Full Sinopsis & Tema Plot Film Blue Is the Warmest Color (2014)

- Plot
- Sinopsis
- Tema
- Penjelasan
- Komentar
- Perjalanan Adèle dalam mengenali dan menerima orientasi seksualnya yang sesungguhnya.
- Hubungan emosional dan seksual yang intens antara Adèle dan Emma, serta eksplorasi penemuan diri mereka.
- Konflik internal dan eksternal yang dihadapi Adèle, termasuk tekanan sosial, keluarga, dan teman-teman.
- Perubahan dan pertumbuhan karakter Adèle dari remaja menjadi dewasa, serta keputusannya menerima keberadaan dirinya.
- Pentingnya kebebasan berekspresi dan keberanian untuk jujur terhadap diri sendiri walau menghadapi stigma dan penolakan.
- Kisah tentang cinta yang penuh gairah, keinginan untuk diterima, dan keberanian menjalani hidup sesuai hati nurani.
Film ini dimulai dengan kisah Adèle, seorang remaja berusia 16 tahun yang tumbuh di Lille, Prancis. Ia menjalani rutinitas sehari-hari yang biasa saja, hingga suatu hari ia tersentuh oleh pandangan seorang wanita berambut biru di jalanan, menimbulkan sebuah koneksi emosional yang dalam tanpa ia sadari. Kejadian ini membuka jalan bagi pencariannya akan makna cinta dan identitas seksualnya.
Di sekolah, Adèle berinteraksi dengan teman-temannya, yang membahas mengenai percintaan dan seks, namun Adèle tampak menanggapi dengan sikap dingin dan impassive. Hubungannya dengan Thomas, seorang senior yang menyukainya, mulai berkembang dari percakapan ringan tentang musik dan buku hingga ke hubungan fisik pertama mereka yang penuh gairah. Meski menikmati momen tersebut, Adèle merasa ada sesuatu yang tidak utuh dan merasa terikat dengan perasaan yang lebih dalam terhadap wanita berambut biru, Emma, yang kemudian menjadi pusat kehidupannya.
Ketika Adèle mulai menjalin hubungan dengan Emma, ia mengalami kegembiraan, ketakutan, dan konflik batin yang besar. Mereka menjalin hubungan secara diam-diam, mengalami momen penuh gairah dan penemuan diri melalui hubungan seksual yang sangat eksplisit dan penuh nafsu. Hubungan mereka yang penuh cinta dan hasrat diuji oleh tekanan sosial, keluarga, dan ketidakpastian identitas Adèle sendiri. Adèle bergulat dengan penolakan dari lingkungan sekitar, termasuk dari teman-teman dan keluarganya, yang merasa bahwa orientasi seksualnya adalah sesuatu yang harus diubah.
Pepatah demi pepatah, konflik emosional dan pertumbuhan personal terus berlangsung. Adèle mengalami berbagai patah hati, penolakan, dan kesulitan dalam mengatasi perasaannya. Ia mencoba mencari kebahagiaan dan makna hidup melalui pendidikan, pekerjaan sebagai guru kecil, serta eksplorasi identitasnya. Seiring berjalannya waktu, hubungan Adèle dan Emma mulai renggang karena berbagai alasan, termasuk perbedaan pandangan hidup dan orang ketiga. Pada akhirnya, mereka harus berpisah, dan Adèle harus menghadapi kesepian serta perjuangan untuk menerima dirinya sendiri sepenuhnya.
Film ini berakhir dengan Adèle yang menyadari bahwa perjalanan hidupnya harus berlanjut tanpa Emma. Ia berjalan sendiri di jalan, merefleksikan perjalanan emosionalnya dan siap memulai babak baru dalam kehidupannya. Kisah ini menggambarkan kekuatan pencarian jati diri, keberanian untuk mencintai, dan pentingnya menerima diri sendiri secara utuh.
- love at first sight: Cinta pada pandangan pertama, yaitu perasaan jatuh cinta secara instan terhadap seseorang saat pertama kali melihatnya.
- dangerous liaisons: Judul buku klasik yang disebutkan dalam film, menggambarkan kisah tentang manipulasi dan hubungan asmara yang penuh tipu daya.
- dyke beer: Istilah slang yang merujuk pada bir bir perempuan, digunakan dalam film untuk menunjukkan ketidakseriusan dan stereotip tentang identitas seksual di kalangan tertentu.
- Sartre: Filsuf Jean-Paul Sartre, yang terkenal dengan konsep eksistensialisme, menekankan pentingnya memilih dan menciptakan makna hidup sendiri tanpa bergantung pada prinsip moral yang tinggi.
- blue pussy: Istilah kasar yang digunakan oleh teman Adèle untuk menyinggung tentang hubungan seksual sesama wanita, mencerminkan homofobia dan ketidaktahuan.

