya. Suami disebut dengan ba’l karena laki-laki (suami) lebih dominan dalam masalah keluarga dan suamilah yang menangani dan mengendalikan urusan istrinya, baik dalam hal mencari nafkah maupun yang lainnya. Ungkapan ini diucapkan oleh Sarah kepada suaminya Ibrahim a. s. atas keajaiban dan keragu-raguan atas kehamilan yang dialaminya.

